Hindu mengusung nilai-nilai universal Dharma yang sifatnya abadi (Sanātana) dan selalu membaru (Nūtana). Dharma ini menjadi landasan umat Hindu dalam menjalankan ‘misi’-nya hidup di dunia. Apa yang ingin dicapai? Tujuan Dharma adalah membebaskan kita dari identitas palsu sebagai tubuh, pikiran, perasaan, dan sebagainya yang sesungguhnya terus berubah. Inilah yang disebut mokṣa.
Selain itu Dharma juga dijalankan agar tercapai jagadhita, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan bagi semua makhluk. Seorang Hindu tidak bisa egois, hanya menginginkan kebahagiaan bagi diri, keluarga, maupun kelompoknya saja. Mencapai mokṣa bukan berarti meninggalkan kewajiban berkarya di dunia, namun sebaliknya juga harus menghasilkan jagadhita.
Oke, landasan dan tujuan sudah jelas. Lalu bagaimana cara mencapainya? Apa yang harus dilakukan? Jawabannya tidak tunggal. Hindu mengakui bahwa ada banyak jalan yang bisa ditempuh sesuai dengan sifat/watak serta tahap perkembangan spiritual setiap individu. Inilah keunikan Hindu Dharma yang membuatnya sangat menghargai perbedaan dan tidak dogmatis.
ye yathā māṃ prapadyante tāṃs tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ. —Bhagavad Gita 4.11.
Dengan cara apapun seseorang mendekati-Ku, Aku menerimanya; karena sesungguhnya setiap cara, setiap jalan yang ditempuh manusia adalah jalan-Ku, jalan menuju-Ku.
Aku yang dimaksudkan di atas adalah Sang Aku, jiwa individu, ātman yang tunggal. Sekali lagi perlu diingat bahwa jalan bukanlah tujuan. Suatu saat kesadaran kita bisa meningkat sehingga apa yang dulu kita pandang jalan yang “paling benar” mungkin tidak lagi sesuai saat ini. Ibaratnya seseorang yang menyeberangi sungai, ketika sampai di tujuan perahu yang sebelumnya dipakai sudah tidak lagi dibutuhkan.
Bagi orang awam yang baru mempelajari Hindu mungkin hal ini akan terasa membingungkan. Ada sekian banyak pilihan dan kita dibebaskan untuk memilih yang paling tepat. Jika diibaratkan Hindu adalah butik tempat kita bisa memilih model dan ukuran pakaian. Hasilnya sudah tentu lebih pas daripada pakaian pabrikan. Pakaian pabrikan memang bisa dibuat secara masal, namun ukurannya terbatas.

Ada empat macam jalan yang biasa dikenal sebagai Catur Mārga Yoga. Kata ‘mārga’ berarti jalan. Kata ini juga kita serap ke dalam bahasa Indonesia. Catur Mārga Yoga adalah empat jalan Yoga. Oh ya, Yoga di sini bukan hanya gerakan akrobatik yang “instagramable”. Yoga—berasal dari akar kata ‘yuj’—berarti praktik atau disiplin untuk menyatukan, memperkuat. Yoga inilah jalan untuk mencapai tujuan di atas.
yogaḥ citta-vṛtti-nirodhaḥ. —Yoga Sūtra 1.2
tadā draṣṭuḥ svarūpe avasthānam. (3)
vṛtti-sārūpyam itaratra. (4)
Yoga adalah pengendalian perubahan-perubahan pada citta (benih-benih pikiran-perasaan), sedemikian sehingga Sang Saksi (Jiwa) berada dalam kesejatian wujudnya. Sebaliknya, jika tidak terkendali, ia menganggap bahwa dirinya adalah perubahan-perubahan itu sendiri.
Keempat jalan tersebut adalah:
- Bhakti Yoga yaitu jalan yang mengembangkan perasaan manusia menjadi cinta dan bakti kepada “Sang Kekasih” yang disampaikan melalui puja-puji, musik, tarian, dan berbagai ekspresi dan seni lainnya.
- Karma Yoga yaitu menjalankan berbagai tugas dan kewajiban (baik yang terkait dengan dunia maupun menjalankan ibadah keagamaan) tanpa pamrih, salah satunya bekerja sebagai relawan.
- Jñāna Yoga yaitu jalan perenungan dan kontemplasi filosofis untuk mengupas realitas: mana yang fana, terus berubah-ubah dan mana yang baka, kekal, abadi.
- Rāja Yoga yaitu berbagai latihan untuk melampaui pikiran dan proses berpikir itu sendiri. Jalan ini juga kerap disebut jalan yang paling mistis/misterius.
Keempatnya ini hendaknya tidak dijalankan secara eksklusif (hanya sebagiannya saja) agar kita dapat berkembang secara menyeluruh, walaupun mungkin kita akan lebih condong pada salah satunya. Bhakti cenderung disukai mereka yang memiliki dorongan emosional yang kuat. Karma bagi mereka yang menyukai aktivitas fisik atau ritual keagamaan. Jñāna biasanya diminati para cendekiawan. Dan rāja bagi yang mereka yang ingin menyelam lebih dalam.
Yoga memiliki kedekatan makna dengan yajña (dibahas dalam tulisan sebelumnya). Yajña tidak terbatas pada upacara atau ritus-ritus keagamaan semata. Shri Krishna mengatakan bahwa:
evaṃ bahu-vidhā yajñā vitatā brahmaṇo mukhe, karma-jān viddhi tān sarvān evaṃ jñātvā vimokṣyase. —Bhagavad Gita 4.32.
Ada banyak sekali cara persembahan (yajña) yang dijelaskan oleh Brahmā. Ketahuilah bahwa semuanya itu lahir dari perbuatan nyata (dengan semangat persembahan). Dengan pemahaman demikian kau akan terbebaskan (dari duka dan dosa-kekhilafan).
Semua jalan tadi berujung pada pengetahuan sejati tentang ātman, Sang Diri yang Sejati:
jñānena tu tad ajñānaṃ yeṣāṃ nāśitam ātmanaḥ, teṣām ādityavaj jñānaṃ prakāśayati tat param. —Bhagavad Gita 5.16.
Ketika gelap ketidaktahuan tentang hakikat diri terlenyapkan oleh cahaya pengetahuan sejati; maka, matahari pengetahuan sejati itu pula mengungkapkan kembali kemuliaan Jiwa Agung.

Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya-tanya: Kenapa sampai di sini, hingga tulisan kelima ini, Tuhan kok belum dibahas? Di antara keempat jalan di atas, bahkan hanya satu yang mungkin “membutuhkan” sosok Tuhan, yaitu Bhakti Yoga. Sedangkan ketiga jalan yang lain tidak harus melibatkan-Nya. Dalam Bhakti Yoga, Tuhan adalah sarana sekaligus tujuan.
Kadang seorang bhakta (pelaku Bhakti Yoga) menggunakan sarana pratimā (berupa gambar, patung, atau kaligrafi) dari Ia yang dicintainya. Setiap pratimā yang dipakai memiliki simbologi dan kisah tersendiri, namun semuanya membangkitkan kecintaan dan bakti di dalam diri sang bhakta. Dalam bhakti tidak ada nāma dan rūpa yang lebih tinggi dari yang lain, semua tergantung dari sang bhakta itu sendiri.
Ada yang memilih mūrti (perwujudan) dan pratimā Krishna, Rāma, ada pula yang mengembangkan devosinya kepada Kāli, Durga, atau Shiva, Vishnu dan sebagainya. Ada pula yang memilih-Nya sebagai Hyang Tak Berwujud. Semua sah-sah saja dan dihargai. Masing-masing orang atau kelompok masyarakat bisa mengembangkan cara beribadah, kitab-kitab suci, dan tradisi yang berbeda-beda.
Melalui cara ini seorang bhakta mengikis egonya, sehingga perlahan-lahan ia larut di dalam kemuliaan sang ātman yang ia proyeksikan ke luar diri sebagai pratimā tadi. Tuhan mengambil wujud sebagaimana bayangan dan harapan sang bhakta. Demikian, ia mencapai kebebasan dari kepalsuan dan merasakan persatuan lewat jalan pengabdian dan cinta kasih yang tulus.

Hal yang sama bisa dilakukan pula oleh mereka yang masih terlibat dalam pekerjaan dan menjalankan peran di dalam masyarakat dengan “berlatih” karma yoga, juga dalam menjalankan ibadah/persembahyangan keagamaannya. Inti karma yoga adalah pelayanan tanpa pamrih, yang berarti tidak transaksional (melibatkan jual-beli, mengharapkan untung-rugi, gaji/imbalan, dan sebagainya).
Volunteerism atau gerakan kesuka-relawanan yang sedang mendunia saat ini berakar dari filosofi yang sama. Membantu sesama yang membutuhkan maupun menjaga kelestarian lingkungan tanpa mengharapkan apapun, termasuk ucapan terima kasih, merupakan cara ampuh membebaskan diri dari ego sekaligus mewujudkan jagadhita.
Dalam upacara Agni Hotra peserta mengucapkan puja-puji dan menghaturkan persembahan lewat api suci yang diakhiri dengan afirmasi “idaṃ na mama” yang berarti “ini bukan milik/dari-ku”. Dengan kata lain, segala bentuk pekerjaan dan persembahan kita—baik dalam hal-hal yang duniawi maupun yang menyangkut peribadatan—semua terjadi karena-Nya.
brahmārpaṇaṃ brahma havir brahmāgnau brahmaṇā hutam, brahmaiva tena gantavyaṃ brahma-karma-samādhinā. —Bhagavad Gita 4.24.
Persembahan ini adalah Brahman, tindakan mempersembahkan itu pun Dia. Dia pula yang mempersembahkan ke dalam api suci yang sesunggunya adalah Dia juga. Seseorang yang melihat-Nya dalam setiap perbuatan niscaya akan mencapai-Nya.
Dengan semangat ini segala sesuatu dalam hidup kita bisa menjadi persembahan. Makanan yang akan kita makan, pekerjaan kita sehari-hari, hubungan kita bertetangga dan dengan orang-orang lain yang berbeda dengan kita bisa diwarnai semangat pelayanan. Inilah jalan karma, perbuatan.

Bagi mereka yang ingin menggunakan jalur intelektualitas untuk mencapai kebebasan dan kesejahteraan dunia bisa menapaki jñāna yoga. Dalam bahasa Sanskerta ada dua kata yang paling sering digunakan sebagai padanan kata ‘pengetahuan’, yaitu jñāna dan vidyā. Vidyā (dari akat kata ‘vid’) memiliki kecenderungan makna: pengetahuan yg diperoleh dari proses belajar.
Sedangkan pengetahuan jñāna muncul dari momen pencerahan, kebijaksanaan yang berasal dari intelegensia (bukan hanya intelek) dari dalam diri. Hal yang mirip kita jumpai dalam bahasa Yunani yang juga memiliki gnōsis, γνῶσις yang berarti “personal knowledge” (yang mirip dengan jñāna) dan eídein, εἶδειν yaitu “intellectual knowledge” (mirip dengan vidyā).
Jadi jñāna yoga bukan hanya berarti mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi, membaca sebanyak-banyaknya buku-buku spiritual, namun lebih daripada itu: mengembangkan kebijaksanaan. Seorang jñānī atau ‘gyani’ (pelaku jñāna yoga) menelaah kehidupan ini lewat pemahaman spiritual. Ia “mengupas” alam benda yang terlihat bermacam ragam ini, yang sesungguhnya tidak abadi dan selalu berubah untuk menemukan esensi yang tunggal, yang sejati, abadi, dan tidak pernah berubah.
Di dalam Mundaka Upanishad disebutkan ada dua jenis pengetahuan: apara-vidyā dan para-vidyā. Segala cabang ilmu pengetahuan yang kita pelajari di sekolah, yang kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti matematika, ekonomi, fisika, sejarah, bahkan apa yang kita sebut “ilmu agama”, dan sebagainya termasuk dalam apara-vidyā yang sifatnya lebih rendah.
Sedangkan para-vidyā adalah pengetahuan tentang jiwa yang akan mengantarkan kita kepada kebebasan sejati (mokṣa). Para-vidyā akan mengentaskan kita dari penderitaan yang muncul dari pasang-surut dan perubahan-perubahan yang kita alami di dunia benda. Para-vidyā ini bukan pengetahuan biasa yang bisa kita hapalkan dan perdebatkan, namun membutuhkan pengalaman dan pengamalan sendiri.

Terakhir adalah Rāja Yoga yaitu melakoni tahapan-tahapan disiplin Yoga untuk mencapai samādhi atau yang disebut juga keseimbangan diri, kesadaran, atau pencerahan. Melalui Rāja Yoga seseorang bisa “mencicipi” sendiri pengalaman-pengalaman para suci yang dicatat dalam kitab-kitab agama; karena itu ia disebut rāja.
Pengalaman-pengalaman tersebut bukan monopoli orang-orang tertentu, siapa pun bisa mengalaminya asalkan menjalankan tahapan-tahapan Yoga dengan benar. Jadi bisa dikatakan bahwa Hindu bukan agama yang berdasarkan pada iman sebagaimana agama-agama lainnya. Sebaliknya, Hindu mengajak umatnya untuk melakukan experiment dan experience, mengalami sendiri apa yang diajarkan.
Dalam tradisi Veda seseorang yang telah tercerahkan disebut ṛṣi (laki-laki) atau ṛṣikā (perempuan). Kata ini kita serap menjadi ‘resi’. Ṛṣi, resi, atau seers dalam bahasa Inggris adalah mereka yang “melihat” langsung Kebenaran, artinya mereka mengalami-Nya sendiri. Tidak ada perintah yang turun dari langit. Kebenaran itu selalu ada, selalu tersedia. Yang perlu dilakukan adalah memberdayakan diri sehingga kita pun bisa mengaksesnya.
Sebagaimana jalan-jalan yang lain, Rāja Yoga juga punya bermacam-macam rupa dan racikan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktisinya. Dalam memilih racikan jalan yang paling tepat—kembali pada analogi butik—kita perlu seorang penjahit sekaligus desainer yang betul-betul memahami teknik sekaligus kebutuhan kita. Mereka inilah yang kita sebut para Guru.
Tradisi Hindu bisa betahan selama ribuan tahun hingga saat ini adalah berkat hadirnya para suci, yogi, guru, resi di setiap generasi. Mereka sudah mecapai mokṣa namun masih sudi “berkotor-kotor” dan berbagi dengan masyarakat luas. Hindu tidak hanya bergantung pada satu atau beberapa orang penyelamat atau utusan yang hidup di masa lalu yang membawa pesan-pesan terakhir. Kehidupan berjalan dan berkembang terus, demikian pula Hindu Dharma—karenanya ia Sanātana dan Nūtana.
One response to “Sanatana Dharma 05: Satu Tujuan Banyak Jalan”
[…] sekat-sekat dogma. Sesungguhnya kita harus bersyukur terlahir dalam tradisi Sanatana Dharma yang inklusif, pluralis, dan tidak mencari kemenangan atas agama-agama […]
LikeLike