• Seri Sanatana Dharma
  • Seri Sanskerta
  • Jyotisha

Harimbawa

  • Menjadi Manusia

    January 2nd, 2017

    (disarikan dari tiga video Swami Anand Krishna, Being Human)

    Manusia yang tidak memiliki Kasih di dalam hatinya, tidak berbeda dari binatang. Namun manusia tidak lahir dengan Kasih. Seorang bayi belum mengenal Kasih: ia akan menangis ketika lapar bahkan sedikit saja, tidak peduli ibu sedang sibuk atau capek. Lantas, bagaimana caranya mengembangkan Kasih? Kuncinya ada pada otak kita.

    Otak manusia memiliki Neocortex yang tidak dimiliki makhluk lain. Kalau kita lihat struktur otak, Neocortex nampak seperti “external harddisk”, tambahan. Neocortex ini mempunyai “program dasar” untuk mengembangkan Wiweka agar kita bisa memilah apa yang tepat, yang baik dan tidak—inilah jembatan yang bisa membuat kita sadar akan Kedewataan, Keilahian, Ketuhanan.

    Sebenarnya kita bisa hidup dan “berfungsi” tanpa perlu mengembangkan Wiweka: bekerja saja tanpa perlu memperhatikan etika, melakukan apa saja tanpa perlu memikirkan apakah orang lain, makhluk lain menderita karena ulah kita. Ini sudah jamak kita lihat di mana-mana.

    Program dasar Neocortex adalah memproses segala informasi yang kita peroleh sepanjang hidup, dan kemudian memilahnya ke dalam dua kategori: Preya (sesuatu yang menyenangkan indera) atau Sreya (sesuatu yang mulia, sesuatu yang baik, benar). Sesuatu yang menyenangkan belum tentu baik/mulia—bahkan seringkali bertentangan.

    Zaman dulu di dalam peradaban kita, seorang anak sebelum masuk sekolah—umur 4–5 tahun—harus melalui sebuah upacara inisiasi yang disebut Upanayanam. Sang anak diminta untuk mengucapkan Gayatri-mantram: “Wahai Sumber Segala Cahaya, terangilah kesadaranku agar aku mampu menentukan mana yang tepat/mulia dan yang tidak.”

    Apa yang kita kenal sebagai AGAMA di dalam Peradaban Sindhu/Hindu/Indus/Indo, menurut Bhagavad Gita, disebut Sraddha—bukan Dharma. Sraddha (kepercayaan, keyakinan) ada 3 macam: Sattwik (kepercayaan yang tidak hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, tapi juga kebahagiaan makhluk lain), Rajasik (semacam hubungan dagang, “Tuhan saya sembahyang ya, tapi biarlah saya masuk surga, ini.. itu..”), dan Tamasik (menganggap Tuhan sebagai bell boy, room service di hotel yang bisa kita panggil kapan saja untuk melakukan apa yang kita minta).

    Rajas lebih baik dari Tamas, dan Sattwa lebih baik dari Rajas. Sattwa adalah yang paling diinginkan—tapi, berada di sini pun masih belum Dharma yang melampaui ketiga-tiganya. Dharma inilah yang hendaknya menjadi urusan kita, kita perlu mengembangkan Kasih untuk menjadikan Bumi ini sebagai tempat yang indah dan sejahtera bagi semua.

    Video 1/3: https://youtu.be/aTOXeusf0I4
    Video 2/3: https://youtu.be/1rFP2HsZpis
    Video 3/3: https://youtu.be/F_9rVP9H4Ac

  • Esa

    December 30th, 2016

    Kita mungkin hapal sila-sila Pancasila di luar kepala, terutama sila pertama. But, what does “Maha Esa” actually mean?

    Banyak yang akan dengan cepat bilang, “NKRI mengakui Tuhan yang satu!” Well, begitulah yang diajarkan di sekolah-sekolah dari dulu sampai sekarang. Beberapa tahun yang lalu saya pernah baca bahwa sudah ada yang mulai mempertanyakan penggunakan kata Esa. Bukankah seharusnya Ketuhanan yang Maha EKA? Eka (ᬏᬓ) memang berarti satu di dalam bhs. Sansekerta. But let me tell you that Esa dan Eka tidak sama! Lah, salah dong selama ini…

    Sebelum menggali lebih jauh, kita kembali dulu ke masa-masa awal ketika teks Pancasila dirumuskan para pendiri bangsa kita. Mungkin kita pernah dengar bahwa kata-kata yang digunakan di dalam Pancasila telah berubah-ubah sejak pertama kali dicetuskan pada 1945. Terjadi perdebatan dan penajaman selama persidangan BPUPKI, dan kemudian dilanjutkan finalisasinya oleh Panitia Sembilan, dan lahirlah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, yang mana Pancasila seperti yang kita kenal sekarang lahir—kecuali sila pertamanya.

    Sila pertama Pancasila di dalam Piagam Jakarta berbunyi, “Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan syariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja”. Namun perwakilan dari Indonesia bagian Timur meminta sila-sila di dalam dasar negara baru tersebut memuat nilai-nilai yang universal, dan bisa diterima dan diamalkan oleh semua orang di Indonesia. Singkat cerita, I Gusti Ktut Pudja yang mewakili Sunda Kecil mengusulkan kalimat, “Ketuhanan yang Maha Esa.” Hal ini kemudian dikonsultasikan lebih lanjut oleh M. Hatta dkk, yang akhirnya menyepakati perubahan hingga menjadi Pancasila yang kita kenal saat ini.

    Saya tidak tahu apakah para perumus paham betul arti “Maha Esa”. Saya tidak tahu apakah I Gusti Ktut Pudja pun memahaminya—feeling saya mereka tahu, oleh karena itu tidak diusulkan “Maha Eka”. Semua orang tahu, mahā- (ᬫᬳᬵ-) adalah ‘compound’ yang menunjukkan sifat (paling) besar, mulia, super.. yang seasal dengan mega- di dalam bhs. Inggris (misal: megastructure). Demikian, frasa “Maha Eka” atau maha-tunggal, maha-satu kurang masuk akal. Satu ya satu, tidak ada perbandingan lagi, tidak perlu mahā- lagi. Kalau itu yang dimaui, sebaiknya ditulis “Ketuhanan yang Eka/Tunggal/Satu” saja. Tapi ternyata tidak.

    Kata yang dipilih adalah “Esa”. Ada yang berteori bahwa Esa atau Eṣa (ᬏᬱ) berasal dari kata lain di dalam bhs. Sansekerta, bentukan dari Etad (ᬏᬢᬤ᭄) yang berarti “ini”. Ketuhanan yang “Maha ini”? Sounds ridiculous, right?! Yang mencetuskan teori ini saya yakin tidak memahami bhs. Sansekerta/Kawi. Bukan, bukan itu yang mereka maksudkan. Esa atau Eṣa di sini haruslah kata sifat yang menjelaskan Ketuhanan itu sendiri.

    Eṣa–menurut saya–berasal dari akar kata Eṣ (ᬏᬱ᭄) yang salah satu maknanya berarti “to desire”, menginginkan. Eṣa sebagai kata sifat berarti “desirable, to be desired”, diinginkan, dicari-cari, diidam-idamkan, dirindukan; Ia adalah muara segala keinginan kita. Sebuah makna yang luar biasa! Di dalam Yang Maha Esa kita semua—apa pun agama dan kepercayaan kita—bisa bergabung, bersatu. Ada yang melihat-Nya di mana-mana, di banyak tempat, di banyak wujud.. ada yang melihat-Nya sebagai yang Satu, Tunggal.. semuanya sama-sama menuju-Nya, kita semua merindukan-Nya, semua pencari-Nya dilindungi di bawah panji-panji Indonesia. Tidak ada dominasi dari satu pihak yang merasa paling benar kepada yang lain. Semoga!

  • Kafir adalah Sahabat

    December 30th, 2016

    Beberapa orang di internet membuat posting/meme sebagai pembenaran bahwa di semua kepercayaan selalu ada istilah bagi orang yang tidak se-kepercayaan; bahwa sah-sah saja calling people names. And if it hurts you, too bad.. bukan salah saya. Semua ada di kitab suci, kok Bro!

    Mereka berdalih bahwa ada kok padanan kata kafir di dalam tradisi keagamaan yang lain. Lucunya, mereka kurang riset dan entah diambil dari mana kata-kata yang mereka klaim itu. Dia bilang, kafir = maitrah (dlm tradisi Hindu), = abrahmacariyavasa (dlm tradisi Buddha), = domba yang tersesat (dlm tradisi Kristen). Biasanya saya malas komen yang begini, tapi ternyata posting ini sudah merambat luas. Kejadian ini menunjukkan bahwa toleransi saja tidak cukup. Kita semua perlu saling mengenal, saling mengapresiasi/mengenal supaya tidak mudah terpecah belah.

    Dari kecil saya tertarik dengan semua tradisi keagamaan. Orang tua saya berasal dari 2 tradisi keagamaan berbeda: Hindu dan Islam. Kawan-kawan dekat saya banyak yang Kristen dan Buddhis. Saya suka sekali membaca buku-buku keagamaan dari semua tradisi. Saya diberi tahu bahwa kata kafir yang belakangan sering dilemparkan kepada mereka yang non-muslim sebenarnya punya banyak makna, namun sayangnya tidak jarang ada individu-individu yang mereduksi maknanya dan membuatnya menjadi sebutan untuk meredahkan orang lain dalam masyarakat yang plural. Ini beberapa kali saya alami sendiri.

    Ironi dari posting/meme itu adalah menyebut maitrah sebagai padanan kata kafir bagi umat Hindu. And, do you know what maitraḥ actually means? Persahabatan! Ya, seorang Hindu—mereka yang menjadi bagian dari peradaban Sindhu, Hindia, termasuk leluhur kita semua di Sindho/Hindo-nesia ini—menganggap mereka yang berbeda dan tak seagama sebagai SAHABAT, mitra (मित्र), dan kata turunannya, maitra (मैत्र) berarti sikap bersahabat. Bahkan bukan hanya itu, “semua makhluk adalah saudara.” Dan seorang saudara tidak melempar batu kepada yang lain dan saling menyakiti!

    Sedangkan abrahmacariyavasa अब्राह्मचरियवस berarti mereka yg tidak (sedang) menempuh jalan/tahapan hidup sebagai brahmacarya dan mengikuti aturan-aturan khusus di dalamnya. Brahmacarya adalah tahapan hidup pertama sebagai pelajar (dari lahir hingga 25 tahun) sebelum berumah tangga. Seseorang masih bisa disebut hindu/buddhis walaupun sudah bukan lagi brahmacarya.

    Saya anjurkan kepada pembuat posting tadi untuk menggunakan kata nāstika (नास्तिक) sebagai padanan kata untuk ‘mereka yang tidak percaya kepada otoritas Veda’—sesuai dengan Kamus Sanskrit Apte. Mungkin itu yang paling dekat dengan istilah kafir yang telah tereduksi tadi. Tapi tetap tidak sama! Karena di dalam tradisi Hindu, baik astika (mereka yang percaya pada otoritas Veda) dan nāstika, KEDUA-DUANYA diakui, dipeluk ke dalam rengkuhan Hindu-isme. Kedua-duanya sah sebagai jalan para seeker of Truth, sādhaka, pada pencari Kebenaran (bukan pembenaran).

←Previous Page
1 … 3 4 5

Proudly powered by WordPress

  • Follow Following
    • Harimbawa
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • Harimbawa
    • Edit Site
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar