Pembahasan soal agama hampir selalu dimulai dari Tuhan atau teologi. Siapa nama-Nya? Apakah agama tersebut monoteis, politeis, atau yang lain? Kadang pembahasannya juga menyentuh sifat-sifat Tuhan tersebut, dan “pembuktian” bahwa Tuhan itu ada, serta mengapa Tuhan ini adalah yang paling benar (dan yang lain tidak). Kemudian segala sesuatu yang lain berkembang dari sana. Tapi tidak kali ini.
Pembicaraan mengenai Tuhan dan teologi “secanggih” apapun—jika kita jujur—adalah asumsi-asumsi yang kita terima dari luar (lewat orang lain atau kita baca dari buku-buku yang dianggap suci). Kalaupun ada “pembuktian-pembuktian” yang disertakan, tak lebih dari pembenaran saja. Inilah yang disebut iman. Saya tidak akan memulai pembahasan tentang Hindu dengan cara ini karena menurut saya bukan cara yang tepat.
Hindu memandang agama, filsafat, teologi, dan sebagainya sebagai jalan-jalan yang ditempuh seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Jadi semua itu bukanlah tujuan, oleh karenanya pustaka-pustaka suci Hindu dipenuhi dengan dialog, percakapan, serta pembahasan yang sangat beragam, yang merangkum berbagai cara pandang dan tingkat kesadaran manusia. Hal ini juga membuat Hindu sangat terbuka pada penyegaran dan perkembangan zaman.
Inilah mengapa Hindu disebut sebagai Sanātana Dharma. Dalam bahasa Sanskerta sanātana berarti berarti sesuatu yang sangat tua, kuno, namun masih terus bertahan hingga sekarang. Rahasia umur panjangnya adalah kemampuan untuk selalu disegarkan dari waktu ke waktu sehingga selalu baru, bersifat kekinian (nūtana, Skt). Pustaka-pustaka Veda mulai dikumpulkan dan dikelompokkan sekitar 5.000 tahun yang lalu dan hingga sekarang masih menjadi sumber inspirasi.
Menurut saya cara terbaik mengenal Hindu adalah memulai dari akhir, mulai dari tujuan yang ingin dicapai oleh mereka yang menapaki jalan Dharma. Swami Vivekananda (1963–1902) mempopulerkan frasa apik untuk menjelaskan tujuan tersebut: ātmano-mokṣārthaṃ jagadhitāya ca. Artinya, tujuan beragama adalah untuk mencapai kebebasan (mokṣa) diri (ātman) dan demi kebaikan (hita) seluruh alam (jagat). Kedua tujuan itu sesungguhnya tunggal.
Swami Vivekananda, seorang reformis Hindu yang berjasa memperkenalkan Hindu ke Barat.
Kalau diperhatikan, tujuan di atas bukanlah sesuatu yang jauh, seperti misalnya ‘mencapai surga’, atau ‘diselamatkan dari api neraka’. Tapi tujuan tersebut bisa dicapai di sini, di dalam kehidupan kita saat ini, tidak perlu menunggu sampai setelah kita mati. Hal ini bukan berarti bahwa surga dan neraka adalah sesuatu yang asing bagi orang Hindu. Sebaliknya. Istilah surga berasal dari kata Sanskerta swarga, sedangkan neraka berasal dari naraka.
Surga dipandang Hindu sebagai tempat sementara, di mana sang jiwa menikmati buah perbuatan-perbuatan baiknya selama hidup. Sebaliknya, di neraka ia menuai hasil perbuatan-perbuatan buruknya. Keduanya adalah kondisi sementara dan tidak abadi. Setelah habis “masa tinggalnya” maka jiwa tersebut lahir kembali ke dunia. Bahkan di dalam Sara-Samuccaya—yang sering dianggap kitab sucinya umat Hindu di Nusantara—mengatakan bahwa surga dan neraka adalah keadaan batin seseorang:
indriyāṇyeva tat sarvam tat svarga-narakāvubhau, nigṛhītani sṛṣṭāni svargāya narakāya ca. —Sara-Samuccaya 77
Surga dan neraka adalah hasil indra kita sendiri. Indra yang terkendali adalah surga. Jika lepas kendali, itulah neraka.
Kembali kepada “ātmano-mokṣārthaṃ jagadhitāya ca“. Untuk memahami maknanya secara lebih dalam kita perlu mengupas kata-katanya. Oh iya, mau tidak mau kita harus mulai membiasakan diri dengan istilah-istilah Sanskerta, bahasa yang digunakan dalam pustaka Veda. Dalam tulisan kali ini saya akan membahas ātman. Konsep ātman sangat penting dan bahkan menjadi fondasi dari keseluruhan ajaran Hindu yang akan kita bahas dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
Dalam kamus bahasa Sanskerta ātman memiliki padanan makna: diri, jiwa (bukan dalam pengertian psikologi), penyebab hidup dalam diri seseorang. “Siapa ‘diri’ kita?” adalah pertanyaan yang universal. Apakah kita adalah tubuh, badan ini? Atau apakah kita adalah identitas yang kita pelajari dari lingkungan (nama, keturunan, suku, agama, ras, kelompok)? Atau kita adalah timbunan memori dan pengetahuan yang kita kumpulkan sejak lahir hingga sekarang?
Praktik meditasi telah dikenal di dalam Veda sebagai jalan untuk menyadari hakikat diri kita yang sejati. (Sumber: Flickr).
Ada sekian banyak hal yang bisa kita ‘cantolkan’ pada diri kita. Namun pertanyaannya, apakah hal-hal tersebut sifatnya sejati, atau malah artifisial dan bisa berubah-ubah. Kita tahu dari pelajaran biologi bahwa sel-sel di tubuh kita mati dan digantikan dengan materi-materi “baru” secara rutin. Bandingkan foto kita ketika kecil dan sekarang; pasti berbeda, kan! Pikiran dan perasaan kita juga tidak konstan, berubah-ubah terus. Apa yang kita sukai dulu, sekarang mungkin tidak lagi sama.
Hindu mengenal lima lapisan, selubung, sarung (kośa, Skt) tubuh atau kesadaran manusia, yang disebut pañca māyākośa. Kelima kośa ini dikatakan menyelubungi ātman sehingga membuatnya salah menganggap dirinya sebagai lapisan-lapisan ini. Ia menganggap yang māyā ini “nyata”, padahal selalu mengalami perubahan. Pengertian nyata di sini bukan dalam pengertian fisika, namun dari sudut pandang spiritual.
Kelima lapisan tersebut dari yang paling kasar ke yang paling halus adalah: 1) tubuh fisik yang disebut anna-māyākośa atau lapisan yang dibentuk dari apa yang kita konsumsi (anna, Skt);2) lapisan energi atau prāṇa-māyākośa; 3) lapisan mental-emosional atau mano-māyākośa; 4) lapisan inteligensia yang disebut vijñāna-māyākośa; dan lapisan paling dalam adalah 5) lapisan kebahagiaan atau spiritual yang disebut ānanda-māyākośa. Taittiriya Upanishad (bagian dari Krishna Yajurveda) adalah salah satu teks tertua dalam tradisi Hindu yang membahas hal ini.
Kebanyakan orang mengasosiasikan diri dengan lapisan pertama, yaitu tubuh fisik. Ada pula yang lebih menganggap aspek mental-emosional (termasuk memori, kesukaan-dan-ketidaksukaan) sama dengan diri. Asosiasi yang ‘salah’ seperti ini—menurut Veda—menimbulkan penderitaan (duḥkha, Skt), misalnya ketakutan kita akan kerut-kerut yang mulai muncul di wajah atau uban di kepala, perpisahan dengan orang-orang yang kita sayangi (yang cepat atau lambat pasti terjadi), berbagai penyakit akibat gaya hidup yang salah, dan sebagainya.
Sebaliknya, kebahagiaan (sukha, Skt) terjadi apabila semua lapisan-lapisan tersebut terkendali dengan baik. Untuk itu kita perlu tuan yang berada di atas itu semua, yang menyebabkan semua lapisan tadi bisa berfungsi. Tuan itulah yang disebut oleh para resi sebagai ātman.Menerjemahkan ātman sebagai diri (self, Ing) sebenarnya tidak terlalu tepat karena ketika kita menyebut diri, masih melekat berbagai identitas luaran yang semuanya terkait dengan kelima kośa.
Ātman tidak memiliki kepribadian, watak, atau sifat-sifat yang kerap kita tempelkan pada diri kita. Alih-alih, para resi menemukan bahwa ātman-ku dan ātman-mu tidak berbeda. Lebih jauh mereka menyimpulkan bahwa “ātman-ātman” ini adalah bagian dari sesuatu yang satu. Kesatuan pada tingkatan paling dasar segala sesuatu di jagat raya ini disebut Hyang Tunggal, Brahman, dan lain sebagainya. Rigveda—kitab tertua umat manusia—menganalogikan Hyang Tunggal dan ātman seperti matahari dan sinar-sinarnya:
Sūrya adalah ātman dari segala sesuatu di alam raya ini, baik yang bergerak dan yang diam.
Sri Krishna dalam Bhagavad Gita juga mengingatkan Arjuna:
avināśi tu tad viddhi yena sarvam idaṃ tatam, vināśam avyayasyāsya na kaś-cit kartum arhati. —Bhagavad Gita 2.17.
Ketahuilah bahwa yang melingkupi seluruhnya ini (Brahman dan ātman) adalah tak termusnahkan. Tidak ada seseorang/sesuatu pun yang bisa menghancurkan-Nya.
Ia yang kekal abadi, tak termusnahkan, tak bisa diukur, menghuni badan-badan yang cepat atau lambat akan berakhir ini. Oleh karena itu, bertarunglah Arjuna!
Kita tak pernah terpisahkan dari keseluruhan semesta raya. (Foto: Michael Shainblum).
Mencapai kesadaran ātman seperti di atas adalah inti agama Hindu. Hal ini tidak mudah! Berkali-kali, karena terseret oleh berbagai kenikmatan indrawi dan kesibukan pikiran, kesadaran kita ditarik pada lapisan-lapisan yang lebih rendah. Oleh karena itu, untuk mencapainya Hindu mengembangkan berbagai macam hal, seperti yoga, berbagai ritual, ayurveda, jyotisha, dan sebagainya untuk memantu manusia menyadari hakikat dirinya yang sejati.
Hanya dengan hidup dalam kesadaran ātman yang demikian manusia bisa mencapai kebahagiaan yang lebih berarti dan menjadi berkah bagi seluruh alam raya ini. Ada satu mantra yang sering dipakai sebagai penutup: samasthā lokā sukhino bhavantu; artinya: “semoga makhluk di semua alam berbahagia”. Ini bukan hanya sekadar doa, tapi sekaligus pesan agar kita berperan aktif dalam mewujudkan kebahagiaan di dunia.
Hindu telah menjadi identitas yang otomatis tersemat selama bertahun-tahun sehingga saya merasa tidak perlu memahaminya secara komprehensif. Semuanya dijalani dan dinikmati begitu saja. Sampai pada suatu hari saya bertemu dengan orang-orang yang menyatakan “ingin menjadi Hindu” dan meminta ditunjukkan tahapan-tahapan mempelajarinya. Jujur saja ketika itu saya bingung mulai dari mana.
Kebingungan saya itu berakar dari beberapa hal. Saya bisa saja memberikan mereka buku pelajaran agama Hindu yang dipakai di sekolah-sekolah, tapi saya merasa isinya penuh hapalan yang kering. Padahal saya tahu bahwa di luar itu, ajaran Hindu begitu kaya dan luas. Misalnya, kitab suci Hindu tidak hanya terdiri dari satu atau beberapa buku saja, namun jika dikumpulkan bisa mengisi satu perpustakaan.
Belum lagi ilmu pengetahuan dan tradisi yang lahir dari situ, juga lapisan-lapisan makna yang terjalin di dalamnya, membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk memahami keseluruhannya. Buku-buku pelajaran agama tadi sayangnya tidak cukup dan bahkan akan memberikan kesan yang salah tentang Hindu sebagai agama yang dogmatis, seperti agama-agama lainnya yang mengedepankan iman.
Di sisi lain, kebingungan saya itu mungkin muncul karena dari dalam umat Hindu sendiri memang tidak pernah ada dorongan untuk meng-hindu-kan umat lain. Upaya mengkonversi agama untuk menambah jumlah umat adalah konsep yang aneh, bahkan ada yang memandangnya tidak spiritual dan berbahaya karena merupakan permainan ego. Alih-alih, Hindu mengajarkan umatnya untuk mengikis ego dan fokus pada pemberdayaan diri.
Umat hindu bersembahyang pada saat hari raya Galungan. (Sumber: Wonderfulbali).
Berbeda dengan agama lainnya, terutama agama-agama monoteis, Hindu berdiri di atas pluralisme yaitu pandangan yang melihat adanya beragam cara untuk mencapai tujuan: Hyang Tunggal. Sebaliknya, agama-agama monoteis secara tegas menyatakan bahwa hanya ada satu jalan yang benar, dan yang lain salah; keselamatan hanya bisa dicapai dengan mengimani sesuatu dan bukan yang lain. Menurut saya inilah akar fanatisme beragama yang merupakan akar konflik.
Mahatma Gandhi—seorang tokoh Hindu ternama dunia—bahkan pernah bilang bahwa konversi agama adalah “an error which is perhaps the greatest impediment to the world’s progress toward peace.” Kedamaian (śānti, Skt), baik di dalam maupun di luar diri, adalah sesuatu yang dijunjung tinggi di dalam ajaran Hindu. Konversi menciptakan tensi, ketegangan antarumat beragama dan kegelisahan di dalam diri yang sesungguhnya tidak perlu.
Konversi agama berdiri di atas asumsi superioritas. “Saya paling benar dan yang lain salah!” Seorang pengkonversi akan menghalalkan segala macam cara, mencari-cari pembenaran sekaligus kesalahan orang lain yang bisa dipakainya demi menghujamkan tombak argumentasi yang bisa membuat ‘lawannya’ takluk. Akibatnya, kebenaran bisa dikorbankan demi ego dan perjalanan ke dalam diri pun terabaikan.
Tapi bukan berarti umat Hindu hanya boleh bermain bertahan (defensif) menghadapi serangan mereka ini. Umat Hindu sebenarnya juga diberi peran sebagai Dharma-dūta untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran luhurnya, Dharma,kepada orang lain. Hal ini bukan untuk bersaing menjadi yang paling banyak, tapi karena nilai-nilai Dharma bersifat universal dan membawa kebaikan bagi seluruh alam.
Veda—pustaka suci Hindu—menyatakan:
yathemāṃ vācaṃ kalyāṇīmāvadāni janebhyaḥ, brahmarājānyābhyām śūdrāya cāryāya ca svāya cāraṇāya ca. —Yajurveda 26.2.a-b.
Artinya lebih kurang: Semoga aku mampu menyampaikan ajaran-ajaran luhur ini kepada semua orang, kepada brahmana (pendidik, ilmuwan), kepada mereka yang terlibat dalam pengaturan masyarakat (pemerintah, pembuat kebijakan), kepada para pekerja dan pelaku ekonomi (petani, nelayan, pedagang, dsb.), juga kepada kerabat dan kawan sendiri dan kepada orang-orang lain.
Sekali lagi, pesan di atas bukanlah pesan konversi yang sifatnya superfisial. Mantra di atas pertama-tama memberikan kepercayaan diri bahwa ajaran Hindu mengandung kebaikan, kemuliaan (kalyāṇa, Skt) yang berguna bagi semua manusia—terlepas apa pun agamanya—demikian pula makhluk lainnya. Dan karenanya, perlu disebarluaskan.
Umat hindu berkumpul saat Kumbh Mela di India. Umat hindu memiliki ritual dan tradisi yang berbeda-beda, namun berasal dari satu Dharma. (Sumber: dandapani.org).
Inilah ciri khas Hindu. Ketika yang lain mengedepankan eksklusifitas dan superioritas agamanya masing-masing, Hindu malah menonjolkan keuniversalan dan infklusifitasnya. Hindu tidak membagi umat manusia menjadi dua kubu, yaitu yang selamat dan yang dilaknat, hanya berdasarkan pada apa yang dipercayainya. Alih-alih menitikberatkan pada kepatuhan pada hukum-hukum keagamaan, Hindu berpegang pada prinsip Dharma dan kebahagiaan bersama.
Nilai-nilai Dharma bersifat universal dan langgeng, sedangkan hukum perlu terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Ini bukan berarti Hindu tidak memiliki hukum-hukum keagamaan. Ada, namun hukum tersebut bisa berubah mengikuti desa, kala, dan patra yaitu tempat, waktu, dan kondisi setempat—tidak berhenti pada satu titik di masa lalu. Hukum-hukum ini lahir dari dan terinspirasi oleh nilai-nilai Dharma.
Jadi, apakah Hindu agama misi? Jawabannya tergantung pada definisi ‘misi’ itu sendiri. Jika kita kaitkan misi dengan kegiatan misionaris atau dakwah yang mencoba mengubah identitas keagamaan seseorang, maka jawabannya tidak. Hindu memandang agama-agama dan kepercayaan yang ada tidak hitam dan putih, benar dan salah, tapi “melayani” bermacam jenis kepribadian, sifat, watak, dan tingkat perkembangan spiritual manusia.
Ada yang masih perlu menekankan pada sistem reward dan punishment (dalam bentuk pahala dan dosa yang bisa menentukan seseorang masuk ke surga atau neraka setelah mati), namun ada yang sudah melampaui keduanya. Ada yang menempatkan “keselamatan” hanya pada satu sosok/ajaran saja, ada pula yang menekankan pada kemandirian untuk meningkatkan kesadarannya. Watak seseorang sangat menentukan śraddhā apa yang ‘cocok’ baginya.
Namun apabila ‘misi’ tersebut dikaitkan dengan upaya-upaya memberdayakan diri dan meningkatkan kesadaran manusia agar ia bisa bertindak tepat dan menjaga keharmonisan hidupnya dengan sesamanya, dan dengan alam lingkungannya, maka ya, Hindu adalah agama misi. Inilah sifat dasar manusia yang terus menginginkan perbaikan diri, mencari ilmu pengetahuan dan cara-cara hidup yang memaksimalkan kebahagiaan—tidak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga untuk yang lain.
Pura Ulun Danu di tepi danau Batur, Bali. Hindu adalah agama yang dekat dengan alam. (Sumber: Patchareeporn Sakoolchai / Getty Images)
Artinya lebih kurang: (Oh Soma) perkuatlah Indra, menyeberangi segala kesulitan, buatlah semuanya menjadi mulia (ārya), singkirkanlah mereka yang berpikiran picik, sempit (arāvṇa).
Ārya adalah istilah yang sentral dalam ajaran agama Hindu. Berbeda dengan anggapan umum, ārya bukanlah ras atau suku bangsa tertentu (yang dibayangkan berasal dari Asia Tengah atau Eropa Timur yang masuk ke India dan membawa Veda), namun terkait dengan sifat atau karakter. Kata ārya adalah turunan dari kata arya yang berarti ‘berbudi/berwatak baik’. Ārya adalah orang-orang yang memiliki sifat arya.
Kebalikannya adalah arāvan. Ada beberapa makna kata ini: 1) (ia) yang tidak bebas bergerak, berpikir; 2) (ia) yang tidak mau berbagi; 3) (ia) yang membenci, kejam. Sifat-sifat ini berseberangan dengan sifat arya di atas. Inilah misi seorang hindu, yaitu mengembangkan sifat-sifat arya di dalam diri, menyebarluaskannya, dan jika diperlukan, menghentikan mereka yang bersikap sebaliknya. Untuk itu kita perlu ‘membangkitkan Indra’ di dalam diri.
Perlu diingat bahwa ke-arya-an tidak otomatis “jatuh” pada orang-orang dari agama dan kepercayaan tertentu, atau mereka yang berasal dari ras atau suku bangsa tertentu. Kisah-kisah dalam tradisi Hindu kerap memperlihatkan perseteruan antara orang-orang dari agama/kepercayaan dan bangsa yang sama namun yang satu berpegang pada prinsip-prinsip Dharma sedangkan yang lain berpihak pada Adharma.
Tolok ukur misi seorang Hindu jelas, yaitu Dharma. Oleh karena itu kita perlu lebih dahulu memahami apa itu Dharma, apa misi kita, bagaimana mencapainya, serta ke mana kita akan melangkah. Dalam seri tulisan ini saya akan mencoba mengangkat hal-hal tersebut, dengan segala keterbatasan saya. Ini juga adalah sādhanā saya untuk memperjelas pemahaman saya sendiri tentang ajaran Hindu, dan jika ada orang lain yang mendapatkan manfaat dari sini, itu semata-mata berkah dari Hyang Widhi Wasa.
Waktunya mendongeng. Kisah ini diangkat dari khasanah Peradaban kita sendiri, dari tanah kita sendiri untuk menjadi pengingat. Nama kedua tokohnya bahkan sangat dekat dengan nama kepulauan kita di masa lalu…
Belasan-ribu tahun yang lalu hiduplah dua raksasa kakak-beradik bernama Sunda dan Upasunda. Awalan ‘upa-‘ dalam bahasa Sanskrit berarti ‘dekat, berada di samping atau di bawah’. Demikian, Upasunda, sang adik, tidak bisa jauh-jauh dari Sunda, sang kakak. Mereka berdua selalu kompak, saling dukung, dan tidak bisa dipisahkan.
By the way, sedikit tentang ‘raksasa’. Mendengar kata itu kita akan membayangkan makhluk besar, gondrong, melotot, dan bergigi taring. Raksasa tidak selalu harus demikian. Raksasa adalah penggambaran psikologis manusia yang hidup untuk mengejar kesenangan atau kekuasaan saja. Kegondrongan mereka ibarat kelekatan pikiran mereka pada benda-benda duniawi. Kemelototan mata mereka karena selalu sibuk mencari-cari kesempatan mengambil untung. Taring melambangkan ‘apetite’ yang tak kunjung habis. Raksasa disebut juga Asura—ia yang hidupnya tidak berirama, tidak selaras dengan semesta.
Sunda dan Upasunda masing-masing sangat kuat, tangkas menggunakan berbagai senjata, mahir dalam strategi perang, namun hati mereka juga keji dan picik. Berdua, mereka tak terkalahkan. Keraksasaan di dalam diri Sunda dan Upasunda membuat mereka berkeinginan menaklukkan dunia bersama, di bawah satu panji, satu bendera ‘hitam’. Suatu saat dengan motivasi seperti ini menggebu di dalam dada, mereka pergi bertapa ke pergunungan Vindhya.
Keduanya bertapa dengan sangat tekun selama bertahun-tahun. Semesta ini adil, siapa yang tekun—apapun motif yang melatarbelakangi—akan memperoleh hasil upayanya. Brahma, sang pencipta, pun muncul untuk memberikan anugerah kepada mereka. By the way, bagi leluhur kita, penciptaan adalah urusan dewa, urusan ‘biasa’, sedangkan Tuhan melampaui proses penciptaan dan benda-benda di semesta ini. “Apa yang kalian mau?” Ujar Brahma.
Dengan sigap Sunda dan Upasunda mengatakan, “Kami menginginkan sejata-senjata ampuh, kemampuan untuk membuat berbagai ilusi (untuk mengelabui musuh), dan terakhir kami ingin keabadian.”
Setelah dihitung-hitung, Brahma keberatan dengan permintaan terakhir. Bagaimana mungkin ia mengijinkan makhluknya untuk tidak bisa mati. “Bisa rusak seluruh tatanan semesta.” Menarik ditarik dari kisah ini adalah bahwa bisa saja seseorang memiliki senjata yang tiada tandingannya bahkan hingga merusak alam, tapi toh suatu saat ia pun akan mati, habis berganti dan alam bisa memulihkan diri dan diisi dengan ciptaan-ciptaan baru. Brahma menanggapi, “Permintaan kalian aku kabulkan, kecuali yang terakhir. Mintalah yang lain!”
Sunda dan Upasunda menjawab, “Baiklah, dewa. Tapi berkahilah agar kami tidak bisa mati oleh makhluk-makhluk di ketiga alammu, kematian kami hanya bisa terjadi atas satu sama lain.” Brahma senang mendengarkan permintaan mereka, dan mengabulkannya. Sunda dan Upasunda berpikir bahwa kekompakan mereka tidak akan pernah berakhir, mereka pikir ini adalah deal yang sangat menguntungkan! Dengan berkah ini mulailah mereka menguasai dunia. Negeri demi negeri jatuh ke tangan mereka. Begitu banyak korban berjatuhan, anak-anak, laki-laki, perempuan, para bijak, dan rakyat jelata.
Long story short,apa yang Sunda dan Upasunda pikir tidak akan pernah berakhir, menjadi titik lemah mereka. Demi menghentikan kerusakan yang mereka buat, Brahma mengirimkan seorang bidadari paling cantik yang ‘didesain’ oleh desainer surgawi, Vishvakarma, ke dunia untuk menemui Sunda dan Upasunda. Sang biadadari diberi nama Tilottama. Kecantikannya bahkan sempat membuat heboh surga-loka.
Sunda dan Upasunda yang tidak pernah berselisih sebelumnya, akhirnya berseteru memperebutkan Tilottama. Pada akhirnya, Sunda dan Upasunda mati di tangan satu sama lain. Kisah-kisah seperti ini bisa di-decode agar bisa kita ambil hikmahnya. Salah satunya adalah nama Tilottama sendiri yang berasal dari dua kata ‘tila’ dan ‘uttama’. Tila berarti biji wijen yang kecil itu, bahkan bisa diartikan sebagai minyaknya. Intinya, tila adalah sesuatu yang halus, dan kadang susah dideteksi. Tila adalah ego kita yang paling halus, yang paling utama.
Ego kadang bisa nampak dengan jelas, sehingga mudah kita taklukkan. Namun, ego pun bisa sangat halus, sehingga sulit dilihat dan bisa menjadi sumber kejatuhan siapapun, termasuk di antara mereka yang nampak kompak, berderap bersama, bahkan di antara mereka yang berpengetahuan, mereka yang ‘tahu’. Pada mulanya, ego Sunda dan Upasunda berjalan beriringan, sejalan. Namun, retak-retak rambut selalu ada selama ego masih ada: Aku dan milik-ku berhadap-hadapan dengan kamu dan milik-mu. Apalagi keduanya sama-sama ‘raksasa’, sama-sama ‘mengejar kenikmatan—baik duniawi maupun surgawi’. Semoga kita bisa terhindar dari kejatuhan ini.
“Mereka, para dungu, yang terikat pada kenikmatan indrawi dan kekuasaan duniawi, terbawa oleh janji-janji tentang surga dan sebagainya, sebab itu mereka tidak bisa meraih kesadaran-diri, yang dapat mengantar pada samādhi, keseimbangan, pencerahan.” —Bhagavad Gita 2:44
“Di dalam diri seseorang yang senantiasa memikirkan objek-objek pemikat indera—timbullah ketertarikan dan keterikatan pada objek-objek di luar itu. Dari keterikatan dan ketertarikan, timbul keinginan untuk memilikinya. Dan dari keinginan, timbullah amarah (ketika keinginan tidak terpenuhi).’
“Amarah membingungkan, pandangan dan pikiran seseorang menjadi berkabut; dalam keadaan bingung, terlupakan segala nilai-nilai luhur, dan lenyap pula kemampuan untuk memilah antara yang tepat dan yang tidak tepat, sesuatu yang mulia dan sesuatu yang sekedar menyenangkan. Demikian seseorang tersesatkan oleh ulahnya sendiri.” —Bhagavad Gita 2:62-63 (Swami Anand Krishna, ‘Bhagavad Gītā’, 2014).
Bagi penutur bahasa Indonesia, mungkin istilah infleksi tidak dikenal umum. Tapi proses infleksi mirip—walaupun tidak sama—dengan pemberian imbuhan pada kata dasar dalam bahasa kita. Kata dasar ‘buku’ dapat diubah dengan menambahkan imbuhan, sehingga menjadi kata kerja atau kata benda lain yang maknanya berbeda, misalnya pem-buku-an, per-buku-an, dan mem-buku-kan.
KBBI mendefinisikan infleksi sebagai: perubahan bentuk kata (dalam bahasa fleksi) yang menunjukkan berbagai hubungan gramatikal (seperti deklinasi nomina, pronomina, adjektiva, dan konjugasi verba). Pusing? Coba dibaca pelan-pelan; kita memang perlu mengenal berbagai istilah linguistik yang mungkin masih asing.
Pada intinya, infleksi mengubah kata dasar (yang belum memiliki makna gramatikal) sehingga menjadi kata-kata yang dapat digunakan di dalam suatu kalimat. Berbeda dengan bahasa Indonesia, kata dasar di dalam bahasa Sanskerta belum “matang”, sehingga perlu “dimasak” lebih lanjut (dipanaskan di atas api, ditambahkan bumbu-bumbu, dan sebagainya) sehingga bisa dihidangkan.
Persis demikian, kata-kata dasar di dalam bahasa Sanskerta perlu diolah melalui proses infleksi sebelum kata tersebut bisa dipakai di dalam kalimat. Kok ribet banget? Pada awalnya infleksi memang terkesan rumit, tapi ia memiliki fungsi yang sangat menarik. Bahasa yang highly inflected, seperti bahasa Sanskerta, terbebas dari urutan baku kata-kata, seperti S-P-O yang umum di dalam bahasa Indonesia.
“Saya makan buah,” misalnya, tidak sama artinya dengan “buah makan saya”, atau “makan buah saya”, dan seterusnya. Infleksi mengikat masing-masing kata pada perannya di dalam sebuah kalimat. Jika saya ingin mengatakan “saya makan buah”, maka strukturnya:
[saya]kt. benda, subyek, tungal — [makan] kt. kerja aktif, dilakukan orang pertama — [buah]kt. benda, obyek, tunggal.
Jika informasi mengenai fungsi, kedudukan, dan keterangan suatu kata (yang dicetak miring) dilekatkan pada kata-kata dasarnya (dicetak biru), maka posisi ketiga kata tersebut di dalam suatu kalimat dapat dibolak-balik tanpa mengubah pesan yang ingin disampaikan. Misalnya:
[buah]kt. benda, obyek, tunggal — [makan]kt. kerja aktif, dilakukan orang pertama — [saya]kt. benda,subyek, tungal.
Paham? Coba dibaca sekali lagi, perlahan-lahan.
Seperti contoh di atas, infleksi dapat dilakukan pada dua jenis kata: kata benda dan kata kerja.
Infleksi yang dikenakan pada kata benda disebut deklinasi. Sedangkan infleksi pada kata kerja disebut konjugasi. Beberapa bahasa di dunia, terutama dari rumpun bahasa Proto-Indo-Eropa (PIE) masih memiliki kedua jenis infleksi ini, pada berbagai tingkatan.
Kebanyakan bahasa-bahasa modern dari rumpun PIE kehilangan proses deklinasi, namun masih memiliki proses konjugasi kata kerja. Misalnya saja bahasa Inggris. Verba to be mengalami konjugasi apabila ditempatkan di dalam suatu kalimat, tergantung pada subyeknya: I am, you are, she/he/it is.
Deklinasi
Suatu kata benda bisa menyimpan beberapa informasi: 1) jumlah, 2) gender dan huruf akhirnya, dan 3) posisinya di dalam kalimat. OK, kita akan bahas satu per satu.
Pertama, jumlah. Dalam bahasa Indonesia, ketika menyebut ‘buku’ kita tahu bahwa jumlahnya satu. Sedangkan, bila kita menyebut ‘buku-buku’ maka sudah pasti jumlahnya lebih dari satu. Yang pertama disebut kata benda tunggal/singular, dan yang kedua disebut kata benda jamak.
Begitu pula dalam bahasa Inggris: book singular, sedangkan booksjamak. Bahasa Sanskerta tidak hanya mengenal singular/tunggal dan plural/jamak, namun juga bentuk dual (sepasang). Istilah yang digunakan adalah: eka-vacanam (singular/tunggal), dvi-vacanam (dual), dan bahu-vacanam (plural/jamak).
Kedua, gender. Beberapa kata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Sanskerta memiliki gender, misalnya siswa (laki-laki-laki) dan siswi (perempuan), suami dan istri. Sanskerta tidak hanya mengenal 2 gender (maskulin dan feminin), namun juga gender netral. Gender tidak selalu terkait dengan benda/orang yang dirujuknya, namun juga pada bunyi akhir kata tersebut.
Misalnya, nama Rāma merupakan nama laki-laki, namun Rāmā adalah nama perempuan. Ada ciri-ciri umum untuk menetukan apakah suatu kata dikategorikan maskulin, feminin, atau netral, namun ada saja pengecualiannya. Gender yang berbeda akan mengalami proses dekilnasi yang berbeda pula.
Ketiga, posisi di dalam kalimat (atau disebut kasus). Ada 7 ‘perihal/kasus’ utama kata benda di dalam kalimat:
Nominatif, yaitu sebagai subyek. Contoh: Saya makan buah.
Akusatif, yaitu sebagai obyek. Contoh: ‘buah’ dalam kalimat di atas.
Instrumental, yaitu sebagai metode, cara, atau alat; biasanya disertai kata ‘dengan’ (by, with). Contoh: Saya makan buah dengan tangan.
Datif, yaitu sebagai tujuan; biasanya disertai kata ‘untuk, supaya’. Contoh: Saya membeli buah untuk adik.
Ablatif, yaitu sebagai asal; biasanya disertai kata ‘dari’. Contoh: Saya membawa buah dari pasar.
Genitif, yaitu menunjukkan kepemilikan. Contoh: Buah itu milik Budi.
Lokatif, yaitu menunjukkan tempat; biasanya disertai kata ‘di, ke’. Contoh: Saya makan buah di kebun.
Keseluruhan informasi di atas dilekatkan kepada kata benda dasar melalui proses deklinasi. Dengan demikian, setiap kata (di dalam kalimat) menjelaskan dirinya sendiri.
Konjugasi
Bagi yang sudah pernah belajar bahasa Inggris, Perancis, Jerman dan sebagainya, konjugasi (kata kerja) bukan sesuatu yang asing. Sama halnya dengan deklinasi, konjugasi melekatkan beberapa informasi mengenai: 1) apa yang sedang terjadi/aktivitas, 2) siapa pelakunya, 3) berapa jumlah pelakunya, 4) waktu (tenses) atau nuansa (mood) ketika itu terjadi, serta 5) apakah verba tersebut aktif atau pasif.
Semua kata kerja dasar di dalam bahasa Sanskerta berasal dari “elemen” dasar yang disebut dhātu. Ada lebih dari 2.000 dhātu yang menjelaskan berbagai aktivitas. Setiap dhātu masuk ke dalam satu (atau lebih) kelas kata kerja; masing-masing kelas memiliki bentuk konjugasi yang berbeda-beda.
Selain itu, masing-masing dhātu juga bisa menjadi aktif, dan/atau pasif, atau kedua-duanya. Kata kerja aktif disebut Parasmai-padam (sering disimbolkan P). Karta kerja pasif disebut Ātmane-padam (sering disimbolkan A). Dan kata dasar kerja yang bisa dikonjugasi menjadi keduanya, disebut Ubhaya-padam (disimbolkan U).
Ada 3 jenis pelaku: orang pertama (uttama-puruṣaḥ)—aku, kami, kita; orang kedua(madhyama-puruṣaḥ)—kamu, kalian; dan orang ketiga(prathama-puruṣaḥ)—dia, mereka. Pelakunya juga bisa terdiri dari satu orang (eka-vacanam), dua orang (dvi-vacanam), atau lebih dari dua orang (bahu-vacanam).
Dalam bahasa Sanskerta dikenal 10 jenis tenses dan moods:
Simple present tense (laṭ-kāraḥ).
Perfect past tense (liṭ-kāraḥ).
First future tense (luṭ-kāraḥ).
Second future tense (lṛṭ-kāraḥ).
Imperative mood (loṭ-kāraḥ).
Simple past tense (laṅ-kāraḥ).
Potential mood (adhiliṅ-kāraḥ).
Benedictive mood (āśīrliṅ-kāraḥ).
General past tense (luṅ-kāraḥ).
Conditional mood (lṛṅ-kāraḥ).
Masing-masing maknanya akan dibahas secara terpisah karena memerlukan penjelasan yang cukup banyak.
Sekilas, infleksi nampak sangat kompleks dan banyak yang harus dihapalkan. Betul. Tapi di era gadget dan internet ini, kita bisa menggunakan situs-situs tertentu untuk membantu kita melakukan deklinasi maupun konjugasi, asalkan kita paham betul bentuk kata dasarnya.
Sekian dulu. Kita lanjutkan dengan pembahasan berikutnya di lain waktu.
Tumbuh dalam keluarga dan masyarakat yang beragam, saya sering mendengar: “Semua agama itu sama. Sama-sama mengajarkan kebaikan.” Petuah tersebut mengajarkan kepada anak-anak bahwa agama-agama bukanlah untuk dipertentangkan. Walaupun berbeda, toh setiap agama mengajarkan hal yang sama: kebaikan.
Beranjak dewasa di tengah zaman deras arus informasi, saya semakin sering mendengar: “Walaupun sama-sama mengajarkan kebaikan, agama-agama itu berbeda.” Jika dulu aspek universalnya yang ditonjolkan, kini perbedaannya digarisbawahi. Tentu saja: umat muslim beribadah di masjid, sedangkan yang kristen ke gereja, sedangkan yang hindu ke pura, dan umat buddha ke wihara.
Belum lagi soal-soal yang lain: pembawa risalah, kitab suci, teologi, dan seterusnya. Dalam terang informasi, semua agama tampak jelas perbedaannya. Kedua petuah di atas sama-sama memiliki nilai kebenaran: perbedaan itu ada, demikian persamaannya. Yang menjadi soal adalah bagaimana praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.
“Jika saya tahu Kamu berjalan di ‘jalan’ yang salah, haruskah aku diam?” Demikian pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi lintas agama dulu di kampus. Buat seorang hindu yang tinggal di luar Bali seperti saya, pertanyaan ini familier sekaligus asing. Familier karena pertanyaan seperti ini sering saya terima dalam berbagai varian, baik dari umat muslim maupun kristen/katolik. Intinya: ada jalan (agama) yang benar—yaitu jalanku—dan ada jalan yang salah/sesat—jalanmu.
Pertanyaan ini terasa asing karena agama Hindu tidak mengedepankan pemilahan seperti ini. Bahkan di dalam Bhagavad Gita (BG) dikatakan bahwa pada jangka panjang, semua makhluk akan mencapai ‘titik’ yang sama, terlepas dari apa kepercayaannya saat ini (BG 4.11). Ya, pada jangka pendek kita bisa ‘salah jalan’, tapi pada jangka panjang—karena dorongan jiwa (dalam pengertian Hindu Dharma, bukan pengertian umum)—semua akan sampai kepada-Nya.
Hindu Dharma mengenal proses kelahiran kembali (reinkarnasi). Perjalanan setiap jiwa mencapai Tuhan butuh jutaan bahkan milyaran tahun; sang jiwa perlu lahir, hidup, mati, lahir lagi, dan seterusnya, berkali-kali. Satu masa kehidupan manusia selama 60–70-an tahun, termasuk jangka pendek dibandingkan dengan proses evolusi jiwa. Dalam satu masa kehidupan, apa yang dipercayai seseorang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya sebelum ini.
‘Gumpalan’ pikiran dan perasaan yang membungkus sang jiwa—termasuk keinginan, harapan, dan pemahaman tentang diri serta lingkungannya—menjadi bahan dasar di dalam kelahirannya saat ini. Kepercayaan seseorang selaras dengan sifat dasarnya masing-masing; ia adalah apa yang dipercayainya (BG 17.3). Sifat dasar alam tadi juga menentukan di dalam keluarga dan tradisi kepercayaan/agama seperti apa sang jiwa dilahirkan.
Secara umum, Hindu Dharma menggolongkan sifat dasar alam menjadi tiga, yang disebut Tri Guna, yang terdiri dari Sattva, Rajas, dan Tamas. Setiap orang memiliki racikan Guna yang khas, yang ditentukan oleh pengalaman sang jiwa dari masa-masa kehidupan yang lalu. Setiap anak terlahir unik; ia lahir bukan sebagai kertas kosong. Ketiga sifat ini adalah rantai yang ‘menjerat’ sang jiwa, atau tirai yang mengelabui pandangan kita.
Sifat-sifat ketiga Guna. Sumber: explorevedanta.com
Pada dasarnya, semua jiwa di dunia ini sedang tersesat. Ia lupa kesejatian dirinya yang sebenarnya adalah Brahman Yang Tidak Terbatas. Tat tvam asi, Itu-lah engkau, Itu-lah dirimu yang sejati. Semua jalan yang mengingatkan kita pada kesejatian ini, adalah jalan yang lurus/benar. Sedangkan jalan yang membuat kita lupa sehingga menganggap diri sebagai badan, pikiran, dan perasaan—yang terbuat dari materi-kebendaan dan memiliki tiga sifat itu—adalah jalan yang salah/sesat.
Oleh karena itu, Hindu Dharma hanya mengakui satu jalan yang benar. Walaupun demikian, cara yang ditempuh, model/maket yang digunakan untuk menyibak ‘tirai kebodohan’ tersebut bisa bermacam-macam, tidak tunggal. Bahkan, setiap orang akan menempuh jalan yang unik karena ia akan selalu berangkat dari racikan Tri Guna yang telah membentuk tubuh, pikiran, dan perasaannya.
BG 17.4 misalnya mencontohkan bahwa mereka yang dominan sifat Sattva-nya akan memiliki kepercayaan yang selaras dengan alam. Mereka akan menghormati dan menjaga alam di sekitarnya, misalnya dengan tidak mengorbankan nyawa binatang (atau manusia lain) untuk mencapai tujuannya. Sedangkan ia yang dominan sifat Rajas-nya akan menempuh cara apapun supaya keinginannya dikabulkan, termasuk menyakiti/menipu/menindas makhluk lain.
Mereka yang dominan sifat Tamas-nya, akan memercayai segala sesuatu secara membabi buta—termasuk kepercayaan-kepercayaan yang sudah usang dan tidak lagi relevan. Tri Guna juga akan memengaruhi jenis-jenis makanan yang disukai, cara beribadah, cara bederma dan beramal, teologi, dan sebagainya. Sattva lebih baik daripada Rajas. Rajas lebih baik daripada Tamas. Namun di atas itu semua, yang terbaik adalah Kesadaran Jiwa.
Orang-orang yang memiliki corak Guna yang mirip akan berkumpul dan membentuk Sraddha (kepercayaan, agama) masing-masing. Bahkan di dalam satu tradisi keagamaan yang sama bisa muncul puluhan bahkan ratusan sub-kelompok yang memiliki interpretasi, cara pandang, pola pikir, dan perilaku yang berbeda-beda. Lingkungan juga sangat berpengaruh, misalnya mereka yang hidup di daerah yang tandus akan menjadi lebih keras dan kaku bila dibandingkan dengan mereka yang hidup di negeri yang gemah ripah loh jinawi.
Berdasarkan sifat-sifat dasar kita itu pula lah kita ‘membentuk’, memproyeksikan Tuhan. Kita me-manusia-kan Tuhan mengikuti pengalaman kita: Tuhan itu pencipta sebagaimana seorang tukang kayu menciptakan kursi, Tuhan itu pemarah, Tuhan itu penuh kasih sayang, Tuhan membela tim sepak bola kesayangan kita, Tuhan itu mencintai kita dan membenci yang lain, Tuhan itu begini, Tuhan itu begitu. Tanpa kita sadari kita memberikan Tuhan bentuk: nama dan rupa sesuai dengan diri kita masing-masing.
Ada agama-agama yang jujur mengakuinya. Ada pula yang perlu menutup-nutupinya, supaya umatnya yang masih mudah ‘goyah’ punya pegangan yang pasti. Di dalam tradisi Hindu Dharma dikenal istilah ishta devata, yaitu umat Hindu dengan sengaja memilih nama dan rupa Tuhan yang paling cocok dengan perkembangan spiritualnya. Ia bisa memilih dari berbagai nama dan rupa yang ada sebagai dewa dan dewi, atau sekelompok dewa-dewi, atau ‘perwujudan’-Nya yang abstrak. Silakan saja.
Inilah alasan mengapa Hindu Dharma menjadi agama yang paling toleran, bahkan bisa mengapresiasi dan menghormati agama-agama lain. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak dipandang sebagai sesuatu yang melekat dan menjadi identitas yang tidak bisa berubah. Semakin berkembang kesadaran seseorang, maka pikiran dan perasaannya pun akan ikut berubah. Dalam kelahirannya selanjutnya, jika seseorang mau memperbaiki diri, maka ia akan memiliki racikan Tri Guna yang lebih baik.
Hindu Dharma memiliki tradisi penghormatan kepada para suci, resi, awatara, yaitu orang-orang yang telah mencapai tingkat kesadaran jiwa yang lebih tinggi. Kebenaran “dicapai” lewat penemuan pribadi, bukan semata iman yang buta.
Demikian seterusnya, sang jiwa berevolusi hingga ia menyadari kesejatian dan keilahian/kedewataan dirinya—yang pasti dicapai semua jiwa pada waktunya. Perubahan sejati harus berasal dari dalam diri, dan tidak bisa dipaksakan. Betul, bahwa tidak semua agama sama. Ada yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat kebendaan Tamas dan Rajas. Agama-agama dari kelompok ini cenderung mengedepankan iman yang kaku terhadap sesuatu/seseorang, “Pokoknya percaya kepada si Anu, Kamu pasti selamat! Lakukan saja apa yang tertulis dalam kitab suci dan kumpulkan terus poin pahala.”
Sah-sah saja, bila memang yang dihadapi adalah umat yang masih Tamasik dan Rajasik. Mereka masih perlu iming-iming dan dilibatkan dalam permainan. Gamification dibutuhkan untuk membuat mereka melakukan kebaikan. Mereka masih belum hidup berkesadaran. Mereka yang sudah menyadari bahwa kebaikan adalah sesuatu yang mulia, mereka telah naik kelas dan masuk dalam kepercayaan yang bersifat Sattva. Kesadaran mereka sudah mulai berkembang.
Menyadari hal ini, bagaimana bisa umat Hindu Dharma mengatakan yang satu sesat, dan yang lain benar. Anak-anak TK belum bisa diajari tentang advance knowledge, seperti fisika kuantum. Mereka masih perlu banyak bermain-main. Ketika ia SD, barulah ia belajar A untuk Apel, B untuk Burung. Anak-anak di tingkat yang lebih tinggi sudah tidak memerlukan itu lagi. Lain di SMP, lain pula ketika ia SMA.
Saat menjadi mahasiswa, ia baru belajar mandiri. Ia mulai sadar bahwa bangun pagi baik untuk dirinya sendiri, tanpa perlu dipaksa atau diberi iming-iming ‘hadiah’. Bahasa kita tidak bisa sama menghadapi orang-orang yang berbeda tingkat kesadarannya. Demikian pula dengan agama dan kepercayaan yang ada, kita tidak bisa memaksa, menuntut perubahan yang radikal dalam jangka pendek.
Tapi tidak berarti bahwa kita cuek saja. Motivasi kita berbagi kesadaran hendaknya adalah kasih. Untuk itu, kita semua perlu membuka diri terhadap segala pemikiran/gagasan yang mulia. Bukan sembarang pemikiran/gagasan, tapi pemikiran/gagasan yang membuat kita bebas dari kepalsuan (ilusi kebendaan) dan cara pandang yang sempit (picik), serta pemikiran/gagasan yang mencerahkan.
Ā no bhadrāḥ kratavo yantu viśvato’dabdhāso aparītāsa udbhidaḥ (Rigveda 1.81.1a)
Semoga segala pemikiran/gagasan yang mulia datang dari segala penjuru kepada kita semua—bebas dari kepalsuan dan kepicikan, serta cemerlang.
Pagi ini saya membaca Yoga Vasishtha (6.1.55). Di sana Begawan Vasishtha mengisahkan percakapan antara Shri Krishna dan Arjuna. Shri Krishna menjelaskan tentang hakikat Jiwa (diri yang sejati):
“Jiwa (jīva, Sanskerta.) tinggal di dalam jaring-jaring yang dibentuk dari kelima unsur alam yang menyusun badan (ruang, udara, api, air, dan tanah), dari pikiran, serta budi. Sepanjang hidup, Jiwa tersebut “diseret-seret” oleh sifat-sifat bawaan (yang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman di masa lalu, keinginan terpendam, ingatan, dan sebagainya). Demikian, Sang Jiwa terpenjara di dalam badan.
“Seiring waktu, badan pun menua, dan pada akhirnya Jiwa meninggalkan badan seperti sari yang keluar dari perasan daun. Jiwa membawa serta pengalaman dan pikiran, meninggalkan tubuhnya yang lama dan melanjutkan perjalanannya. Jiwa pergi seperti wewangian menguap di udara. (Dalam kondisi itu) Jiwa dibungkus oleh vāsanā, yaitu sisa-sisa pengalamannya selama masih berbadan. Ditinggalkan Jiwa, badan pun teronggok mati.
“Ke mana pun pergi, segala sesuatu yang dilihat oleh Jiwa—yang pada saat itu berwujud sebagai prāṇa, energi—merupakan proyeksi dari vāsanā-nya (bahkan ketika Jiwa tersebut lahir kembali dalam badan yang baru). Vāsanā ini tidak bisa dihilangkan kecuali dengan upaya yang kuat dan terus-menerus. Kalaupun gunung-gunung telah hancur menjadi debu, dan dunia ini mengalami pralaya, janganlah meninggalkan upaya ini. Bahkan, surga dan neraka pun hanya proyeksi dari vāsanā.
“Vāsanā lahir dari ketidaktahuan dan kebodohan, dan hanya akan sirna bilamana cahaya pengetahuan sejati tentang hakikat Jiwa muncul. Yang kita pahami selama ini sebagai jiwa sebenarnya baru vāsanā ini (bukan Sang Jiwa yang Sejati), yaitu hanya gugusan pikiran serta perasaan yang sesungguhnya tidak nyata. Ia yang ketika masih hidup berhasil melepaskan diri dari kendali vāsanā-nya disebut telah mencapai kebebasan (moksha, Sanskerta). Sedangkan mereka yang masih berada dalam cengkraman vāsanā, hidup dalam penjara keterikatan betapa pun cendekianya mereka.”
Inilah esensi ajaran Hindu Dharma, yaitu dharma penduduk Peradaban Sindhu, Hindu, Hindia, India, Indo, Intu, Shintu, yang mana kita adalah bagiannya. Bagi seorang Hindu, surga bukanlah tujuan akhir. Bahkan surga dipandang sebagai kelanjutan dari nafsu dan keinginan kita yang belum tuntas, sedangkan neraka hanyalah cerminan rasa penyesalan. Tidak ada “tiket emas” mencapai Kebahagiaan Sejati yang bisa ditebus dengan beribadah sekian kali, melainkan untuk menggapainya perlu upaya yang kuat dan terus-menerus melepaskan diri dari vāsanā. Sekian.
Beberapa hari lalu saya ngobrol dengan kawan soal Pemilu yang akan datang, dan apa yang bisa dilakukan untuk membantu pemilih mengambil keputusan yang tepat (lepas dari bias). Ketersediaan informasi (yang benar) menjadi salah satu hal yang muncul dalam percakapan. Di dunia yang dipenuhi hoaks seperti sekarang ini, apakah itu cukup? Rasanya tidak.
Fakta atau informasi yang sudah tervalidasi sekalipun tidak akan bisa “menembus” pertahanan pikiran seseorang yang sudah terpaku pada suatu hal—se-salah apapun informasinya. Tentu saja akses terhadap informasi yang akurat masih dibutuhkan, utamanya bagi mereka yang masih belajar dan yang ada di wilayah abu-abu. Tapi, bagi mereka yang sudah condong pada sesuatu/seseorang, informasi yang datang akan tersaring; yang bisa masuk hanyalah yang mendukung kepercayaan yang sudah dipunyai. Fakta yang tidak mendukung akan dengan mudah dianggap salah atau sengaja menyesatkan.
Karena itu, hoaks pun laku bilamana ia memperkuat kepercayaan dan identitasnya. Hal ini tidak cuma terjadi di Amerika sana, tapi juga di sini. Setiap orang bisa jatuh di lubang yang sama: ternyata kita tidak selalu “rela” mengubah apa yang kita percaya ketika disuguhi fakta yang sebaliknya. Salah satu alasannya adalah “ongkos perubahan” yang mahal, dan murahnya “ongkos mempertahanakan sesuatu yang salah”. Apa konsekuensinya di dunia nyata percaya bahwa bumi ini datar? Hampir tidak ada.
Alasan lainnya adalah kerapnya media menempatkan mereka yang menghadirkan-fakta pada posisi yang SEJAJAR dengan mereka yang ingin menebar kebohongan (dan kebencian)—atas nama keadilan. Ketika pikiran kita masih mencari-cari sensasi dan hiburan, maka kita akan mudah tertarik dengan ide-ide yang kontroversial dan menggelembungkan ego (keunikan dan identitas-yang-salah) kita, seperti macam-macam teori konspirasi. Diskusi di TV dan media lainnya antara kedua pihak tadi seringkali sengaja dibuat mengambang, dan penonton yang pikirannya sudah tercabik-cabik dibiarkan begitu saja tanpa pencerahan.
Trus, apa solusi dari masalah yang sepertinya memang wired di dalam otak kita ini? — Video di bawah ini mengaku bahwa belum ada silver bullet-nya; untuk itu saya menoleh ke sumber lain: Yoga.
Permasalahan di atas bukan hal yang baru. Pikiran manusia dan bagaimana mencapai kejernihan/keseimbangan berpikir telah menjadi subyek penelitian selama ribuan tahun di Hindia, jauh sebelum sains barat mengembangkan psikologi. Salah satu teks Yoga yang penting, Yoga Sutra (YS), yang ditulis oleh Patañjali, mengatakan bahwa benih-benih pikiran-dan-perasaan punya dua kemungkinan berkembang: ia bisa jernih melihat kenyataan apa adanya, atau ia bisa juga menjadi keruh dan mengasosiasikan dirinya dengan kekeruhan itu (YS 1:3–4).
Fenomena hoaks di atas dijelaskan dengan sangat singkat di dalam YS 2:3, bahwa kekacauan dan penderitaan ini disebabkan (berturut-turut) oleh: avidyā (ketidaktahuan), asmitā (ke-aku-an), rāga (likes), dveṣa (dislikes), dan abhiniveśa (keinginan untuk mempertahankan suatu keadaan). Ongkos perubahan menjadi mahal karena kita menganggap bahwa “diriku adalah ide atau pendapat atau gagasan atau ajaran atau ideologi, dst.” (asmitā); sehingga konsekuensinya aku akan menyukasi sesuatu hal (rāga) dan membenci hal lainnya (dveṣa); kemudian aku akan berupaya mempertahankannya (abhiniveśa).
Semua itu berasal dari avidyā atau ketidaktahuan. Nah, di sini avidyā tidak sama dengan ketiadaan informasi (yang benar) dari luar. Avidyā lah yang membuat seseorang salah menganggap siapa dirinya; avidyā adalah akar dari asmitā dan penyebab kekacauan dan penderitaan yang disebutkan di atas. YS 2:5 menjelaskan bahwa avidyā adalah “bias” yang membuat kita salah memahami: yang kekal dan yang temporary, yang murni dan yang keruh, yang menghasilkan suka dan yang mendatangkan duka, serta jati diri dan identitas palsu.
Berita baiknya: solusinya ada, yaitu pada masing-masing individu. Berita buruknya: tidak ada solusi instan—dibutuhkan upaya intensif dan terus-menerus (abhyāsa), serta pelepasan diri dari keterikatan (vairāgya) lewat disiplin diri (YS 1:1,12). Lebih lanjut, Patañjali menjelaskan langkah-langkahnya. Hal ini penting tidak hanya supaya kita bisa memilih apapun/siapapun dengan tepat, tapi berlaku juga dalam semua segi kehidupan yang lain. Dan sebagaimana segala sesuatu yang sifatnya riil dan jangka panjang, solusi ini tidak berpura-pura menawarkan hasil kilat dan kunci jawaban pilhan ganda.
Kita tidak bisa menjamin produksi hoaks berhenti dengan ditangkapnya kelompok-kelompok seperti Saracen; mereka ada karena adanya permintaan, kebutuhan akan validisasi identitas diri. Kita tidak bisa terus-terusan menyuapi masyarakat “what to think”, tapi perlu juga mengajarkan “how to think” lewat disiplin diri. Pada suatu titik, informasi yang berlimpah malahan akan menjadi bumerang jika tidak disertai kebijaksanaan. Jika manusianya tidak berubah, sampai kapan kita bisa berharap pada keberuntungan setiap kali kita mengambil langkah dalam “gelap”?!
Mungkin Anda pernah bertanya-tanya mengapa Anda di lahirkan di dalam keluarga ini? Mengapa ada yang dilahirkan dengan anggota badan yang tidak sesempurna yang lain? Mengapa Anda menyukai sesuatu hal dan membenci hal lain? Mengapa Anda merasakan dorongan emosi yang kuat terhadap seseorang atau terhadap sesuatu (benda, barang, keadaan, dsb.)? Kadang, walaupun baru pertama kali bertemu, Anda sudah muncul perasaan yang kuat terhadap seseorang—entah itu suka atau benci. Bukankah sekarang telah diterima luas, bahwa anak-anak lahir bukan seperti selembar kertas putih-polos, tapi mereka terlahir dengan corak dan kekhasan yang unik? Dari mana asalnya?
***
Bicara tentang reinkarnasi kita memasuki wilayah “percaya tidak percaya”. Bagi yang percaya, reinkarnasi adalah kenyataan sebagaimana makhluk hidup bernafas, atau matahari yang terbit dari ufuk timur setiap pagi. Bagi yang tidak, mereka akan menganggapnya sebagai celotehan yang tidak berdasar (baca: tidak sesuai dengan iman di dalam kitab suci mereka). Ada juga orang-orang yang di tengah-tengah: antara percaya dan tidak. Mereka ini mungkin merasakan sendiri dari pengalaman hidup mereka seperti di atas, namun terbentur sekat-sekat yang dibuat masyarakat.
Bagi seorang Hindu seperti saya, reinkarnasi diajarkan di sekolah namun hanya sekedar sebagai hapalan. Tidak lebih dari itu. Konsekuensinya tidak lebih dari sebatas spekulasi dan guyon: “eh, jangan-jangan saya dulu begini atau begitu”; pemahaman tentang reinkarnasi belum menjadi suatu hal yang dapat mentransformasi diri. Sebabnya adalah tidak tersedianya secara luas lembaga-lembaga spiritual (padepokan-padepokan atau ashram) yang memahami seni meditasi dan berbagai pengetahuan spiritual lainnya yang bersumber dari ajaran Veda. Pendidikan agama pada masa sekarang masih bertumpu pada cara pendidikan sekuler ala barat di sekolah-sekolah formal.
Sebagaimana proses-proses alami yang tidak memerlukan iman dan kepercayaan manusia untuk terjadi, demikian pula proses reinkarnasi—setidaknya bagi mereka yang percaya. Anda tidak perlu mendeklarasikan diri percaya kepadanya sebelum proses tersebut bisa Anda alami. Ia tidak sama dengan kepercayaan tertentu yang hanya membolehkan seseorang masuk ke dalam surga jika ia percaya surga itu ada—akibatnya dia harus masuk lewat pintu lainnya menuju neraka. Sucks, hey! Reinkarnasi terjadi begitu saja terlepas dari apapun agama yang Anda anut atau seberapa pun derajat keimanan Anda pada proses ini, sebagaimana matahari tidak butuh ijin kita untuk terbit dan terbenam setiap hari.
Walaupun demikian, menyadari proses reinkarnasi akan sangat membantu perjalanan spiritual Anda saat ini dan nanti. Saya menebalkan bagian “perjalanan spiritual” karena tidak semua orang mengambil jalan ini, dan tidak ada paksaan juga, kok. Bagi yang masih senang bermain-main di TK Dunia ini, ya memang tidak “perlu” memahami proses reinkarnasi. Mereka hanya perlu menjalani peran mereka masing-masing dengan baik: lahir, dewasa, bekerja, berkeluarga, menua, lalu meninggalkan dunia untuk kembali lagi bermain-main dengan orang-orang yang sama, kadang di bagian bumi yang ini, kadang di bagian bumi yang lain. Bagi mereka, sudah cukup pelajaran menjadi warga dunia yang baik; fokus saja pada satu masa kehidupan, yaitu yang sekarang berdasarkan hukum-hukum keagamaan yang ada yang berbasis reward and punishment. Inilah yang disebut sebagai Pravṛtti Marga. Sampai suatu ketika proses ini makin menjenuhkan, dan mereka pun siap “naik kelas” dan mulai menapaki Nivṛtti Marga, jalan spiritual.
Karena memperhatikan kebutuhan audiens yang dihadapi, pemahaman tentang reinkarnasi tidak selalu muncul dalam semua tradisi keagamaan. Kadang hanya di dalam inner circle tertentu saja hal ini dibicarakan, sedangkan untuk khalayak luas reinkarnasi tidak dibahas. Toh, jika memang sudah waktunya mereka yang sudah siap akan mencarinya sendiri. Di antara beberapa tradisi keagamaan yang membahasnya, tradisi Vedik yang berkembang di wilayah Peradaban Sindhu/Indus/Indo/Hindu/Hindia (yang mana Indo-nesia adalah bagian darinya) mungkin yang paling lengkap mengulas soal reinkarnasi. Mau tidak mau, untuk menjelaskan proses ini, saya harus mengutip sumber-sumber langsung dari tradisi ini.
Untuk memahami tentang reinkarnasi kita harus memahami dulu siapa diri kita. Diri kita, self, atau ātman di dalam bhs. Sansekerta secara sederhana dapat dikatakan terdiri dari dua bagian: (1) diri yang tidak berubah, tetap, dan (2) diri yang berubah-ubah. Untuk lebih mudahnya, diri yang tidak berubah ini disebut jīvātman (Sans. jīva + ātman; jīva atau jiwa berasal dari akar kata jī atau jīv yang berarti (selalu) hidup, menang). Sedangkan diri yang ke dua—yang bisa berubah-ubah—tersusun dari gumpalan atau gugusan pikiran, perasaan, emosi, pengalaman-pengalaman hidup, harapan, keinginan, ingatan, imajinasi, suka dan duka, dst. yang disebut manas, atau mind.
Sesungguhnya, jīvātman inilah yang disebut sebagai diri yang sejati. Yang menarik, jīvātman-ku dan jīvātman-mu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ātman yang lebih tinggi/besar lagi, yang disebut Puruṣa, yang juga hanyalah bagian dari Parama-Ātman. Swami Anand Krishna di dalam bukunya, Soul Awarenss (2016), secara apik mengumpamakan Paramātman, puruṣa, dan jīvātman seperti matahari, cahaya matahari yang menerangi satu kampung, dan cahaya matahari di dalam satu rumah. Ketiganya sebenarnya satu dan tidak terpisahkan. Walaupun demikian, “identitas” ini terpendam dan terlupakan oleh kita. Kita lebih sering mengasosiasikan diri dengan yang ke-2, dengan manas dan tubuh fisik—yang “membungkus” manas—saja.
Identifikasi diri yang salah ini lah (sebagai manas yang terus berubah) yang menyebabkan jīvātman “lahir” lagi dan lagi. Manas—menurut Veda—masih dipandang sebagai bagian dari alam kebendaan (sebagaimana tubuh kita), walaupun lebih halus dan tak kasat mata. Karena masih berupa kebendaan, baik tubuh maupun manas mengalami evolusi. Manas yang lebih “advance” akan berusaha mencari badan yang sesuai—atau istilah kininya: kompatibel. Bila antara software dan hardware ini tidak sesuai, maka berbagai persoalan dapat muncul, dan sistem-nya dapat dengan cepat mengalami crash.
The soul, endowed with life-breath and fast-speed goes out and the dead body is left behind in the house. The immortal soul, hitherto living in the mortal body, keeps on moving from life to life by it’s own nature. (30)
He who was brought to life in body does not know of it. He who sees it, is (now) concealed from it. It is hemmed in the womb of the mother, is subjected to many births and finally merges into the eternity. (32)
—Rig Veda 1.164.30 dan 32.
One, who is the first (life) does actions unto dharma or righteous dictates, on that account he obtains good bodies in the (subsequent) life. That soul, after leaving the first, enters into the (next) yoni or womb. There, having been blessed with true divine speech, he enjoys.
—Atharva Veda 5.1.2.
(diterjemahkan oleh Swami Satya Prakash Saraswati dan Satyakam Vidyalankar, 2011, DAV Publication).
Kalau demikian, mengapa kita tidak ingat kehidupan-kehidupan kita yang lalu? Well, jangankan kehidupan kita puluhan atau ratusan tahun yang lalu, lha wong apa yang kita lakukan 10 menit, 10 jam, atau 10 tahun yang lalu saja kita tidak ingat persis. Semuanya tergantung dari seberapa kuat pengalaman-pengalaman tersebut membekas, seberapa dalam ia tertimbun di bawah berbagai “sampah manas” yang kita kumpulkan setiap saat, dan lama waktu yang kita lewati di antara kematian dan kelahiran kembali.
Dalam hal ini, lama atau cepatnya proses kelahiran kembali salah satunya dipengaruhi oleh pelepasan manas dari tubuh lamanya. Selama tubuh masih ada dan belum sepenuhnya habis terurai, jiwa yang manas-nya menanggung “beban” keinginan, harapan, dsb. masih bisa mondar-mandir, atau merasakan surga yang penuh kebahagiaan atau neraka yang penuh penderitaan, kemudian kembali lagi. Biasanya jiwa yang cepat meninggalkan tubuh lamanya karena telah dikremasi akan lebih cepat melanjutkan “perjalanannnya”, sehingga apabila ia menemukan “wadah” baru, bekas-bekas dari kehidupan sebelumnya masih relatif lebih jelas tersisa.
Mereka yang tubuh fisiknya lebih cepat hancur (misalnya dikremasi) akan memiliki keuntungan; ditambah apabila ia lahir di dalam lingkungan yang memahami seluk-beluk reinkarnasi dan memiliki tradisi spiritual yang kuat, jiwa-jiwa tersebut akan lebih mudah mengingat apa yang masih belum tuntas, termasuk kelemahan dan kekuatan apa saja yang diperolehnya sepanjang perjalanan jiwanya. Ia, maupun orangtua, dan lingkungannya pun bisa mendesain proses perkembangan jiwanya secara unik. Demikian, proses perkembangan jiwa dapat berlangsung lebih cepat hingga pada suatu ketika identitas sejati sang jiwa teringat kembali dan ia pun mencapai kebebasan sejati atau mokṣa.
Bagi yang lahir, kematian adalah keniscayaan; bagi yang mati, kelahiran adalah keniscayaan. Sebab itu janganlah bersedih hati, menangisi sesuatu yang sudah pasti terjadi. (27)
Wahai Bhārata (Arjuna) makhluk-makhluk hidup semua berawal dari yang tidak nyata, tidak berwujud; dan berakhir pula dalam ketidaknyataan, tidak berwujud lagi. Hanyalah di masa pertengahan mereka menjadi nyata, berwujud. Sebab itu, apa yang mesti disesali? (28)
Ada yang terpesona oleh keajaiban Jiwa sebagaimana dipahaminya; ada yang mengetahui keajaiban Jiwa; ada yang mendengar dan terheran-heran. Kendati demikian, setelah mendengar tentangnya, ia tetap saja tidak memahaminya. (29)
Dia—Jiwa yang menghidupi badan sekian makhluk adalah Tak Termusnakan untuk selamanya. Sebab itu wahai Bhārata kau tidak perlu berduka untuk siapa pun juga. (30)
(Dengan menyadari hakikat dirimu sebagai Jiwa), dengan menyadari tugasmu, kewajibanmu sebagai seorang kesatria, janganlah engkau gentar menghadapi pertempuran, tantangan di depan mata. Sungguh bagi seorang kesatria tiadalah sesuatu yang lebih mulia daripada pertempuran demi penegakan kebajikan dan keadilan. (31)
—Bhagavad Gita Bab 2. (diterjemahkan oleh Swami Anand Krishna di dalam “Bhagavad Gita bagi Orang Modern”, 2017, Gramedia Pustaka Utama).
IMPORTANT: This is transcribed with the permission of Anand Ashram Foundation from their video clip on YouTube, purely for Non-Commercial Purpose and for this blog alone. Any further reproduction or translation in any manner and by anyone will be considered illegal and liable to legal prosecution.
Below are the transcriptions of the 3 part video series titled “Kundalini” from Swamiji Anand Krishna (2017). Please enjoy, and let me know if there is any mistake in the transcription. Ānandam.
[Video 1 – Kundalini: The Myths and The Facts]
First question: How to activate Kundalini? And what is the main purpose of it?
Second question: Can you recommend the safe way to open the third eye?
First of all Kundalini. Have you all heard of Kundalini?
There is a lot of nonsense going on. Most of the books in the west, which are being translated in the eastern languages, have nothing to do about Kundalini. It’s about making money. So… say, you have to create a monster. If you want to sell armaments, to sell weapons, you have to create a monster. You have to spread fear, make people fearful. And then let them buy arms, guns. If you are fearful, it is a matter of survival for you. Similarly, if I tell you that your Kundalini is blocked, and I have a way to open your Kundalini… to clear this blockage. If you believe in me… if I can convince you that your Kundalini is blocked, you will do anything. The thing is: what is Kundalini has not been explained.
The meaning of the word Kundalini in Sanskrit is related to your own potential. So Kundalini is not something like mystic.. or something mystic. Yes, if you want to interpret it that way. But, it is to do with your own potential. So, when I say ‘your potential’, your potential is your potential. My potential is my potential. Are you getting the point?
If your potential is unique your potential, and my potential is unique my potential, how can I write a book describing the same potential for everybody?! It is not possible. So first of all, you have to drop the books about Kundalini. Because books are not giving you any answer. Books are like… you know… is a blouse or a shirt that comes with a size. (When) your next size is 15 an a half, and if your are 15 and a quarter, you have to settle with 15 and a half. If you are 15 and three quarter, you are still have to settle with 15 and a half because no shirt available in 15 and a quarter, or 15 and a half. But, Kundalini is precise. Your potential is precise. My potential is precise. So it is something to do with practice, and nothing to do with books or bookish knowledge. It is your potential.
When people describe that your Kundalini arising, you feel this, you feel that; while you are meditating you feel this kind of energy, this kind of colors… a lot of description. But all these things are not meditation, first of all. When you are paying attention to what is happening during meditation session you are not in meditative state of mind. You are in a state of mindfulness, which is not meditation. When you are paying attention to all these phenomena: what is happening to me… this color, this energy, and this sensation, you are being mindful. You are not in the state of meditativeness. And Kundalini has got something to do with mediation, not with mindfulness.
The question is “how to activate Kundalini”. If your Kundalini is not activated, you won’t be sitting here. People whose Kundalini is totally not activated they are the happiest people, like Forrest Gump, or Mr. Bean—he have passed away, I think, recently. They can do harm to anybody, and they can get away with it because they are not sensitive. If you are even little sensitive, very little sensitive means that your Kundalini has been activated. If you are unhappy with your job, mark my words: if you are not happy with your relation, if you are not happy with your job, if you are disturbed with what is happening in this world, to this world, in our society… if what is happening in Macedonia, in Greek is bothering you although you are living thousands of miles away; if what is happening today in Norway, or Sweden, or Belgium, or Brazil… what is happening there… if somebody is being bombed in London, if you feel the pain, your Kundalini has been activated. As simple as that!
But, if you think “ah people are dying, but they are not my relation, they belong to different group, they are not me, they are not my people,” then your Kundalini is not activated at all. If you are even little sensitive, your Kundalini is little activated, which means that your awareness is not limited to your body alone. You are not thinking about your pleasure alone. You are not thinking about your safety alone. You are not thinking about your happiness alone. If so, your Kundalini is already activated. A lot of people here, you are come from different part of the world, and you are looking for something. Maybe at this point, you cannot pin point what are you looking for. Of course you all want to be happy, we are all want to be happy. But you may look for different means to be happy. I may look for different means to become happy. Maybe at this moment we are not very clear.. but the fact that you are looking for something, you are looking for higher purpose of life, you are looking for higher happiness, deeper peace, your potential as human being is already activated. Now, how to enhance it; there are no blockages. [End of video 1].
[Video 2 – How to Detect if Your Kundalini is Active?]
How to enhance it? Third eye is related to Kundalini path, when you are rising in your consciousness, the first thing that happens is… the very first thing that happens to you when you rise in your consciousness is you drop all kinds of meats. You realize at that very moment that those animals have the same life. This is the first realization. The first realization is you drop all kinds of meats, whatever your society tells you. “I am alright with this.” (But) if you are still starving, looking for meat, and you are still eating corpses, dead bodies of animals, even your initial development is not there.
Forget it when someone tells you your this Chakra has opened, or that Chakra has opened. Nonsense! First is your diet. Because we share that diet with all living beings. Eating, drinking, sleeping, and sex all animals do this, we do the same thing. These are the lower consciousness. We can have this kind of human body and we can stay in the lower consciousness, for many lifetimes, life after life; not just one lifetime. We can stay in that lower consciousness just looking for food, some comfort, good life, feeling good… even Google knows this. So Google is exploiting you also… feeling good today, because Google knows that you want to feel good today.
Feeling good is something else; it is an emotional thing. But feeling truly happy is something else. It has got nothing to do with bodily comfort, good food, good relation, good house, good husband, good partner, good wife… no. It has got something to do with your Soul. So, if we are just looking for food, sex, and comfort, (we aren’t yet looking for true happiness, MH).
I was reading about a lady in the west, I think in America or Europe… She appeared on CNN. She is 80+, and she said with pride, “I have a boyfriend that is 40 years younger than me. And if you ask him, interview him, he is happy with me.” And at the end of the interview she said, “Thanks to Yoga. I have been doing Yoga for the last forty years and I can have a boyfriend who is 40 years younger than me.” So I tried to find information about this lady. She is filthy rich, very rich. Why 40 years, she can have two for 20 years. With that amount of money, everybody would like to be her boyfriend. No problem. It is nothing to do with Yoga. If your Yoga is for getting a boyfriend or a girlfriend, then it is not a Yoga.
Yoga is about inner beauty. One person who doesn’t even tell anybody he’s doing Yoga is Sean Connery, the James Bond fella. The more he grows, I think, in my opinion, he becomes more handsome. And he doesn’t tell anybody that he has been doing Yoga for the last fifty, or sixty years, or something… No. He doesn’t propagate, he doesn’t promote (Yoga), he doesn’t do anything. It is the inner peace that brings the beauty outside. And the third eye is something to do with your Wisdom, how to look at things from the Wisdom point of view.
So many things are happening. We are reading so many disturbing news. We are reading so many good news also. But we don’t have the wisdom as yet to see what is behind such news. What seems to be a good news may not be good news: A child is born in a very rich family. The child is given all kinds of comforts from the very early childhood. Looks good. But this child grows to become a very lazy person because everything is taken care of.
I had a very good friend 20 years older than me, now he is dead. But he was a very good friend. And he was a self-made men in Singapore. He used to have a very small store in Singapore in 1960s. My father knew him actually, he was younger than my father. He had a very small store in Singapore. And in 1970s-1980s when I came across him, when we became friends, he was already having 7 or 8 stores in Singapore, large stores, his own properties. I am talking about the time when there were no malls. People still had big stores, big shops. So this guy had 7 or 8 stores.
He had three sons. And this guy is making money and all his sons were losing money. So we were just talking one day over cocktails in the evening. And this old man asked me, “What is the problem? My father is a poor man. Their father is a rich man. I am providing everything for them. So they don’t care, they don’t value the money. Lost is lost, they don’t value it. But when I was working hard, my father didn’t have this kind of money. If I didn’t make money, I didn’t make money.”
So you can actually spoil your children, ruin their lives altogether by providing everything… which looks good, but it is not good. And have seen this phenomena: People who are self-made, when they have children, they tend to spoil their children because they are feeling guilty. “When we are young we don’t have all these comforts, all these facilities. So let’s provide these for my children.” But actually, they are spoiling their kids, ruining their lives. So, what looks good, may not be good. This is Wisdom. And this develops.
So, once again, Kundalini… what happens during meditation, forget that. What happens after meditation, that is important. So I was telling you: The first sign that you can recognize someone by… the food habit. Moderation. It is not extreme: not extremely sweet, not extremely sour, not extremely hot spices, not overcooked, not raw food. All these extremes show that we are still fighting with ourselves. Just be natural. Eat natural foods.
In Indonesia, until 1950s – 1960s when I was a kid, we had a very good diet. We didn’t eat so much meat. We ate chicken, yes once in a while. Fish, yes. And our vegetables are either sautéed or just loosely fried, not deeply fried. Or Gado-gado, just put the vegetables in a boiling pan, then take it out… you don’t boil the vegetables until they die. You put some sauce, then you eat that. And the food was very healthy, that was a very very good food according to Yogic principles. And nowadays, I was just reading—I was astonished, I was amazed—that an average Indonesians eat 6,000 chickens in his life. And this number is based on the junk food joints, like KFC, McD, and others.
And more than that: The major consumer of chicken—you’d be surprise—is “restoran padang” (The Padang Restaurants). They are the biggest consumer of meats, more than KFC and everything else. (So) 6,000 chickens you start eating from day one of your birth, if you are living (up to) 70 years. That means from day 1 of your birth, you are eating like 100 chickens every year. To eat 100 chicken means every third day you are eating 1 chicken. Make sense. When you go to KFC you buy this family pack, which is suppose to be for a family, sometimes only two of you eat.
So all these things. If you see what is happening in this world; the number of junk food joints, malls full of food courts, this shows that Kundalini has not worked as yet. Just look at the growing numbers of food courts. The Kundalini is not working as yet, because first of all is food. [End of video 2].
[Video 3 – Sex and the Opening of Chakras]
The second thing is moderation in comforts., that has not only something to do with sleep but also with comfort. If you can do with one car, don’t have two cars. Go back to your homes, especially we Indonesians, and open your cupboard, how many clothes are there that we don’t wear anymore. How many pairs of capals, of sandals, of shoes you have, bags you have that you don’t use anymore. How many people in your lives that are useless. [Laughs]
So, first of all food. Second, comfort. You are not really into a lot of comforts. This and that, I have been hearing. You can do with one computer, (but) you also have iPad, you have iPhone. And all these things are giving you the same service. There are no difference. And then about sex. If at the age of 80—this woman is still looking for a 40 years old boyfriend—she has not done Yoga. Because if you are doing Yoga, what happens when your Kundalini is activated, our energy now, commonly, all of us, uniformly, our energy is stored around our navel. About two inches below the navel, between your navel and your sex organ there is the store house of energy. Whenever there is excessive energy, it goes there. That’s the storage.
Now, there energy there is in the form of liquid. So, when there is so much energy there, the nature of liquid is always going downward. So if there is so much energy there, there is a natural urge for sex whether you are man, woman, anybody. There is a natural urge for sex there because there is excessive amount of energy there and you have to let i go. But if you are doing Yoga, and you are doing Yoga as a lifestyle, not just head down and feet up, your energy is changing. It is heated up. It becomes steam. It evaporates. Then what happens?
When the steam goes up, you become creative. So creativity is the third sign. If your Kundalini is working, is enhanced you become very creative. There are a lot of people who work very hard, but they are not creative and they cannot make money. They are not successful, simply because they are not creative. They are hard workers. So creativity, and food habit, and lifestyles that are not excessive that is the sign that your Kundalini is opening.
And the fourth sign is, that you love. If you are loving your husband, your wife, your partner, your children, the fourth Chakra is not functioning as yet. If your love is directed to some people, “I love this person unconditionally,”—you cannot love someone unconditionally, that is already a condition. When I say, “I love you unconditionally,” that means I don’t love others unconditionally. That is already a condition. I “only” love you unconditionally. When you start loving, you become loving… whether it is you partner, your husband, or your children, or somebody else’s children you have the same feeling.
If someone is dying in London, you feel the pain. Someone is dying in the Middle East, you feel the pain. Someone is being killed, someone is being harmed… an animal is being killed, you feel the pain. That is when your forth Chakra is opening. You cannot see animals being slaughtered, to be consumed by human beings. Your forth Chakra has not open. You can say, you can bully yourselves that my Kundalini is open, I love everybody unconditionally, but, what about animals?
And fifth Chakra, what you speak truthful. Sometimes truth is also bitter, but yet you are not compromised with it. Wisdom—what I was just discussing earlier—(is the sixth Chakra, MH). And then the seventh Chakra, the enlightenment is a process. I have been repeating this over and over, if someone says that “I am enlightened already” (full stop), that means the progress has stopped. Enlightenment is a process, an ongoing process. It never stops. From lower enlightenment you become higher and higher, it’s working all the time. You cannot say “I am enlightened already.”
So Kundalini is an ongoing process from lesser truth to higher truth, from lesser love to higher love, from lesser wisdom to higher wisdom. But you have to start with somebody, you have to start with something, you have to start with someone. You have to start with some kind of step. And so we have summarized this step in our motto, that is “Inner Peace”, become at peace with yourselves first. “Communal Love”, love the people around you first. It is very difficult to love the people around you. It is very difficult to love your neighbour. That’s why Jesus was very tricky when he said “Love your neighour.” Because when your neighbour is farting you can hear it, you can smell it. It is very easy to love somebody in the United States, in Europe, anywhere… in Siberia. But when your neighbour is parking his car in front of your door, that’s a challenge. How can you love this neighbour?
He knows he is not suppose to park his car in front of your gate, and yet he keeps doing that. How to love your neighour, that’s the challenge. How to love your bed neighbour, your roommate? When you are in love everything is so rosy. But once you start living together, then you know, not all is rosy, there is thorn also. You know there is a joke, I have been saying this over and over: In my mother tongue, in Sindhi that is, there is a saying, “When you are in love it is the woman who talks and the man who listens. After you get married, it is the man who talks and the woman who listens.” I am talking about Asian (couple), maybe not relevant for westerners. But the third part is relevant, maybe not so much of the second part.
The second part is, “after you get married, it is the man who is speaking, talking and the woman has to listen.” Today the rice is not properly cooked. Because in the east when you get married, whatever people say, when you get married you take it for granted that the woman does all the jobs at home. So, the rice is not properly cooked, it’s not salty, less salty, more salty, all kind of things. “One year after marriage, both of them are speaking and the neighbours are listening.” This shows that we are very far from being wise, from being enlightened. BUT, the process is on. Now it depends on you—it is said in the Yoga Sutra—it is depends on you, how fast you are to walk, or how slow you are to walk. [End of video 3].
Saya pernah berkunjung sebagai tenaga bantu di salah satu sekolah di daerah yang jauh dari kebisingan kota. Desa Aramati namanya. Penduduk desa ini hampir semuanya hidup dari hasil bumi yang memang melimpah. Penduduk desa Aramati sering membutuhkan orang-orang dari desa sebelahnya, desa Rai, yang mayoritas penduduknya pandai berdagang—sehingga mereka bisa mengangkut hasil bumi Aramati ke kota terdekat.
Penduduk kedua desa memahami saling ketergantungan di antaranya, namun cekcok bisnis tidak jarang terjadi. Beberapa penduduk Aramati menilai orang-orang Rai tidak jujur, dan sering mengambil untung terlalu banyak. Sedangkan beberapa orang Rai sering mengatakan bahwa warga desa tetangganya itu pemalas karena terlalu terbuai dengan kesuburan tanahnya. Tidak semuanya demikian; hubungan mereka memang begitu: love-hate, cinta-cinta benci. Bahkan sebenarnya warga kedua kampung telah lama saling menikah, namun itu tidak membuat saling curiga di dalam diri mereka hilang begitu saja.
Ada dua sekolah di desa Aramati; dan sekolah di mana saya bekerja waktu itu bisa dikatakan sekolah negeri terbaik di sana. Hanya mereka yang kaya dan pandai yang boleh duduk di bangkunya. Anak-anak pejabat desa dan pemuka agama bersekolah di sana. Kebanyakan yang bersekolah di sekolah itu adalah putra-putri Aramati, namun sesekali memang ada warga desa di sekitarnya yang bisa masuk ke sana. Tahun di mana saya bekerja ada seorang anak desa Rai yang bersekolah di sana. Namanya Soma.
Soma terlihat pendiam dan tidak banyak temannya. Namun dibalik sikapnya itu, saya bisa melihat bahwa dia tekun dalam belajar, jujur, dan punya sifat pelindung. Sepertinya sikap Soma yang pendiam diakibatkan karena ia bukan berasal dari desa Aramati. Soma dan kedua orang tuanya tinggal di pinggiran desa Rai, sehingga sekolah itulah yang lebih dekat dari rumahnya. Saya pernah diceritakan oleh salah seorang guru di sana, bahwa pihak sekolah awalnya keberatan Soma bersekolah di sana. Tapi karena prestasinya, dan kedekatan keluarganya dengan seorang tetua desa Aramati, maka Soma diperbolehkan masuk.
Sejak awal, Soma dijauhi teman-teman sekelasnya. Seringkali saya mendengar anak-anak Aramati melempar ledekan kepada Soma. Sebagai wali kelasnya, saya juga pernah suatu hari mendapat laporan bahwa ada lebam di pipi Soma sepulang sekolah, yang ketika saya tanya apa sebabnya, ia bilang terjatuh ketika main bola. Saya tidak melanjutkan pertanyaan saya kepadanya; saya tahu dia hanya ingin pulang segera ke rumahnya. Saya juga tahu persis bahwa Soma selalu menghabiskan waktu istirahat di kelas atau perpustakaan—di mana ia bisa dibiarkan tenang tanpa diganggu.
Saya mengagumi kekuatan anak itu. Walaupun dicecar dan dimaki kawan-kawannya, ia tetap datang ke sekolah dan daya belajarnya tidak surut. Malah mungkin bisa dikatakan bahwa cemoohan teman-temannya adalah pemicu bagi Soma untuk maju.
Bulan demi bulan berlalu, di akhir Semester 1, Soma mendapatkan rangking pertama di kelas, dan kedua di sekolah. Ketika diumumkan demikian, tidak ada siswa atau guru yang mengucapkan selamat kepadanya. Bahkan ia dicemooh, dan difitnah curang dihadapannya. Semua tuduhan itu tidak terbukti. Sebelum pulang, saya memberi Soma sekotak pensil warna sebagai hadiah yang diterimanya dengan senang. “Terima kasih,” ucapnya pelan. “Giat belajar ya, Soma.” Begitu balasku. Ia lalu berjalan menuntun sepeda tuanya pergi keluar gerbang sekolah.
Semester 2 berjalan beberapa minggu, dan saya melihat Soma mulai berubah. Ia mulai cepat marah ketika diledek, bahkan sesekali ia membalas dengan kata-kata kasar. Hal ini membuat teman-temannya semakin sering mengerjai Soma. Sampai pada suatu hari saya dipanggil oleh salah seorang guru yang bilang bahwa Soma telah memukul Nayaka, anak pemuka agama di desa Aramati yang sangat berpengaruh dan penyumbang dana terbesar ke sekolah itu. Gigi Nayaka tanggal, dan darah mengalir dari mulutnya.
Nayaka dan teman-temannya mengadu bahwa Soma-lah yang bersalah memulai perkelahian. Pakaian mereka kotor dan ada yang robek. Saya lalu menengok kepada Soma yang duduk meringkuk—sama-sama kumalnya. Matanya basah. “Apa benar begitu, Soma?”
“Iya, Pak.” Jawabnya singkat.
“Kenapa Kamu memukul Nayaka?”
Soma terdiam. Nayaka dan teman-temannya tersenyum kecil—bahagia karena Soma telah mengaku dan yakin ia pasti akan dihukum.
“… mereka menghina kedua orang tua saya, Pak. Mereka bilang saya anak tukang tipu, penjahat.”
“Benar begitu?”
“Tapi, Pak, salah dia sendiri yang sering bicara kasar dan kampungan kepada kami… padahal apa salah kami?” Sahut salah seorang teman Nayaka.
“Bapak sering melihat kalian mengejek Soma sejak hari pertama Soma menginjakkan kakinya di sekolah kita ini.” Merekalah yang telah mengubah Soma. Bully telah membuat Soma keras dan kasar, dan saat itu saya menyesal tidak mengambil langkah tegas.
“Kalian semua salah.. karena menghina Soma, dan kamu Soma.. juga bersalah karena memulai perkelahian. Kalian harus dihukum karena kesalahan kalian.”
***
Besoknya, saya dipanggil Kepala Sekolah. Beliau menanyakan apa yang terjadi. Setelah saya jelaskan, ia menyuruh saya kembali mengajar.
Pagi itu saya tidak melihat Nayaka dan teman-temannya. Soma di sana, duduk seolah-olah kemarin tidak terjadi apa-apa. Saya diberi tahu bahwa orang tua Nayaka tidak suka anaknya dihina dengan diberi hukuman. “Hanya dia yang berhak menjatuhkan hukuman pada anaknya,” begitu kata seorang guru di sela-sela jam makan siang. Saya melihat seseorang dengan pakaian keagamaan keluar dari ruang Kepala Sekolah. Mereka terlihat akrab, saling berjabat tangan dan berpelukan. Saya dengar Kepala Sekolah bilang, “Akan saya bereskan segera, Pak. Terima kasih atas dukungan Bapak selama ini.”
Perasaan saya tidak enak. Orang yang tidak saya kenal ini kemudian berbalik.. kami sempat saling pandang beberapa detik.. kemudian ia pergi meninggalkan sekolah. Bel penanda jam pelajaran berbunyi. Saya pun kembali ke kelas.
***
Sore itu, sebelum pulang saya diminta bertemu dengan Kepala Sekolah. Seperti yang sudah saya duga, ia meminta saya mengundurkan diri. “Kembalilah ke kota. Masih banyak pekerjaan bagus di kota besar. Akan lebih baik buat karirmu, kalau Kamu mengajar di sana. Lagi pula guru tetap yang posisinya kamu isi sementara ini sudah datang. Dia akan mulai segera.”
Saya berkelit. Saya masih ingin mengajar di sana. Rasanya, saya belum tuntas menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Tapi Kepala Sekolah bergeming. Tidak ada jalan lain. Saya pun pulang, dan beberapa hari kemudian saya bersiap-siap pulang ke kota.
Dalam perjalanan pulang, saya menyempatkan mampir ke rumah kedua orang tua Soma yang kebetulan saya lalui. Dari penjaga di sana saya tahu bahwa Soma sudah tidak lagi bersekolah di sana. Soma pindah sekolah ke salah satu sekolah Rai—walaupun agak jauh. Soma dikeluarkan dari sekolah karena berkata-kata kasar dan melukai temannya.
Mungkin ini yang terbaik bagi Soma, bagi anak-anak yang lain, buat Kepala Sekolah dan guru-guru: tidak ada lagi bully, tidak ada lagi perkelahian karena tidak ada perbedaan, semua tenang. Soma mungkin bisa menyelesaikan pedidikannya dengan lebih lancar dan bisa mengembalikan lagi sifat aslinya yang tekun, jujur, dan pelindung. Soma juga bisa mengambil peran-peran penting di dalam masyarakat Rai nantinya karena dari sanalah ia berasal. Mungkin ini win-win?
Dalam perjalanan, saya masih memikirkan apa yang terjadi. Desa Aramati dan desa Rai memiliki potensi yang bila dimanfaatkan dengan baik, dan saling bekerja sama, akan mampu mensejahterakan semua… tapi, sayangnya semua sudah puas dalam “kedamaian” semu yang diciptakan demi berlanjutnya sistem yang membuat keduanya akan terus menjadi desa yang jauh dari terang cahaya kota.