Rig Veda—kitab suci tertua peradaban Hindu/Sindhu/Indus/Indo—dibuka dengan mantra Resi Madhucchadā yang ditujukan kepada Agni Devatā. Siapakah Agni ini? Kalau kita membuka kamus bahasa Sanskerta, kita akan melihat agni diartikan sebagai api, geni, utamanya api yang digunakan dalam upacara persembahan. Ada pula yang mengatakan bahwa Agni adalah Dewa Api yang kadang dipersonifikasikan seperti gambar di bawah ini:
Pemahaman dan penggambaran demikian berkembang belakangan—jauh setelah kitab-kitab Veda selesai dihimpun. Rig Veda sendiri mengatakan bahwa Sat—realitas dasar jagat raya yang tidak pernah berubah, yang merupakan sumber dan tujuan akhir segalanya ini—adalah tunggal, namun para Vipra (para bijak, resi) menyebutnya dengan berbagai nama: Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan sebagainya (RV 1.164.46). Dalam bahasa kita Sat mungkin bisa disebut Tuhan—walaupun konsep ketuhanan di dalam Veda tidak sepenuhnya sama dengan konsep-konsep ketuhanan yang lain.
Sat inilah yang coba “dialami” oleh para resi lewat upaya-upaya peningkatan/perluasan kesadaran—dari kesadaran rendah yang melihat semesta raya termasuk diri sendiri sebagai hanya materi kebendaan yang terus mengalami perubahan, lahir, hidup, lalu mati, ke kesadaran bahwa semua ini sejatinya adalah Dia semata. Dia ada di dalam dan di luar diri kita, Dialah Aku yang sejati dan tidak pernah mati. Tat tvam asi, Itulah engkau! Perjalanan mengalami-Nya adalah perjalaan ke dalam diri.
Agni berasal dari akar kata ‘ag’ yang berarti bergerak naik, meliuk-liuk terus-menerus. Oleh karena itu, api bisa disebut agni karena memiliki sifat demikian. Sat, Tuhan juga disebut Agni karena memiliki kekuasaan untuk terus menaikkan kesadaran kita, dari kesadaran yang lebih rendah ke kesadaran yang lebih tinggi. Seperti api, Ia mentransformasi segala yang diberikan kepadannya—seperti bahan metah menjadi makanan yang lebih bergizi dan mudah dicerna tubuh. Api juga digunakan untuk memurnikan logam. Maka tidak heran para resi meyimbolkan-Nya sebagai Sang Api Agung.
Mantra pertama ini merupakan kunci untuk memahami Veda. Untuk bisa masuk, kita perlu melalui Agni, kita perlu metransformasi diri terlebih dahulu. Kekotoran kita perlu dibersihkan dan dibakar habis melalui Agni. Api juga tersimpan di dalam benda-benda, misalnya dua batang kayu yang bila digesek-gesekkan dengan cara yang benar bisa memunculkan api. Sat, Tuhan pun demikian. Ia merupakan relitas dasar alam semesta ini yang tidak kasat mata, tidak mudah dipahami. Namun, lewat Yoga dan berbagai upaya meniti ke dalam diri, Ia bisa disadari dan dialami.
Ada satu kata kerja di dalam mantra ini: īḷe, dari akar kata īḍ yang berarti meminta, memohon, atau memuja. Īḷe berarti aku meminta, memohon kepada, atau memuja Agni. Sisanya, Resi Madhucchandā menjelaskan siapa Agni:
purohitam, terdiri dari puraḥ + hita, artinya ia yang diletakkan mula-mula, di muka, di depan, di hadapan;
yajñasya devam artinya Devatā yang dipuja dalam suatu yajña atau ritual persembahan;
ṛtvijam berarti mempersembahkan pada saat yang tepat (right, Ing), dan menjadi nama salah satu pemangku dalam upacara;
hotāram adalah pendeta yang memimpin upacara, yang melantunkan mantra-mantra dan menuangkan persembahan; dan
ratnadhātamam berarti pemberi kekayaan (materi maupun spiritual, ratna) yang utama.
Bayangkan suatu upacara persembahan. Di sana ada pendeta yang memimpin upacara, ada peserta upacara yang memohon berkah, ada bahan-bahan yang dipersembahkan ke dalam api suci, dan ada pula Devatā yang sedang dipuja:
Mantra ini mengatakan bahwa api suci itu adalah Agni, upacara/ritual yang dilakukan juga adalah Agni, pendeta pemimpin upacara itu adalah Agni, yang mempersembahkan biji-bijian, rempah-rempah, dan minyak ke dalam api suci juga adalah Agni, Agni pula Devatā yang dituju, dan Agni-lah yang memberikan hasil upacara tersebut. Saya teringat sloka 4.24 di dalam Bhagavad Gītā yang menjelaskan hal yang sama:
Brahmārpaṇaṁ brahma havir
brahmāgnau brahmaṇā hutam, brahmaiva tena gantavyaṁ
brahma-karma-samādhinā.
Persembahan adalah Brahman—Gusti Pangeran, Sang Jiwa Agung, Tuhan Yang Maha Esa; tindakan mempersembahkan pun Dia; dan Dia pula yang mempersembahkan kepada Api Hyang Menyucikan, yang adalah Dia juga. Demikian, seseorang yang melihat-Nya dalam setiap perbuatan, niscaya mencapai-Nya. (terjemahan Swami Anand Krishna, 2014.)
Perjalanan ke dalam diri adalah perjalanan oleh Dia, dari Dia menuju Dia. Segala sesuatu di alam semesta ini adalah Dia, Dia, Dia. Ke-aku-anku sebenarnya hanyalah ilusi yang harus dilampaui. Walaupun demikian, perjalanan ini harus dilakoni. Upaya kita harus diwarnai kesadaran bahwa segala sesuatu yang kita lakukan adalah persembahan kepada-Nya—termasuk pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Awalnya ada aku dan Gusti, lama-kelamaan terjadilah manunggaling kawula-Gusti.
Agni,
…’ku puja!
Yang menyala-nyala,
Devatā pemuka dalam setiap upaya,
Ialah persembahan ini.
Ialah penuang persembahan,
Ia pula sang pemberi anugerah utama!
Dari mantra ini pula kita bisa menarik pelajaran bahwa dalam setiap upaya, terutama yang terkait dengan perjalanan spiritual ke dalam diri, pertama-tama kita perlu menyalakan ‘api’ disiplin, keinginan yang kuat (will power), ‘api’ yang akan mentransformasi kebiasaan-kebiasaan yang tidak lagi menunjang perkembagan jiwa menjadi sesuatu yang lebih berharga. Yajna (persembahan dan tindakan) ini hendaknya dilakukan dengan benar dan tepat.
Menghadapi para pendakwah-misionaris (orang-orang yang getol mengkonversi orang lain) memang tidak mudah buat penganut agama minoritas, apalagi kelompok-kelompok di luar agama-agama yang diakui negara. Mengapa susah? Karena arena “pertandingannya” sudah sedemikian rupa timpang, menguntungkan kelompok-kelompok yang lebih besar. Ketimpangan ini terjadi karena narasi kelompok mayoritas lebih dominan memengaruhi cara pandang bahkan pola pikir masyarakat bahkan pemerintah, sehingga seolah-olah cara pandang tertentu benar, padahal belum tentu.
Saya sangat mendukung kelompok-kelompok agama/kepercayaan lokal yang ada di seluruh Indonesia untuk memperoleh pengakuan atas hak-hak serta penghormatan yang sama dengan saudara-saudaranya sebangsa. Mereka bukan obyek yang diperebutkan untuk dikonversi. Agama/kepercayaan mereka perlu diapresiasi dan diberikan ruang sebesar-besarnya untuk berkembang. Banyak yang bisa kita pelajari dari berbagai tradisi agama/kepercayaan lokal yang ada!
Para pendakwah-misionaris ini, mengaku atau tidak, memandang agama/kepercayaan lain lebih rendah, primitif, atau bahkan palsu, dan menyesatkan. Kedamaian dibangun di atas pondasi toleransi yang rapuh, yaitu toleransi yang mensyaratkan setiap kelompok hidup di dalam kotak-kotak sempitnya masing-masing. Aku di dalam kotakku. Kamu di dalam kotakmu. Kedengarannya masuk akal dan “indah”, bukan? Kenyataannya, kotak kelompok mayoritas selalu lebih lentur, mudah digeser dengan alasan apa yang dilakukannya itu wajar, bagian dari dakwah atau pewartaan yang memang diperintahkan di dalam ajaran agamanya. Bagaimana dengan kelompok minoritas? Ya, tahu sama tahu, lah.
Saya memperhatikan di dalam diskusi-diskusi di media sosial, kelompok penganut agama/kepercayaan lokal (singkatnya saya sebut ‘penghayat’ saja) sering berada dalam posisi lemah bukan hanya karena serangan dari luar, tapi juga ada permasalahan di dalam kelompok-kelompok tersebut. Di sini saya mencoba berbagi hasil observasi:
Pertama, belum cukup ada persatuan di antara kelompok-kelompok penghayat. Mereka hidup dalam lokalitas masing-masing. Inilah caraku, yang lain terserah! Padahal, kalau para penghayat mau saling bertemu, ada banyak sekali kesamaan-kesamaan yang mereka miliki. Pertemuan semacam ini penting dan bukan untuk mengikis keunikan masing-masing, tapi untuk memperluas cara pandang, membuat jejaring, dan bahkan untuk menggali lebih dalam atau menyegarkan agama/kepercayaannya sendiri. Kelompok agama-agama mayoritas umumnya bertumpu pada doktrin/dogma yang kaku, sedangkan agama/kepercayaan lokal bertumpu pada kebijaksanaan dan sifatnya jauh lebih luwes. Jangan sampai agama/kepercayaan lokal mengikuti irama kelompok mayoritas.
Kedua, banyak kelompok penghayat yang dalam upayanya menghidupkan kembali agama/kepercayaannya dengan meminjam istilah, ungkapan, atau kerangka agama-agama mayoritas. Hal ini membuat mereka sulit untuk memenangkan argumen. Misalnya, salah seorang penghayat yang saya amati kerap mengatakan bahwa di Nusantara ini juga pernah ada nabi-nabi—istilah yang diambil dari agama-agama Samawi—dan oleh karena itu ia berharap agama/kepercayaan lokal diakui sejajar oleh para pendakwah-misionaris. Ini adalah hal yang sulit, dan mustahil terjadi karena para pendakwah-misionaris ini memiliki kepercayaan bahwa semua nabi-nabi—termasuk yang lahir di Nusantara (kalau ada)—berujung pada nabi atau mesiah mereka. Jadi para pengikut nabi-nabi dari Nusantara ya harus tunduk pada mereka! Ini kan namanya “bunuh diri”. Padahal, kalau digali lebih dalam, agama/kepercayaan lokal tidak memiliki konsep kenabian (yang sifatnya top-down), namun memiliki tradisi orang suci yang tercerahkan (yang bottom-up) sehingga tidak perlu ngikut dan menjadi domatis, tapi menekankan pada praktik dan pengalaman pribadi.
Ketiga, para penghayat menganggap tujuan akhir mereka adalah konservasi (mempertahankan segala sesuatu yang mereka warisi), bahkan sampai pada taraf membela nilai-nilai yang sudah tidak lagi relevan dan perlu penyegaran. Mungkin karena sudah terlalu lama bermain defensif, para penghayat lupa bahwa sebenarnya keluwesan mereka adalah kekuatan dan nilai lebih. Nilai-nilai yang diadopsi dari luar, jika perlu, harusnya in their own terms, tidak didikte oleh agama/kepercayaan lain. Tujuan akhirnya, menurut saya, bukan konservasi, tapi hal-hal yang diajarkan oleh leluhur, misalnya hidup harmonis dengan sesama dan alam sekitar, atau meraih tingkat kesucian yang membebaskannya dari keterikatan, atau sesederhana meraih kebahagiaan sejati, dan lain sebagainya.
Keempat, kita harus selalu waspada tidak terjatuh dalam lubang yang sama: lubang dogma. Dogma di sini bukan hanya sekedar dokumen atau kitab suci, tetapi juga dogma lain yang sama-sama memenjara, misalnya ras/kesukuan. Kita jangan mau membatasi dan dibatasi bahwa agama/kepercayaan kita dikaitkan dengan ras Austronesia, dan sebagainya atau dari zaman ini atau itu. Agama/kepercayaan kita adalah suatu yang hidup, kitab kita terus-menerus membaru dan tidak haram “ditulis”-ulang.
Saya yakin di masa depan, seiring dengan makin banyaknya pendalaman dan penelitian, dan kegagalan agama-agama mayoritas untuk menghadirkan kehidupan yang tata tentrem kerta raharja, agama/kepercayaan yang berakar dari Bumi Pertiwi namun bersifat universal karena berangkat dari pengalaman manusia (bukan dogma/doktrin) dan mengapresiasi berbagai perbedaan jalan menuju tujuan yang sama (bukan dimonopoli oleh cara tertentu) akan kembali dan tumbuh subur, tak hanya di Nusantara, namun juga di seluruh belahan dunia. Saya melihat kesadaran itu tengah bermekaran. Semoga. Rahayu.
Menjelang Gita Jayanti tahun ini, saya membuka-buka kembali terjemahan Bhagavad Gita oleh Amir Hamzah yang ditulisnya lebih dari 83 tahun yang lalu secara berseri di dalam ‘Pujangga Baru’. Saya menyukai gaya bahasanya yang terasa klasik untuk masa kini. Walaupun Amir Hamzah tidak menerjemahkan Gita langsung dari bahasa aslinya, Sanskerta, namun dari bahasa Belanda, jejak-jejak maknanya masih cukup jelas.
Sebelumnya saya sudah menuliskan beberapa poin penting mengenai percakapan pertama dan kedua di dalam tiga utas yang saya buat di akun Twitter. Saya memutuskan untuk pindah ke blog karena di sini saya bisa lebih leluasa menuangkan pemikiran, tidak dibatasi oleh jumlah karakter dan masalah teknis lain akibat utas yang terlalu panjang.
Ringkasan Percakapan Satu dan Dua
Percakapan pertama Gita membahas tentang akar terjadinya Bharata-yuddha, yaitu keterikatan dan keakuan tokoh-tokohnya, yaitu Dhritarashtra dan putaranya, Duryodhana. Mereka mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan menghalalkan segala cara, meskipun sudah dinasihati bahwa ada orang lain yang lebih layak memimpin. Duryodhana menganggap takhta Hastinapura adalah haknya. Tawaran perdamaian yang digagas Krishna ditolak, sehingga kini mereka berhadap-hadapan di Kurukshetra.
Sesaat sebelum berperang, Arjuna—yang biasanya bersemangat dan percaya diri—kehilangan keperkasaannya. Di hadapannya berdiri orang-orang yang membentuk “diri”-nya selama ini: kakek, paman, guru, saudara-saudara, dan raja-raja lain yang sebelumnya begitu dekat dan dihormatinya. Membunuh mereka berarti membunuh sebagian “diri”-nya. Busur di genggamannya pun terjatuh, dan Arjuna terduduk lemas.
Menyaksikan hal itu Krishna mencoba mengangkat semangat Arjuna dan mengingatkannya tentang Yoga. Di sini Yoga bukanlah pose-pose instagramable yang kini banyak menjamur di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di dunia. Yoga adalah sesuatu yang membuat kita utuh, tidak tercerai-berai karena berbagai keinginan, ketakutan, dan sebagainya. Bagaimana caranya? Krishna dengan sabar menjelaskan berbagai jalan Yoga kepada Arjuna.
Bhagavad Gita merangkum pokok-pokok ajaran Yoga, sehingga ia dianggap sebagai saripati Veda. Veda diibaratkan sebagai sapi-sapi betina yang sehat sedangkan Gita adalah susu penuh gizi yang dihasilkannya. Ajaran di dalam Gita tidak dogmatis dan bersifat universal. Tidak mengherankan jika Gita, yang ‘hanya’ terdiri dari 700 ayat, menjadi kitab suci Hindu yang paling populer dan telah diterjemahkan serta ditafsirkan oleh sekian banyak pemikir dari berbagai latar belakang, tidak hanya orang Hindu saja.
Percakapan kedua menjelaskan jalan Sankhya, yaitu jalan Yoga melalui telaah logis. Di sini Krishna mengajak Arjuna untuk melihat kenyataan: Apa yang membuatnya gentar? Mengapa itu bisa terjadi? Siapa atau apa yang sesungguhnya sedang gentar itu? Apakah kegelisahannya itu adalah “diri”-nya yang sejati? Siapa penguasa: kegelisahannya atau “diri”-nya? Di sini Krishna mengupas lapis demi lapis kesadaran, mengurai proses psikologis yang menyebabkan seseorang berduka atau mengalami suka, dan kemudian meminta Arjuna melampaui keduanya itu. Dengan begitu budinya berkembang dan pandangannya menjadi lebih jernih sehingga ia bisa melakoni perannya dengan penuh kesadaran—tidak terombang-ambing oleh “angin” di dalam dirinya (keinginan, harapan akan hasil) dan dari luar dirinya—dan kemandirian.
Salah satu bagian yang cukup menarik di dalam percakapan kedua adalah kritik Krishna terhadap orang-orang yang hanya mau bekerja jika mendapat pahala—baik di dunia ini maupun nanti di surga. Mereka ini mengatakan bahwa kitab-kitab suci adalah segala-galanya. Sikap ini membuat mereka menjadi fundamentalis, kaku, dan pandangannya sempit. Krishna bahkan menggunakan kata-kata yang cukup keras bagi mereka. Krishna menginginkan setiap individu untuk mandiri, oleh karena itu ia menginginkan agar setiap orang mengembangkan buddhi atau budinya masing-masing. Krishna tidak mau menyalahkan obyek/benda di luar atau makhluk gaib yang kerjanya menggoda manusia. Ia melihat manusia sebagai akar masalah sekaligus solusinya.
Karma Yoga Percakapan ketiga dibuka dengan pertanyaan Arjuna: mana yang lebih baik budi atau kerja (karma)? Perang akan segera dimulai sebentar lagi, tidak ada waktu untuk melakukan penelaahan logis. Arjuna harus mengangkat senjata, siap atau tidak siap. Pengembangan budi memang memerlukan proses yang tidak sekejap, padahal Arjuna membutuhkan solusi praktis dalam waktu singkat. Arjuna adalah kita, yang kerap harus menghadapi tantangan di depan mata dan tidak punya banyak waktu untuk berpikir.
Jalan Sankhya, menurut saya, adalah solusi jangka panjang dan memberi hasil lebih permanen sehingga tetap harus dilakukan. Sankhya mengupas lapis demi lapis kesadaran “palsu”—bahwa kita adalah badan yang berubah-ubah ini, atau pikiran dan perasaan, atau identitas-identitas lain yang kita kumpulkan sepanjang hidup, seperti agama/kepercayaan, ideologi, kecenderungan politik, dan sebagainya—sehingga pada saatnya kita bisa sampai ke “inti diri”, yaitu Jiwa yang sesungguhnya tiada berbeda dengan Shiva. Untuk sampai ke sana, kita harus “melawan” maya yang telah membungkus “diri” kita selama perjalanan semesta raya, selama milyaran tahun. Ini bukan perkara mudah.
Kembali ke bumi. Krishna menyadari bahwa manusia memang tidak pernah lepas dari kerja. Tubuh manusia tidak bisa dirawat tanpa kerja—makanan diperoleh lewat upaya, rumah, hubungan dengan sesama, semuanya perlu kerja agar lestari. Krishna memberikan solusi: Kerjakanlah tugasmu sebagai persembahan.
Sebelum dilanjutkan, saya merasa perlu memabahas sedikit tentang persembahan atau ibadah. Saat ini pemahaman kita di Indonesia, bahkan di kalangan umat Hindu sendiri, tentang ibadah sangat dipengaruhi cara pandang rumpun agama-agama Samawi. Umat Islam dan Kristen pergi ke masjid dan gereja untuk melakukan ritual tertentu yang terstruktur. Tradisi Hindu sebenarnya agak berbeda, dan apa yang dilakukan oleh umat Hindu di Nusantara saat ini sudah agak bergeser dari tradisi asalnya karena interaksinya dengan agama-agama lain.
Candi Prambanan (dibangun abad ke-9 M).
Jika umat lain memiliki rumah ibadah, maka di masa lalu Hindu memiliki kuil atau candi yang merupakan devalaya tempat ber-sthana-nya Deva atau Devi tertentu. Coba perhatikan candi-candi kuno seperti Prambanan, Borobudur, Sukuh, dan sebagainya. Setiap Deva/Devi berada di titik pusat kuil atau candi yang kemudian mengejawantah keluar membentuk bagian-bagian lain yang membuat orang yang mengunjungi kuil atau candi tersebut selangkah demi selangkah masuk ke dalam dirinya sendiri untuk bertemu langsung dengan Sang Deva/Devi. Setiap kuil dan candi memiliki, for the lack of better words, corak energi yang khas yang dibuat dengan sengaja lewat arsitektur dan berbagai ritual yang dilaksanakan di sana, demi membantu mempercepat perjalanan spiritual para pengunjungnya. Tidak ada dua kuil atau candi yang sama baik secara fisik maupun energetik. Kuil dan candi diperlakukan sebagai entitas tersendiri. Tidak demikian halnya dengan rumah ibadah yang lebih generalis, netral.
Umat Hindu yang datang ke pura, kuil, dan candi membawa persembahan atau sesajen (walaupun kini kata ini punya makna yang negatif karena dikaitkan dengan klenik) bagi Deva/Devi. Persembahan ini biasanya terdiri dari bunga-bungaan, dedaunan, dupa atau wangi-wangian, juga buah-buahan atau kue, bisa juga benda lain atau uang. Persembahan ini digunakan untuk mempercantik Deva/Devi atau dibawa pulang kembali sebagai ayapan yang kemudian dimakan bersama-sama. Persembahan tersebut diberikan sebagai wujud cinta-bakti tanpa keterikatan.
Ada pula persembahan yang diberikan ke dalam api suci, berupa biji-bijian dan minyak ghee, disertai dengan mantra-mantra. Upacara atau yajna ini disebut Agni Hotra atau Homa. Setiap kali memasukkan persembahan, peserta mengucapkan idam na mama, “ini bukanlah dari/milik-ku” sebagai isyarat pelepasan ego, sebagaimana Sang Pencipta mempersembahkan dirinya pada awal mula sehingga lahirlah segala sesuatu di alam raya. Persembahan seperti inilah yang dimaksud oleh Krishna.
Krishna mengatakan bahwa Sang Pencipta, Prajapati atau Brahma (berbeda dengan Brahman) menciptakan manusia dengan semangat persembahan/pengorbanan melalui yajna. Prajapati kemudian bersabda kepada manusia:
“Berkembanglah dengan cara yang sama (dengan yajna itu) dan raihlah segala kenikmatan yang kau dambakan, seperti Kamadhuk yaitu sapi yang memenuhi keinginanmu. Dengan yajna pula rawatlah para Deva, dan semoga para Deva merawatmu. Dengan saling merawat, kalian akan memperoleh kebahagiaan tertinggi. Para Deva akan memberi apa-apa yang kalian inginkan. Ia yang menikmati hasil pemberian, namun tidak berbuat yang sama adalah seorang pencuri.”
Proses ini diangkat dan dikembangkan dari Purusha Sukta yang terdapat di dalam Rigveda 10 Sukta ke-90.
Krishna meminta Arjuna bertindak selfless, bebas dari keterikatan, dan menghaturkan segala yang dikerjakannya sebagai persembahan. Meskipun jika seseorang telah menyadari hakikat dirinya (sebagai Jiwa) sehingga sebenarnya tidak ada lagi yang perlu dikerjakannya, namun—Krishna mencontohkan dirinya dan Raja Janaka—ia harus terus berkarya demi kemaslahatan semua. Bagi Arjuna, kita semua, yang belum mencapai kesadaran itu, Krishna menganjurkan untuk mempersembahkan pekerjaan/karya kita untuk Deva/Devi/Tuhan atau Kebenaran/Keadilan/Kemuliaan/Dharma dan sebagainya. Semua itu adalah “alat” yang bisa kita pakai untuk memfokuskan pandangan.
Krishna berkata: “Serahkanlah segala kerja pada-Ku, tujukan pikiranmu pada Adhyatma (zat daripada sendiri; Atma) maka berperanglah, bebas dari harap dan loba, sesudahnya lenyap segala percintaanmu.” (Terjemahan Amir Hamzah, hal. 25).
Vishvarupa, salah satu perwujudan-Nya.
Jangan biarkan hawa nafsu yang menciptakan kesukaan dan kebencian (raga dan dvesha) memengaruhi pandangan kita sehingga menghambat kita mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan atau malah kita mengerjakan pekerjaan orang lain.
“Terlebih baik kewajiban sendiri, walaupun tiada sempurna, daripada kewajiban orang lain, sungguhpun sempurna; terlebih baik mati dalam (memenuhi) kewajiban sendiri, kewajiban orang lain penuh dengan mara-bahaya.” (hal. 25).
Kecenderungan nafsu (rajo-guna) adalah melahirkan kama (keinginan) dan krodha (amarah). “Keduanya ini adalah musuh yang harus ditaklukkan!” Keduanya ini memadamkan hikmat dan pengetahuan sejati. Kelima indra kita lebih berkuasa daripada badan, pikiran lebih berkuasa daripada indra, namun budi lebih tinggi daripada pikiran. Dan yang lebih tinggi lagi daripada budi adalah Sang Jiwa. Oleh karena itu, Krishna kembali lagi menekankan bahwa, cara menaklukkan hawa nafsu adalah dengan menyadari hakikat diri sebagai Jiwa yang suci dari segala keterikatan.
Selama kita masih belum bisa menundukkan kama dan krodha maka hidup kita terombang-ambingkan—tertiup ke sana ke mari. Keduanya tidak bisa ditaklukkan jika budi belum berkembang. Untuk mengembangkan budi dibutuhkan upaya yang intensif dan terus menerus lewat disiplin Yoga—tidak bisa instan. Inti Bhagavad Gita sebenarnya satu, namun terus berkembang karena manusia memiliki berbagai kecenderungan dan tingkat kesadaran sehingga Yoga menjadi sekian banyak jalan. Bekerja tanpa pamrih, dengan menyerahkannya sebagai persembahan kepada Hyang Agung adalah salah satu cara yang praktis buat manusia modern yang lebih banyak waktu untuk bekerja daripada hal-hal lain.
Mengapa seseorang perlu masuk ke dalam suatu agama? Bukankah kita bisa saja berpegang pada prinsip-prinsip universal, seperti keadilan, kebaikan, kasih-sayang, dan sebagainya, tanpa perlu menjadi bagian dari suatu agama? Apalagi bila kita lihat di sekitar banyak orang beragama yang malah terjebak di dalam cara pandang, kebiasaan, perilaku-perilaku yang picik, kuno, penuh kebencian, atau diskriminatif terhadap orang lain.
Dunia tidak lagi sama dengan masa ketika agama-agama itu lahir. Kini setiap negara memiliki undang-undang dan peraturan yang disusun dan bisa direvisi mengikuti perkembangan zaman dengan cara-cara yang beradab, bukan lagi hukum Tuhan yang tetap, kaku, dan tidak bisa diubah. Institusi-institusi sosial, ekonomi, politik, budaya yang ada di dalam masyarakat juga tidak lagi perlu “bersandar” pada agama-agama. Apalagi kita hidup dalam masyarakat yang plural.
Masihkah agama dibutuhkan? Manusia (yang tidak beragama) ternyata mampu menyusun nilai-nilainya, tanpa perlu menunggu titah Tuhan. Filsafat, ilmu pengetahuan, dan teknologi, toh, mampu memberikan semua yang kita butuhkan. Ekses-ekses agama seperti fanatisme, diskriminasi, dan sebagainya juga tidak akan muncul jika manusia memperoleh pendidikan yang baik dan kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi.
Agama-agama akan semakin terdesak di dunia ini. Yang tersisa hanya dunia berkutnya, alam nanti setelah mati. Ini pun sebenarnya juga sedang ditantang. Manusia masih punya ketakutan yang belum bisa ditundukkan sepenuhnya oleh sains dan teknologi: fear of death dan/atau fear of the unknown. Saya bisa membayangkan kalau di sini pun agama-agama kalah—misalnya dengan obat awet muda, dan/atau kemampuan “mengunggah” orang ke mesin—maka habis sudah alasan manusia beragama.
Selain itu, hal lain yang belum bisa digantikan adalah ‘identitas’. Masih banyak orang yang masuk ke dalam suatu agama karena itulah identitasnya. Agama menjadi patokannya dalam menjawab siapa dia dan apa yang harus diperbuatnya. Identitas ini mengikatnya dalam jejaring sosial. Jika dilepaskan (apostasi), ia bisa dipandang sebagai pengkhianat, durhaka, bahkan musuh bagi “orang-orangnya sendiri”. Tapi ini pun makin luntur. Orang-orang mulai mengambil identitas baru, misalnya kebangsaan dan ideologi-ideologi.
Agama Pemahaman tentang agama, baik di Indonesia maupun secara umum di dunia, dipengaruhi oleh cara pandang yang berakar dari kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di Timur Tengah, utamanya Kristen (termasuk Katolik) dan Islam. Wajar saja karena dua kelompok agama ini mendominasi dunia, baik dari segi jumlah umat maupun penguasaan atas sumber daya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Agama-agama ini sering disebut “agama (yang turun dari) langit”.
Sebaliknya, agama-agama lain di luar itu, misalnya berbagai kepercayaan lokal, paganisme, dan sebagainya, termasuk agama-agama dari rumpun Dharmik, disebut sebagai “agama-agama bumi”. Kelompok ini memang selalu melibatkan alam di dalam filosofi dan ritualnya—mereka berakar pada bumi. Dominasi agama-agama langit selama ini mengakibatkan narasi tunggal atas agama:
Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan, sang pencipta alam semesta, yang menurunkan wahyu-Nya kepada umat manusia melalui perantaraan utusan(-utusan)-Nya. Agama juga adalah kepercayaan dan kepatuhan kepada satu atau kumpulan kitab-kitab-Nya yang memuat kebesaran-Nya serta petunjuk, nubuat, dan aturan-aturan yang harus diikuti manusia agar meraih keselamatan.
Detailnya bisa berbeda-beda dari satu agama ke agama lain, namun inilah intinya. Mereka yang berada di luar definisi ini kerap dipandang sebelah mata bahkan primitif sehingga perlu diselamatkan, dan jika menolak, bisa ditekan bahkan diperangi. Umat dari agama-agama langit merasa memiliki misi untuk membuktikan kebenaran extraordinary claims yang terdapat di dalam kitab sucinya, membela, dan menyebarluaskannya. Akibatnya mereka menjadi dogmatis.
Dogma-dogma di dalam kitab sucinya tidak bisa dibantah karena diperoleh langsung dari Tuhan—yang sering digambarkan bertahta di langit. Buat mereka moralitas dan hukum yang mengatur tata sosial hanya bisa bersumber dari Tuhan. Tidak bisa yang lain! Sebagai sang pencipta, Tuhanlah yang paling tahu kebutuhan manusia. Manusia tidak bisa dipercaya dan dibiarkan mengatur dirinya sendiri. Berkali-kali manusia “jatuh” karena kelemahan-kelemahannya, bukan?!
Namun pandangan ini berbenturan dengan kenyataan modern. Saat ini kita hidup di dalam masa yang paling damai di sepanjang perjalanan sejarah umat manusia. Peperangan berkurang, kriminalitas menurun, kesejahteraan meningkat, dan seterusnya. Di tengah itu semua, keselamatan yang ditawarkan agama-agama berkurang “kemilaunya”. Sains, teknologi, institusi ekonomi dan politik yang terus berkembang semakin menunjukkan superioritasnya dalam banyak hal.
Extraordinary claims agama-agama mulai kelihatan rapuh di bawah sorotan nalar. Yang sebelumnya dipandang sebagai bukti-bukti kebenaran ternyata hanyalah pembenaran kosong. Pembelaan terhadap agama kerap muncul sebagai fanatisme dan permusuhan terhadap mereka yang kritis. Kita sekarang tahu bahwa moralitas bisa dibangun tanpa memerlukan sosok Tuhan. Ketika kehidupan manusia menjadi lebih baik, surga tidak lagi punya daya tarik yang sama. Banyak pula yang mempertanyakan keberadaan Tuhan atau apakah Ia masih dibutuhkan.
Sebagaimana saya sebutkan di atas, pengaruh agama-agama akan semakin surut dan terkerucut pada dua peran: 1) menghadirkan makna pada kehidupan manusia dengan memberikannya identitas; dan 2) menawarkan “obat” atas ketakutan-ketakutannya: fear of death dan/atau fear of the unknown. Tersudut, dua peran ini bisa mendorong orang-orang melakukan tindakan nekat. Cepat atau lambat kita akan sampai pada “senja kala agama”. Lalu, adakah sesuatu yang lain di luar itu?
Dharma
Hindu Dharma adalah “agama” yang aneh. Ia tidak cocok dengan definisi agama yang disebutkan di atas. Hindu Dharma bahkan melihat bahwa identitas-identitas itu sesungguhnya maya, demikian pula ketakutan terhadap kematian dan sesuatu yang takdikenal bisa diatasi jika kita memahami realitas yang sebenarnya. Saya melihat bahwa kita sedang bergerak ke arah ini, ke arah Dharma. Apa itu Dharma? Dharma tidak sama dengan agama.
Istilah agama yang diserap dari bahasa Sanskerta āgama sebenarnya berarti dogma yang mengikat seseorang. Āgama ini bisa berubah-ubah dari satu kepercayaan ke kepercayaan (śraddhā) lainnya, bahkan bisa berbeda-beda tergantung tempat (deśa), zaman/waktu (kāla), dan konteks (pātra). Āgama secara harfiah bisa diartikan sebagai sesuatu yang “comes and goes”. Membakukan bahkan memaksakannya berlaku di semua tempat, zaman, dan konteks akan mendatangkan masalah.
Sekali lagi Dharma bukan agama. Dharma tidak berkepentingan dengan iman. Dharma berada di atas sekaligus menjadi dasar dogma-dogma āgama dan berbagai kepercayaan manusia atau śraddhā—baik yang melibatkan Tuhan (teis) atau yang tidak (ateis). Oleh karenanya Dharma bersifat universal, non-sektarian, tidak membagi-bagi manusia ke dalam bermacam-macam kubu yang berseberangan, namun di saat yang sama mengakui berbagai perbedaan yang muncul karena deśa, kāla, dan pātra.
buddhisaṃjanano dharma ācāraśca satāṃ sadā, jñeyo bhavati kauravya sadā tad viddhi me vacaḥ. —Mahabharata, Shanti Parwa 142. 5.
Dharma dan kebiasaan-kebiasaan mulia (ācāra) lahir dari intelegensia/budi (buddhi); dan melalui budi pula ia dipahami.
Memang tidak mudah untuk mencari padanan kata Dharma dalam bahasa lain. Dalam tradisi peradaban Sindhu/Hindu/Indus Dharma manusia adalah bagian dari Ṛta yaitu “hukum” yang mengatur jalannya alam semesta. Manusia adalah bagian dari alam. Keberadaan kita bergantung pada alam, bukan sebaliknya. Ya, manusia bisa mengubah lingkungannya—menjadi lebih baik atau buruk—namun pada akhirnya, manusia bergantung pada sekitarnya untuk hidup.
Manusia terlahir ke dalam matriks Dharma. Sebagai bagian dari alam, ia memiliki tanggung jawab untuk ikut berpartisipasi dalam Dharma, dan bukan hak atau otoritas atas alam. Bumi tak dihamparkan buat untuk manusia, demikian pula langit, air, udara, dan makhluk-makhluk lainnya. Dalam filosofi Dharma, manusia tidak dipandang sebagai wakil Tuhan di dunia ini; manusia bukan pusat narasi apalagi pusat alam semesta. Dharma menuntut kita untuk tidak egois dan serakah. Egoisme adalah Adharma.
Dalam tradisi peradaban Sindhu/Hindu/Indo, avatāra Wisnu turun ke dunia dari waktu ke waktu untuk melindungi dunia serta menegakkan kembali Dharma bukan semata-mata demi kepentingan manusia. Bahkan sering kali kerusakan di muka bumi terjadi akibat perilaku egois manusia (yang disimbolkan sebagai raksasa) yang akhirnya ditundukkan oleh Wisnu. Inilah sebabnya di Bali, misalnya, Galungan dirayakan sebagai hari kemenangan Dharma atas Adharma sekaligus pawedalan jagat atau oton gumi.
Suasana meriah Galungan di Bali. Galungan sering disebut sebagai perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma. (Sumber: baliberkarya.com).
Mendefinisikan apa itu Dharma tidak mudah. Hal ini diakui dalam teks-teks seperti Mahabharata yang banyak mendiskusikan tentang Dharma. Dalam Shanti Parwa 110 Bhisma berkata kepada Yudhisthira memberikan penjelasan singkat yang bisa kita jadikan pedoman:
Semua pembahasan mengenai Dharma bertujuan untuk mencapai prabhava, yaitu kesejahteraan, kebahagiaan semua makhluk, demi pertumbuhan dan perkembangannya. Apa pun yang memiliki sifat ini adalah Dharma.
Semua pembahasan mengenai Dharma bertujuan untuk menopang, merawat, mempersatukan, menjaga semua makhluk atau dhāraṇa. Apa pun yang memiliki sifat ini adalah Dharma.
Semua pembahasan mengenai Dharma bertujuan untuk menjaga agar setiap makhluk terbebas dari kekerasan/ketakutan atau ahiṃsā. Apa pun yang memiliki sifat ini adalah Dharma.
—Shanti Parwa 110. 10–12.
Bhisma menegaskan kembali bahwa untuk memahami Dharma kita tidak bisa hanya terpaku pada apa yang tertulis dalam buku-buku, termasuk kitab suci. Manusia harus mengembangkan budi atau intelegensianya untuk menentukan apa yang tepat dilakukan pada momen itu. Dharma jelas bertolak belakang dengan pandangan dogmatis yang mengikuti setiap kata yang ditulis dalam kitab suci secara buta. Dharma dilakukan karena membawa kebaikan (śreya), bukan karena diperintahkan.
Dharma ini berada di atas dan menjadi pedoman dan sumber pemerintahan dan undang-undang. Setiap kebijakan dan peraturan yang dihasilkannya harus mengikuti prinsip-prinsip di atas: bertujuan untuk mensejahterakan, membawa pertumbuhan, menjaga dan merawat harmoni, serta menghilangkan penindasan, kekerasan, dan ketakutan. Sebaliknya adalah Adharma.
Saya melihat perjalanan umat manusia saat ini cepat atau lambat akan sampai kepada Dharma—bukan sebagai dogma, tapi prinsip universal yang bisa menyatukan orang-orang dari berbagai kelompok tanpa menghilangkan ciri khasnya selama itu tidak bertentangan dengan Dharma. Dharma memberikan makna ke dalam kehidupan manusia, melampaui identitas yang semu. Inilah jalan tengah yang bisa menyatukan umat manusia, sekaligus membawanya pada jagadhita, kebebasan, dan kebahagiaan yang sejati.
Ayam ātmā Brahma, “Ātman ini adalah Brahman”. Begitulah pernyataan dalam Mandukya Upanishad 1.2. Kebanyakan agama-agama lain memulai pembahasan dari Tuhan. Hindu berbeda. Hindu memulai dari manusia, individu, dari diri, ātman—yang bukan tubuh, pikiran, perasaan, atau kesukaan dan ketidaksukaan kita. Ātman inilah yang memungkinkan semua hal tadi berfungsi, seperti kereta lengkap dengan kuda-kuda dan kusirnya (Katha Upanishad 1.3.3). Ātman inilah pemilik semua itu.
Keadaan menjadi kacau, ketidakbahagiaan muncul, ketika ātman “melupakan jati dirinya” sebagai pemilik, dan menganggap bahwa ia adalah kereta badan, atau kuda-kuda indra, kusir intelegensia, atau tali kekang pikiran. Kereta bisa lecet, rusak seiring waktu. Jika dibiarkan tak terkendali, kuda-kuda tak akan mengantarkan kita sampai ke tujuan. Kusir tanpa arahan juga tidak membantu. Karena itu kesadaran jiwa atau ātman inilah yang perlu dicapai terlebih dahulu.
Ini bukan hal yang gampang. Selama milyaran tahun, sang jiwa diselubungi māyā atau ketidaksadaran selama perjalanan panjang kehidupan. Dari satu bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan yang lain, kesadaran kita berkembang/berevolusi terus hingga kini kita menjadi makhluk yang punya kesempatan untuk menyingkap tabir māyā itu. Karena itu kelahiran sebagai manusia adalah anugrah utama (Sara-Samuccaya 10).
Tapi tidak semua manusia menyadarinya. Ia bisa lahir, hidup, dan mati berkali-kali dalam ketidaksadaran. Terus-menerus memenuhi keinginan-keinginan yang tiada habisnya, berayun dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Hingga suatu ketika ada satu-dua orang yang mencapai titik jenuh, dan dia memulai perjalanan ke dalam dirinya. Siapa aku? Apa mauku? Buat apa aku ada?
Ia mulai merasakan desakan untuk bebas dari hal-hal yang sebelumnya ia anggap dirinya: harta benda, anak-cucu, pasangan, sahabat, tubuhnya, ideologi, agama, dan seterusnya. Ternyata semua itu tidak abadi. Untuk sesaat hal-hal itu ada, dan ia merasa bahagia. Namun hukum alam memaksa terjadinya perubahan-perubahan. Suatu saat ia pun menyadari kesalahan mengasosiasikan dirinya dengan semua itu, bahagia jika semuanya sesuai harapan, dan berduka ketika sebaliknya.
Dorongan itu membuatnya ingin menjauhkan diri, menyepi dari dunia dengan segala hiruk pikuknya. Ia tinggal dengan sangat sederhana agar pikiran dan nafsunya tak menjadi liar. Ia pun mulai memejamkan matanya dan mencari jawaban ke dalam dirinya sendiri. Lapis demi lapis kepalsuan terkelupas. Upaya ini mungkin berlangsung lebih dari satu masa kehidupan. Setiap kali, ia akan “didorong” mengingat kembali pencapaiannya di kehidupan sebelumnya.
Ini tidak mudah. Kesadarannya bisa bangkit dan jatuh lagi. Berkali-kali. Hanya segelintir yang akhirnya mencapai kebebasan dari kesadaran ilusif itu. Mereka mencapai mokṣa dan akibatnya ia tidak perlu lagi hidup dalam “penjara” tubuh, pikiran, dan perasaan. Sebagian, karena kasih, masih merasa perlu “turun gunung” dan membantu perjalanan yang lain. Mereka inilah para bijak, resi, guru yang kehadirannya saja sudah menjadi berkah bagi makhluk-makhluk di sekitarnya.
Menghadapi orang-orang dengan berbagai tingkat kesadaran, mendorongnya merancang berbagai metode yang bisa membantu mereka. Kadang ia membuat cerita yang terdengar luar biasa, seperti ibu yang penuh kasih melakukan segala macam cara agar anaknya mau makan sayuran yang sebenarnya baik untuk diri si anak itu sendiri. Ketika sang bijak meninggalkan tubuhnya, lama kelamaan ajarannya menjadi semakin kaku bahkan dipertahankan mati-matian oleh umatnya.
Di sisi lain, perubahan tidak selalu disambut. Mereka yang masih terikat dengan identitas-identitas palsu tidak suka bila identitas itu diusik-usik. Jika seorang bijak lain datang dan mengganggu kenyamanannya, maka ia bisa dimusuhi, bahkan dibunuh oleh masyarakatnya sendiri. Peradaban Sindhu/Hindu/Indus/Indo—yang mana INDO-nesia adalah bagian darinya—sangat unik karena sang bijak, guru, resi hadir dari generasi ke generasi. Kehadirannya bahkan disambut dan dirayakan.
Tidak ada istilah resi terakhir. Masyarakatnya terbentuk sedemikian sehingga kebijaksanaan terus mengalir, menyegarkan pesan-pesan yang sudah saatnya dimaknai ulang. Ke-resi-an adalah potensi semua orang, mokṣa bukan monopoli kaum/bangsa tertentu. Asalkan mau berupaya, dalam kehidupan ini pun kita bisa mencapainya. Orang-orang dengan tingkat kesadaran berbeda punya resep “obat” masing-masing. Karena itu penduduk peradaban Sindhu/Hindu tidak menjelek-jelekkan “jalan” orang lain.
Krishna memberikan anugrah kepada Arjuna untuk bisa “melihat” wujud-Nya yang sejati, yang melingkupi seluruh alam semesta. (Sumber: Pinterest).
Kebanyakan manusia masih belum bisa melepaskan diri dari keterikatannya dengan tubuh, pikiran, perasaan, dan keinginan-keinginannya. Semua itu adalah ke-‘aku’-an (dengan a kecil). Jujur saja, kita belum bisa melihat ‘Aku’ (dengan a besar) yang melampaui semua itu, yang tidak terbatas ruang-waktu. Oleh karena itu, ‘aku’ harus diajari untuk tunduk pada ‘Aku’—yang kemudian diproyeksikan ke luar, dan dinamai Tuhan, dan sebagainya.
Setiap kali menyembah Hyang, ‘aku’ sedang mengontak ‘Aku’ yang lebih tinggi. Karena itu, walau sesaat kita merasakan kebahagiaan, kedamaian karena terlepas dari “beban gravitasi dan penjara” alam benda. Si ‘aku’ larut sejenak dalam ‘Aku’ atau Tuhan yang maha luas. Kebahagiaan itu tidak lahir karena kita menyembah Tuhan atau melakukan ibadah tertentu, tapi karena kita mengontak Sang ‘Aku’ universal.
Karena itu mengatakan “sembahlah Tuhanku, dan hanya Tuhanku saja yang benar, yang lain palsu” adalah kebodohan dan menjadi akar konflik yang memecah belah umat manusia. Pandangan yang demikian lahir karena ke-aku-an, karena tidak pernah kenal Sang Aku. Akibatnya, Tuhan yang maha luas pun bisa dipetak-petakkan, ditambahkan -ku dan -mu. Jika demikian, yang sesungguhnya kita sembah adalah ego, bukan lagi Tuhan. “Setiap jalan adalah jalan menuju-Ku,” ujar Shri Krishna.
Seorang Hindu melakukan puja dihadapan pratimā Śiva sambil memejamkan mata, berupaya melihat-Nya di dalam diri. (Sumber gambar: http://www.astroupay.com).
Mau “menggunakan” Tuhan silakan. Tidak juga tidak apa-apa. Ingin memuja Tuhan yang tanpa wujud (nirguṇa) atau sebaliknya, memuja-Nya dalam berbagai wujud (saguṇa) tidak ada masalah. Ia hadir di mana-mana, di dalam dan di luar wujud-wujud yang dipuja. Inilah yang sering disalahpahami oleh umat agama-agama Abrahamik. Mereka mengira bahwa ketika umat Hindu bersembahyang dihadapan sebuah pratimā, Tuhan hanya ada di sana di dalam patung/obyek itu saja—dan karenanya “menduakan” Tuhan.
Tidak. Tuhan, Brahman ada di mana-mana. Semua ini adalah Dia. Patung/obyek itu adalah sarana, alat bagi seorang bhakta. Malahan mereka yang berpikir bahwa Tuhan umat lain hanya ada di dalam patung/obyek sesembahan sehingga merasa perlu menghancurkannya untuk membuktikan bahwa itu bukan Tuhan adalah orang-orang yang sesungguhnya sedang “menduakan” Tuhan. Mereka pikir Tuhan umat lain berbeda dengan Tuhannya, bahwa ada Tuhan asli dan palsu. Sungguh konyol!
Apa pun sarananya, bagaimana pun caranya bukan yang utama. Laku dan disiplin kitalah yang penting. Pertanyaan teologis: monoteis, politeis, ateis, atau yang lainnya juga tidak berarti, ini semua hanya permainan pikiran saja. Terjebak di dalamnya, kita sebenarnya sedang terjatuh. Apalagi mereka yang sibuk membuktikan kebenaran “petak permainannya”, dan menyalahkan yang lain. Mereka ini membikin kegaduhan yang tidak perlu, bahkan mengganggu.
Gangguan-gangguan tadi membuat kita melupakan Dharma yang bertujuan untuk membebaskan setiap orang dari kesalahan identitas yang membuatnya terombang-ambing dalam suka dan duka (mokṣa) sehingga ia bisa menjadi manusia yang seutuhnya dan menjadi anugrah buat seluruh semesta (jagadhita). Cara pandang yang holistik sedemikian ini adalah sumbangsih Hindu Dharma bagi kemanusiaan, karenanya ia perlu dijaga dan dilestarikan. Pada saatnya ketika telah jenuh, dari rahimnyalah jiwa-jiwa yang telah siap memulai perjalanannya yang sejati akan lahir.
Pertanyaan lain yang banyak muncul ketika membahas agama adalah soal kitab suci. Islam memiliki Alquran dan Kristen Injil. Masing-masing bisa dimuat dalam satu jilid buku yang bisa dibawa ke mana-mana. Sebaliknya, kitab suci Hindu yang disebut Veda terdiri dari banyak buku yang bisa mengisi satu perpustakaan. Dan itu baru kitab-kitab intinya saja, belum lagi kitab-kitab turunannya yang jumlahnya lebih banyak lagi. Tulisan ini membahas wahyu, konsep kenabian, dan kitab suci dalam tradisi Hindu.
Anak-anak mempelajari Veda di Gurukula Sri Sri Ayurveda Panchakarma, Bengaluru. (Sumber: tripadvisor.com).
Sabda dan Ke-resi-an
Mungkin sebagian besar kita yang tinggal di Indonesia sangat familier dengan narasi agama-agama Samawi. Tuhan memilih/mengutus nabi/rasul untuk memberi peringatan, nubuat, syariat, dan/atau menyampaikan janji-janji Tuhan kepada umat-Nya. Semua ajarannya terekam dalam kitab-kitab suci yang menjadi patokan hidup manusia. Kadang juga ada malaikat yang berperan dalam proses tersebut.
Sosok nabi/rasul/mesiah ini sangat sentral dan bahkan menjadi pembeda antara agama Samawi yang satu dengan yang lain. Perdebatan tentang siapa yang menjadi pembawa pesan pamungkas adalah topik yang kerap muncul dalam berbagai kesempatan debat. Tidak jarang narasi ini juga ditimpakan kepada agama-agama di luar itu, tak terkecuali Hindu. Cerita bohong dikembangkan bahwa kitab-kitab Hindu pun menanti-nanti dan meramalkan kedatangan nabi/rasul/mesiah mereka.
Padahal jika diselami lebih dalam, konsep Hindu tentang wahyu dan kenabian berbeda dengan agama-agama Samawi. Jadi kalau narasi tersebut diaplikasikan pada Hindu akan tampak ganjil. Tapi bukan berarti juga bahwa kitab-kitab Hindu tidak berbicara tentang agama-agama di luarnya, namun bukan seperti yang mereka bayangkan. Seorang Hindu bisa menghormati nabi/rasul/mesiah tanpa harus meninggalkan Dharma.
Pertama, tentang wahyu. Pemahaman umum mengenai hal ini agak berbeda dengan pengalaman para resi. Konsep wahyu yang umum dipahami adalah ibarat ‘titah’ dari Raja, yang mengetahui segala-galanya, kepada seseorang atau sekelompok orang untuk tujuan tertentu. Jika demikian, maka wahyu terkait dengan ruang-waktu-dan-keadaan. Sedangkan konsep Hindu melihat wahyu lebih mirip seperti siaran yang ditangkap oleh TV.
Para resi sendiri mengatakan bahwa mantra-mantra Veda ibaratnya “bagian tubuh” (Atharvaveda 10.7.20) atau “napas” (Brhadaranyaka Upanishad 2.4.10) Brahman. Brahman melampaui ruang-waktu, sehingga “bagian tubuh” atau “napas”-Nya pun demikian. Ia adalah keberadaan itu sendiri. Bahkan segala sesuatu yang bisa kita indra maupun yang di luar itu esensinya adalah Brahman. Ia dikatakan abadi, dan tak berubah meskipun alam ini berubah-ubah.
Kembali pada perumpamaan TV tadi. Brahman diibaratkan sebagai gelombang TV yang berada di sekitar kita, ākāśa. Gelombang itu tidak tampak, tapi ada. Ketika kita punya pesawat TV yang berfungsi dengan baik, maka kita bisa menangkap siaran dari channel kesayangan. Seorang resi bisa tune in pada “gelombang” tersebut dan ia bisa “melihat” siaran-Nya. Bedanya, “gelombang” Brahman ini selalu ada, tidak berubah.
Kata resi atau ṛṣi berasal dari akar kata ṛṣ berarti mengalir/bergerak dengan cepat, atau dṛś berarti melihat, menyaksikan. Ke-resi-an bukanlah monopoli segelintir orang saja. Setiap orang memiliki potensi untuk bisa menangkap “gelombang” tersebut. Lalu, apa bahasa yang digunakan dalam “siaran” itu? Apa saja “isi”-nya? Dengarkan pengalaman resi Dīrghatamā yang penuh teka-teki berikut:
Ada empat langkah yang “diukur” oleh Vāk. Brahmana yang bijak memahami-Nya. (Dari empat itu) tiga tersembunyi dalam gua terdalam. Hanya yang keempat yang dipakai manusia biasa ketika berkata-kata.
Pengalaman menyaksikan “siaran” tersebut tentu tidak mudah dituangkan ke dalam bahasa awam. Lagi pula Hindu bukanlah agama yang mementingkan iman; jadi alih-alih menyampaikannya dalam serangkaian kata-kata yang harus kita percayai, para resi merumuskan pengalaman itu dalam bahasa mantra. Mereka menggunakan medium Sanskerta untuk memaksimalkan pengalaman yang ingin mereka sampaikan.
Bahasa Sanskerta
Penggunaan bahasa mantra di dalam Veda inilah yang membedakannya dengan kitab-kitab suci lain. Mendengar kata mantra mungkin pikiran kita langsung tertuju pada ‘jampi-jampi’ yang digunakan para dukun untuk menyembuhkan atau mengusir roh jahat. Sebenarnya jampi-jampi berasal dari tradisi mantra, walaupun telah banyak diasosiasikan dengan hal-hal yang negatif dan tidak ilmiah.
Dalam Sanskerta, bahasa mantra, setiap bunyi memberikan pengaruh, baik fisik maupun psikis, kepada orang yang mengucapkan dan mendengarkannya. Oleh karena itu pengucapan yang tepat sangat penting di sini. Setiap bunyi terkait dengan aspek-aspek tertentu di dalam diri manusia. Inilah yang kemudian melahirkan kata-kata. Para resi mengeksploitasi efek bunyi tersebut dalam bahasa Sanskerta.
Tiap bahasa memiliki svabhāva atau sifat dasar, karakter serta svadharma atau peran tertentu. Bahasa Sanskerta sengaja dibuat sebagai sarana meningkatkan kesadaran penuturnya (saṃskṛta berarti telah disempurnakan). Bahasa Sanskerta adalah bahasa yang meditatif. Tidak seperti bahasa-bahasa lainnya, setiap kata Sanskerta lahir dari benih kata, atau dhātu—yaitu satuan bunyi terkecil—yang bisa berkembang menjadi puluhan kata dasar. Mekanisme pembentukan kata Sanskerta sangat rapi dan matematis.
“Lawan” dari bahasa Sanskerta adalah bahasa-bahasa prakṛta atau Prakerta, yaitu bahasa-bahasa yang tumbuh secara alami. Prakerta tidak terbentuk secara sadar, dan merupakan akumulasi dari kebiasaan dan kesadaran orang-orang yang menggunakannya sehingga membuatnya cepat berubah mengikuti zaman. Sedangkan bahasa Sanskerta relatif jauh lebih konsisten walaupun jarak antara Ṛgveda (kitab tertua dalam tradisi Hindu) dengan saat ini sudah enam sampai sepuluh ribu tahun.
Kata-kata di dalam bahasa-bahasa Prakerta biasanya sangat kaku: satu atau dua kata untuk menjelaskan suatu benda. Berbeda halnya dengan Sanskerta, setiap benda/fenomena bisa memiliki banyak alternatif kata. Dalam Sanskerta sang penuturlah yang memegang kendali, ia menjelaskan setiap benda/fenomena tersebut berdasarkan sifat-sifatnya. Misalnya, api disebut agni karena kobarannya bergerak ke atas (dari √ag), atau anala karena jika kita memberikannya bahan bakar, ia akan terus berkobar (an- berarti tidak, ala berarti cukup).
Fitur dhātu dan proses pembentukan kata tersebut membuat Sanskerta bahasa yang mandiri. Ia tidak perlu (walaupun bisa saja) menyerap kata-kata dari bahasa-bahasa lain di sekitarnya. Sanskerta bisa membuat sendiri kata apapun. Hal ini membuat Sanskerta digunakan secara luas di dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari seni hingga sains, disamping pula hal-hal yang terkait dengan spiritualitas. Jika tertarik dengan bahasa Sanskerta silakan mengikuti tulisan-tulisan dalam Seri Sanskerta.
Maharesi Panini (6–4 SM) menyusun buku tata bahasa Sanskerta yang menjadi rujukan hingga sekarang. Sebelumnya, Sanskerta sudah digunakan selama ribuan tahun. (Gambar: Ashok Dongre).
Kepustakaan Veda
Veda secara harfiah berarti ‘ilmu pengertahuan’. Ketika kita menyebut Veda, maknanya bisa dua: kitab-kitab inti yang terdiri dari empat himpunan (saṃhitā) atau keseluruhan kitab-kitab dalam tradisi Hindu yang bersumber dari keempat saṃhitā tersebut. Empat saṃhitā terdiri dari: 1. Ṛgveda yang merupakan kitab tertua umat manusia yang masih digunakan hingga sekarang, 2. Sāmaveda, 3. Yajurveda, dan 4. Atharvaveda.
Berdasarkan penanda-penanda astronomis yang terekam dalam Ṛgveda, diperkirakan sebagian isinya setidaknya sudah ada 8.000 sampai dengan 4.000 SM, walaupun mungkin baru dibukukan sekitar 1.500 SM. “Penerima” mantra-mantra Veda bukan hanya satu orang saja. Ṛgveda, misalnya, diperoleh dari sekitar 400 resi, 30 di antaranya adalah perempuan. Menurut cerita, keempat Veda tersebut dikumpulkan oleh Begawan Shri Krishna Dvaipayana Vyasa atau disebut Begawan Vyasa (Abiyasa dalam wayang) dan murid-murindnya.
Masing-masing saṃhitā terdiri dari beberapa buku yang terbagi ke dalam empat kelompok:
mantrayaitu bagian utama yang memuat mantra-mantra Veda,
brāhmaṇayang menjelaskan mantra lebih lanjut,
āraṇyakayang menjelaskan makna spiritual/mistisnya, dan
upaniṣadyang sering disebut Vedānta atau bagian akhir (anta) Veda yang menjelaskan makna filosofisnya.
Masing-masing kelompok di atas terdiri dari lebih dari satu resensi dan buku. Bagian inti ini saja jumlahnya luar biasa banyak. Biasanya seorang cendekiawan Veda hanya menguasai salah satu saṃhitā saja, misalnya semua pustaka dalam himpunan Ṛgveda dari mantra hingga upaniṣad-nya. Keseluruhan saṃhitā di atas disebut śruti yaitu bagian utama yang diperoleh para resi yang kemudian disampaikan kepada murid-muridnya. Śruti sendiri berarti ‘mendengarkan’.
Di samping itu, masih banyak lagi kitab-kitab dalam kepustakaan Veda, seperti kelompok vedāṅga, upaveda, upavedāṅga, itihāsa, purāṇa, dharmaśāstra, dan sebagainya yang menunjang śruti atau interpretasi/turunan darinya.
Tabel keseluruhan kitab-kitab suci Hindu.
Mungkin membaca isi tabel di atas saja kita sudah terengah-engah. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menguasai salah satu cabang ilmunya. Kitab-kitab di atas tidak hanya membahas hal-hal yang terkait dengan keagamaan saja, namun juga hal lain yang terkait dengan wellbeing manusia, seperti ilmu kesehatan, politik dan ekonomi, strategi perang, tata bangunan, ekologi, musik, tari, logika, astronomi, dan sebagainya.
Bagi orang awam ada beberapa kitab yang populer dan sering dijadikan rujukan, di antaranya Bhagavad Gītā serta dua wiracarita Mahābhārata dan Rāmāyaṇa. Bhagavad Gītā sendiri merupakan bagian dari Mahābhārata. Kitab-kitab ini populer karena memuat ajaran-ajaran Dharma dalam bungkusan cerita dan bahasa yang sederhana sehingga lebih mudah diterima dan diingat awam. Selain itu, kitab-kitab yang bersifat lokal bisa tumbuh dari sumber yang sama.
Jika “diperas”, masing-masing Veda memiliki mahāvākya atau simpulan utama:
Prajñānaṃ Brahma (प्रज्ञानं ब्रह्म), “Brahman adalah prajñā atau Kesadaran, Kebijaksanaan Murni”, ini diambil dari Aitareya Upanishad 3.3 yang merupakan bagian dari Ṛgveda.
Ahaṃ Brahma Asmi (अहम् ब्रह्म अस्मि), “Akulah Brahman itu sendiri”, Brihadaranyaka Upanishad 1.4.10 yang adalah bagian dari Yajurveda.
Tat Tvam Asi (तत् त्वम् असि), “Itu (Brahman) adalah Engkau”, ini diambil dari Chandogya Upanishad 6.8.7 yang adalah bagian dari Sāmaveda.
Ayam Ātmā Brahma (अयम् आत्मा ब्रह्म), “Ātman ini adalah Brahman”, ini diambil dari Mandukya Upanishad 1.2 yang merupakan bagian dari Atharvaveda.
Pesan-pesan di dalam Veda sangat konsisten walaupun disampaikan dalam berbagai cara dan kemasan. Ajaran-ajaran ini menjadi induk dari agama-agama yang berkembang kemudian. Namun semakin jauh dari tempat asalnya, ajaran-ajaran ini sering mengalami degradasi sehingga tujuan agama mokṣa dan jagadhita terlupakan. Sebagian terjebak dalam hukum dan aturan agama yang sesungguhnya perlu disegarkan dari zaman ke zaman.
Yang lain bermain-main dalam surga dan neraka, dan menjadikannya sebagai tujuan utama. Padahal surga dan neraka dalam ajaran Veda hanyalah tempat “mampir” yang sifatnya sementara. Mereka memproyeksikan keinginan-keinginan yang tidak bisa dipenuhi di dunia ke alam surga. Neraka dijadikan instrumen untuk menakut-nakuti, agar orang menjadi penurut. Ini semua adalah kebalikan dari mokṣa yaitu kebebasan sejati dari keinginan dan ketakutan.
Sebagian yang lain berebut umat sebanyak-banyaknya dan melupakan esensi agama untuk mencapai jagadhita. Mereka tidak peduli dengan kebenaran dan kedamaian; yang penting dapat tiket ke surga! Mereka berjualan ‘keselamatan’ dari hal-hal di luar diri tanpa menyadari bahwa hanya pemberdayaan dirilah yang bisa menyelamatkan kita. Semua harus dicerna, diinterpretasi dari waktu ke waktu dan dilakoni sendiri.
Jika “Akulah Brahman”, seperti dalam mahāvākya di atas, maka klaim bahwa keselamatan hanya bisa diraih lewat orang/sosok tertentu terasa ganjil. Yang dibutuhkan bukan iman dan kepercayaan terhadap sesuatu/seseorang di luar, tapi upaya untuk mengupas daki avidyā, ketidaktahuan akan hakikat diri, lewat berbagai jalan (Yoga).
Hanya dengan cara ini kita akan terus berkembang—pencerahan tidak punya titik akhir. Hanya dengan “membereskan” diri, kita bisa membereskan berbagai masalah di sekitar kita. Kitab-kitab suci seperti jari yang menunjukkan arah. Jangan lupa bahwa kita sendirilah yang harus melakukan perjalanan itu.
Hindu mengusung nilai-nilai universal Dharma yang sifatnya abadi (Sanātana) dan selalu membaru (Nūtana). Dharma ini menjadi landasan umat Hindu dalam menjalankan ‘misi’-nya hidup di dunia. Apa yang ingin dicapai? Tujuan Dharma adalah membebaskan kita dari identitas palsu sebagai tubuh, pikiran, perasaan, dan sebagainya yang sesungguhnya terus berubah. Inilah yang disebut mokṣa.
Selain itu Dharma jugadijalankanagar tercapai jagadhita,yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan bagi semua makhluk. Seorang Hindu tidak bisa egois, hanya menginginkan kebahagiaan bagi diri, keluarga, maupun kelompoknya saja. Mencapai mokṣa bukan berarti meninggalkan kewajiban berkarya di dunia, namun sebaliknya juga harus menghasilkan jagadhita.
Oke, landasan dan tujuan sudah jelas. Lalu bagaimana cara mencapainya? Apa yang harus dilakukan? Jawabannya tidak tunggal. Hindu mengakui bahwa ada banyak jalan yang bisa ditempuh sesuai dengan sifat/watak serta tahap perkembangan spiritual setiap individu. Inilah keunikan Hindu Dharma yang membuatnya sangat menghargai perbedaan dan tidak dogmatis.
ye yathā māṃ prapadyante tāṃs tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ. —Bhagavad Gita 4.11.
Dengan cara apapun seseorang mendekati-Ku, Aku menerimanya; karena sesungguhnya setiap cara, setiap jalan yang ditempuh manusia adalah jalan-Ku, jalan menuju-Ku.
Aku yang dimaksudkan di atas adalah Sang Aku, jiwa individu, ātman yang tunggal. Sekali lagi perlu diingat bahwa jalan bukanlah tujuan. Suatu saat kesadaran kita bisa meningkat sehingga apa yang dulu kita pandang jalan yang “paling benar” mungkin tidak lagi sesuai saat ini. Ibaratnya seseorang yang menyeberangi sungai, ketika sampai di tujuan perahu yang sebelumnya dipakai sudah tidak lagi dibutuhkan.
Bagi orang awam yang baru mempelajari Hindu mungkin hal ini akan terasa membingungkan. Ada sekian banyak pilihan dan kita dibebaskan untuk memilih yang paling tepat. Jika diibaratkan Hindu adalah butik tempat kita bisa memilih model dan ukuran pakaian. Hasilnya sudah tentu lebih pas daripada pakaian pabrikan. Pakaian pabrikan memang bisa dibuat secara masal, namun ukurannya terbatas.
Jalan spiritual tidak terpisah dari dunia. Dalam Hindu, bekerja tanpa pamrih sebagai relawanmelayani sesama dan lingkungan merupakan salah satu jalan mencapai tujuan beragama. (Sumber: timeshighereducation.com).
Ada empat macam jalan yang biasa dikenal sebagai Catur Mārga Yoga. Kata ‘mārga’ berarti jalan. Kata ini juga kita serap ke dalam bahasa Indonesia. Catur Mārga Yoga adalah empat jalan Yoga. Oh ya, Yoga di sini bukan hanya gerakan akrobatik yang “instagramable”. Yoga—berasal dari akar kata ‘yuj’—berarti praktik atau disiplin untuk menyatukan, memperkuat. Yoga inilah jalan untuk mencapai tujuan di atas.
Yoga adalah pengendalian perubahan-perubahan pada citta (benih-benih pikiran-perasaan), sedemikian sehingga Sang Saksi (Jiwa) berada dalam kesejatian wujudnya. Sebaliknya, jika tidak terkendali, ia menganggap bahwa dirinya adalah perubahan-perubahan itu sendiri.
Keempat jalan tersebut adalah:
Bhakti Yoga yaitu jalan yang mengembangkan perasaan manusia menjadi cinta dan bakti kepada “Sang Kekasih” yang disampaikan melalui puja-puji, musik, tarian, dan berbagai ekspresi dan seni lainnya.
Karma Yoga yaitu menjalankan berbagai tugas dan kewajiban (baik yang terkait dengan dunia maupun menjalankan ibadah keagamaan) tanpa pamrih, salah satunya bekerja sebagai relawan.
Jñāna Yoga yaitu jalan perenungan dan kontemplasi filosofis untuk mengupas realitas: mana yang fana, terus berubah-ubah dan mana yang baka, kekal, abadi.
Rāja Yoga yaitu berbagai latihan untuk melampaui pikiran dan proses berpikir itu sendiri. Jalan ini juga kerap disebut jalan yang paling mistis/misterius.
Keempatnya ini hendaknya tidak dijalankan secara eksklusif (hanya sebagiannya saja) agar kita dapat berkembang secara menyeluruh, walaupun mungkin kita akan lebih condong pada salah satunya. Bhakti cenderung disukai mereka yang memiliki dorongan emosional yang kuat. Karma bagi mereka yang menyukai aktivitas fisik atau ritual keagamaan. Jñāna biasanya diminati para cendekiawan. Dan rāja bagi yang mereka yang ingin menyelam lebih dalam.
Yoga memiliki kedekatan makna dengan yajña (dibahas dalam tulisan sebelumnya). Yajña tidak terbatas pada upacara atau ritus-ritus keagamaan semata. Shri Krishna mengatakan bahwa:
Ada banyak sekali cara persembahan (yajña) yang dijelaskan oleh Brahmā. Ketahuilah bahwa semuanya itu lahir dari perbuatan nyata (dengan semangat persembahan). Dengan pemahaman demikian kau akan terbebaskan (dari duka dan dosa-kekhilafan).
Semua jalan tadi berujung pada pengetahuan sejati tentang ātman, Sang Diri yang Sejati:
jñānena tu tad ajñānaṃ yeṣāṃ nāśitam ātmanaḥ, teṣām ādityavaj jñānaṃ prakāśayati tat param. —Bhagavad Gita 5.16.
Ketika gelap ketidaktahuan tentang hakikat diri terlenyapkan oleh cahaya pengetahuan sejati; maka, matahari pengetahuan sejati itu pula mengungkapkan kembali kemuliaan Jiwa Agung.
Bakti/devosi Hanuman kepada Rāma dan Sītā sangat besar. Keduanya selalu “ada” di dalam dadanya. Hanuman adalah contoh bhakta yang dikagumi.
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya-tanya: Kenapa sampai di sini, hingga tulisan kelima ini, Tuhan kok belum dibahas? Di antara keempat jalan di atas, bahkan hanya satu yang mungkin “membutuhkan” sosok Tuhan, yaitu Bhakti Yoga. Sedangkan ketiga jalan yang lain tidak harus melibatkan-Nya. Dalam Bhakti Yoga, Tuhan adalah sarana sekaligus tujuan.
Kadang seorang bhakta (pelaku Bhakti Yoga) menggunakan sarana pratimā (berupa gambar, patung, atau kaligrafi) dari Ia yang dicintainya. Setiap pratimā yang dipakai memiliki simbologi dan kisah tersendiri, namun semuanya membangkitkan kecintaan dan bakti di dalam diri sang bhakta. Dalam bhakti tidak ada nāma dan rūpa yang lebih tinggi dari yang lain, semua tergantung dari sang bhakta itu sendiri.
Ada yang memilih mūrti (perwujudan) dan pratimā Krishna, Rāma, ada pula yang mengembangkan devosinya kepada Kāli, Durga, atau Shiva, Vishnu dan sebagainya. Ada pula yang memilih-Nya sebagai Hyang Tak Berwujud. Semua sah-sah saja dan dihargai. Masing-masing orang atau kelompok masyarakat bisa mengembangkan cara beribadah, kitab-kitab suci, dan tradisi yang berbeda-beda.
Melalui cara ini seorang bhakta mengikis egonya, sehingga perlahan-lahan ia larut di dalam kemuliaan sang ātman yang ia proyeksikan ke luar diri sebagai pratimā tadi. Tuhan mengambil wujud sebagaimana bayangan dan harapan sang bhakta. Demikian, ia mencapai kebebasan dari kepalsuan dan merasakan persatuan lewat jalan pengabdian dan cinta kasih yang tulus.
Shri Ramakrishna (1836–1886) adalah bhakta Dewi Kāli yang sangat terkenal. Beliau sering melihat Sang Dewi mewujud di hadapannya. Beliau juga adalah guru Swami Vivekananda.
Hal yang sama bisa dilakukan pula oleh mereka yang masih terlibat dalam pekerjaan dan menjalankan peran di dalam masyarakat dengan “berlatih” karma yoga, juga dalam menjalankan ibadah/persembahyangan keagamaannya. Inti karma yoga adalah pelayanan tanpa pamrih, yang berarti tidak transaksional (melibatkan jual-beli, mengharapkan untung-rugi, gaji/imbalan, dan sebagainya).
Volunteerism atau gerakan kesuka-relawanan yang sedang mendunia saat ini berakar dari filosofi yang sama. Membantu sesama yang membutuhkan maupun menjaga kelestarian lingkungan tanpa mengharapkan apapun, termasuk ucapan terima kasih, merupakan cara ampuh membebaskan diri dari ego sekaligus mewujudkan jagadhita.
Dalam upacara Agni Hotra peserta mengucapkan puja-puji dan menghaturkan persembahan lewat api suci yang diakhiri dengan afirmasi “idaṃ na mama” yang berarti “ini bukan milik/dari-ku”. Dengan kata lain, segala bentuk pekerjaan dan persembahan kita—baik dalam hal-hal yang duniawi maupun yang menyangkut peribadatan—semua terjadi karena-Nya.
Persembahan ini adalah Brahman, tindakan mempersembahkan itu pun Dia. Dia pula yang mempersembahkan ke dalam api suci yang sesunggunya adalah Dia juga. Seseorang yang melihat-Nya dalam setiap perbuatan niscaya akan mencapai-Nya.
Dengan semangat ini segala sesuatu dalam hidup kita bisa menjadi persembahan. Makanan yang akan kita makan, pekerjaan kita sehari-hari, hubungan kita bertetangga dan dengan orang-orang lain yang berbeda dengan kita bisa diwarnai semangat pelayanan. Inilah jalan karma, perbuatan.
Peserta Agni Hotra memasukkan persembahannya ke dalam api dan mengucapkan berkali-kali: “idaṃ na mama”, (persembahan/kerja/karya) ini bukan milikku, tapi ada karena-Mu.
Bagi mereka yang ingin menggunakan jalur intelektualitas untuk mencapai kebebasan dan kesejahteraan dunia bisa menapaki jñāna yoga. Dalam bahasa Sanskerta ada dua kata yang paling sering digunakan sebagai padanan kata ‘pengetahuan’, yaitu jñāna dan vidyā. Vidyā (dari akat kata ‘vid’) memiliki kecenderungan makna: pengetahuan yg diperoleh dari proses belajar.
Sedangkan pengetahuan jñāna muncul dari momen pencerahan, kebijaksanaan yang berasal dari intelegensia (bukan hanya intelek) dari dalam diri. Hal yang mirip kita jumpai dalam bahasa Yunani yang juga memiliki gnōsis, γνῶσις yang berarti “personal knowledge” (yang mirip dengan jñāna)dan eídein, εἶδειν yaitu “intellectual knowledge” (mirip dengan vidyā).
Jadi jñāna yoga bukan hanya berarti mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi, membaca sebanyak-banyaknya buku-buku spiritual, namun lebih daripada itu: mengembangkan kebijaksanaan. Seorang jñānī atau ‘gyani’(pelaku jñāna yoga) menelaah kehidupan ini lewat pemahaman spiritual. Ia “mengupas” alam benda yang terlihat bermacam ragam ini, yang sesungguhnya tidak abadi dan selalu berubah untuk menemukan esensi yang tunggal, yang sejati, abadi, dan tidak pernah berubah.
Di dalam Mundaka Upanishad disebutkan ada dua jenis pengetahuan: apara-vidyā dan para-vidyā. Segala cabang ilmu pengetahuan yang kita pelajari di sekolah, yang kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti matematika, ekonomi, fisika, sejarah, bahkan apa yang kita sebut “ilmu agama”, dan sebagainya termasuk dalam apara-vidyā yang sifatnya lebih rendah.
Sedangkan para-vidyā adalah pengetahuan tentang jiwa yang akan mengantarkan kita kepada kebebasan sejati (mokṣa). Para-vidyā akan mengentaskan kita dari penderitaan yang muncul dari pasang-surut dan perubahan-perubahan yang kita alami di dunia benda. Para-vidyā ini bukan pengetahuan biasa yang bisa kita hapalkan dan perdebatkan, namun membutuhkan pengalaman dan pengamalan sendiri.
Meditasi atau dhyāna adalah salah satu bagian tubuh (aṅga) dari delapan tahapan dalam disiplin Yoga yang dijabarkan Resi Patañjali dalam Yoga Sūtra. (Sumber: Flickr).
Terakhir adalah Rāja Yoga yaitu melakoni tahapan-tahapan disiplin Yoga untuk mencapai samādhi atau yang disebut juga keseimbangan diri, kesadaran, atau pencerahan. Melalui Rāja Yoga seseorang bisa “mencicipi” sendiri pengalaman-pengalaman para suci yang dicatat dalam kitab-kitab agama; karena itu ia disebut rāja.
Pengalaman-pengalaman tersebut bukan monopoli orang-orang tertentu, siapa pun bisa mengalaminya asalkan menjalankan tahapan-tahapan Yoga dengan benar. Jadi bisa dikatakan bahwa Hindu bukan agama yang berdasarkan pada iman sebagaimana agama-agama lainnya. Sebaliknya, Hindu mengajak umatnya untuk melakukan experiment dan experience, mengalami sendiri apa yang diajarkan.
Dalam tradisi Veda seseorang yang telah tercerahkan disebut ṛṣi (laki-laki) atau ṛṣikā (perempuan). Kata ini kita serap menjadi ‘resi’. Ṛṣi, resi, atau seers dalam bahasa Inggris adalah mereka yang “melihat” langsung Kebenaran, artinya mereka mengalami-Nya sendiri. Tidak ada perintah yang turun dari langit. Kebenaran itu selalu ada, selalu tersedia. Yang perlu dilakukan adalah memberdayakan diri sehingga kita pun bisa mengaksesnya.
Sebagaimana jalan-jalan yang lain, Rāja Yoga juga punya bermacam-macam rupa dan racikan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktisinya. Dalam memilih racikan jalan yang paling tepat—kembali pada analogi butik—kita perlu seorang penjahit sekaligus desainer yang betul-betul memahami teknik sekaligus kebutuhan kita. Mereka inilah yang kita sebut para Guru.
Tradisi Hindu bisa betahan selama ribuan tahun hingga saat ini adalah berkat hadirnya para suci, yogi, guru, resi di setiap generasi. Mereka sudah mecapai mokṣa namun masih sudi “berkotor-kotor” dan berbagi dengan masyarakat luas. Hindu tidak hanya bergantung pada satu atau beberapa orang penyelamat atau utusan yang hidup di masa lalu yang membawa pesan-pesan terakhir. Kehidupan berjalan dan berkembang terus, demikian pula Hindu Dharma—karenanya ia Sanātana dan Nūtana.
Tulisan ini utamanya saya ambil (dengan perubahan) dari buku First Lesson in Sanskrit Grammar (together with an introduction to the Hitopadesa), disingkat FLSG, edisi kelima yang ditulis oleh James R. Ballantyne, LL.D. Buku ini saya pilih karena ringkas, sederhana, dan cocok bagi mereka yang baru belajar bahasa Sanskerta.
Sebelum memulai pelajaran ini, silakan baca twit-twit saya sebelumnya tentang aksara dan bunyi dalam bahasa Sanskerta. Aturan-aturan yang saya kutip di sini adalah aturan yang paling umum, jadi tidak sepenuhnya menjelaskan tata bahasa Sanskerta. Di luar ini ada pengecualian yang akan dibahas secara terpisah.
Pelajaran 1
1. Kata benda Sanskerta yang ada di kamus adalah kata dasar yang masih “mentah” (selanjutnya disebut ‘kata dasar’ saja), artinya masih perlu diproses lebih lanjut agar bisa digunakan dalam kalimat.
2. Kata dasar bisa diakhiri bunyi vokal atau konsonan (mati). Bunyi akhir ini adalah salah satu hal yang menentukan proses perubahan kata dasar.
3. Bunyi vokal yang paling banyak pada akhir kata dasar adalah a अ, ā अा, i इ, ī ई, u उ, dan ṛ ऋ.
4. Setiap kata dasar memiliki ‘gender’, yaitu maskulin (*m), feminin (*f), atau netral (*n). Nama-nama laki-laki hampir selalu *m, demikian pula perempuan *f. Nama-nama benda atau fenomena juga bisa *m atau *f, misalnya ratha रथ (kereta) *m, sedangkan cintā चिन्ता (pikiran, kegelisahan) *f. Kata dasar yang diakhiri dengan ā dan ī kebanyakan *f.
5. Setiap kata benda menempati posisi tertentu di dalam kalimat (misalnya subyek atau obyek). Untuk itu setiap kata benda mengalami deklinasi (infleksi pada kata benda) menjadi tujuh macam posisi kata yang disebut ‘perihal’.
6. Perihal pertama adalah kata benda sebagai subyek yang dibicarakan di dalam kalimat. Ini umumnya diistilahkan: perihal ‘nominatif’.
7. Bunyi vokal akhir pada kata dasar seperti pada poin 3 mengalami perubahan sebagai berikut agar menjadi perihal nominatif:
a अ menjadi aḥ अः
ā अा tidak berubah
i इ menjadi iḥ इः
ī ई menjadi īḥ ईः
u उ menjadi uḥ उः
ṛ ऋ menjadi ā अा
Catatan: kata benda *n berakhiran ‘a’ berubah menjadi ‘am’.
Sebelumnya kita sudah membahas tentang salah satu sisi tujuan beragama bagi orang Hindu, yaitu Self-realization atau mengalami Sang Diri Sejati (ātman). Inilah yang disebut pencerahan, mokṣa, “manunggaling kawula gusti”, dan sebagainya. Pada saat itu kita melihat persatuan dan kesatuan segala sesuatu yang nampaknya berbeda-beda di alam raya ini.
Ketika kita menyadari bahwa ātman-kudan ātman-mu satu, maka kepedulian kita meluas. Berbuat baik kepada orang atau makhluk lain bukan lagi soal mengumpulkan poin pahala (dari kata Sanskerta phala yang berarti buah, hasil). Kebaikan itu dilakukan memang karena ‘baik’. Membantu yang lain sama dengan membantu diri sendiri.
Inilah sisi lain mokṣa yang kita bahas dalam tulisan sebelumnya, yaitu jagadhita. Kata ini terdiri dari dua elemen: jagat dan hita. Elemen kata yang pertama sudah akrab bagi kita. Akar katanya ‘ga/gam’ yang berarti bergerak pergi. Ja-gat berarti sesuatu yang terus bergerak-gerak, berubah-ubah. Demikianlah sifat alam benda: tidak tetap.
Sedangkan hita berarti bermanfaat, menguntungkan, bersahabat. Mokṣa dan jagadhita adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Seseorang yang mencapai mokṣa, karena menyadari kesatuan ‘diri’-nya dengan semesta, tindakan-tindakannya menjadi bermanfaat, menguntungkan, dan bersahabat bagi jagat raya.
Jika diperhatikan di sini kita bisa melihat perbedaan dengan agama-agama yang dogmatis, yang menempatkan kepatuhan pada posisi yang tinggi. Bagi mereka peran kitab suci sangat sentral. Sebaliknya, Hindu menekankan pada transformasi diri sehingga orang tersebut mampu menentukan sendiri tindakan yang tepat dilakukan.
Peraturan memang masih dibutuhkan bagi mereka yang belum dewasa. Anak-anak yang masih duduk di bangku SD masih harus diatur-atur dan sesekali diiming-imingi agar melakukan hal-hal yang sebenarnya baik untuk dirinya sendiri. Semakin dewasa dia, orang tuanya akan memberikan kebebasan yang lebih besar lagi.
Alih-alih berharap mencapai surga, jagadhita adalah misi untuk membuat dunia ini menjadi ‘surga’. Tidak ada gunanya jika kita mencapai surga nanti di alam lain dengan mengorbankan planet ini atau menciptakan kerusakan dan keresahan di tengah masyarakat. Jagadhita tidak bisa dicapai sendirian, tapi bersama-sama.
Pura Ulun Danu di tepi danau Batur, Bali. Hindu adalah agama yang dekat dengan alam. (Sumber: Patchareeporn Sakoolchai / Getty Images).
Jagadhita juga mengandung pesan untuk membangun harmoni dengan sekitar kita. Hindu tidak menempatkan manusia pada posisi penguasa alam, namun bagian dari alam itu sendiri. Ya, manusia bisa membuat alam sekitarnya semakin subur atau indah, ia juga bisa merusaknya. Namun manusia sering lupa bahwa ia lah yang lebih rentan.
Jika kita “berhasil” menghancurkan keseimbangan ekosistem di planet bumi, maka kita pula lah yang pada akhirnya akan menderita dan bahkan bisa punah. Sebelum ada manusia, planet ini sudah ada dan ia akan terus ada bahkan ketika spesies kita tidak ada lagi. Kehidupan tidak akan berhenti mencari keseimbangan-keseimbangan baru.
Oleh karena itu umat Hindu di Bali memiliki filosofi yang disebut tri hita kāraṇa, yaitu tiga hal yang menyebabkan keuntungan, manfaat, kebahagiaan. Yang pertama adalah harmoni antara manusia dengan sesama manusia; aspek ini disebut pawongan. Sedangkan dua aspek yang lain terkait erat dengan alam secara luas.
Aspek kedua adalah palemahan yaitu makhluk-makhluk yang lebih “lemah” daripada kita—dalam artian bisa relatif mudah terganggu oleh ulah kita. Sedangkan aspek ketiga, yaitu parahyangan, mencakup segala sesuatu yang lebih tinggi. Aspek terakhir ini sering dikaitkan dengan para hyang atau dewa—yaitu kekuatan-kekuatan alam.
Hidup harmoni dengan ketiga hal ini: pawongan, palemahan, dan parahyangan akan membuat hidup kita menjadi lebih bahagia dan sejahtera. Sri Krishna dalam Bhagavad Gita mengingatkan:
devān bhāvayatānena te devā bhāvayantu vaḥ, paras-paraṃ bhāvayantaḥ śreyaḥ param avāpsyatha. (3.11) iṣṭān bhogān hi vo devā dāsyante yajña-bhāvitāḥ, tair dattān apradāyaibhyo yo bhuṅkte stena eva saḥ. (12)
Artinya: (Melalui yajña) kau merawat para dewa, dan demikian pula sebaliknya para dewa akan merawatmu. Dengan begitu kau akan hidup dalam kebaikan. Para dewa akan menganugrahimu dengan segala yang kau butuhkan karena engkau merawat mereka dengan yajña. Namun siapa pun yang menikmati jasa para dewa namun tidak merawat mereka kembali adalah seorang pencuri.
Apa itu yajña? Kebanyakan umat Hindu mengaitkan yajña dengan upacara keagamaan atau persembahan belaka. Sebenarnya maknanya cukup luas. Kata ini berasal dari akar kata ‘yaj’ yang memiliki tiga makna: deva-pūjā (persembahan kepada dewa), saṃgati-karaṇa (membuat terhubung, bertemu), dan dāna (pemberian).
Yajña adalah cara kita “berhubungan” dengan kekuatan-kekuatan alam lewat pemberian, persembahan, termasuk menghormati, merawat, dan melestarikannya. Pustaka-pustaka suci tertua Veda banyak menjelaskan tentang berbagai yajña ini. Tidak heran bila kita bisa menjumpai interaksi dan harmoni antara manusia dengan alam di dalamnya:
Para bijak menggunakan ketiga hal ini dalam berbagai kesempatan; ketiganya punya sifat beragam, tersedia di mana-mana, serta punya banyak manfaat yaitu air, udara, dan tumbuh-tumbuhan (obat). Sejak permulaan ketiganya ‘melapisi’ bumi ini.
Makhluk-makhluk hidup ada karena makanan. Makanan dihasilkan dari hujan. Hujan datang karena yajña, dan yajña terjadi karena perbuatan.
Umat Hindu menghaturkan persembahan. Yajña adalah salah satu cara mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan alam semesta. (Sumber: http://kb.alitmd.com).
Atharvaveda 12.1 (terdiri dari 63 mantra) dikenal sebagai Pṛthivi Sūkta yang berisi puja-puji yang sangat indah kepada Ibu Bumi. Saya kerap mendengar sindiran yang mengatakan bahwa puja-puji itu hanya pantas untuk Tuhan yang berada di atas sana. Inilah perbedaan Hindu dengan agama-agama lainnya. Seorang Hindu tak pernah memisah-misahkan Tuhan dan ciptaan-Nya.
yasyāṃ samudra uta sindhurāpo yasyāmannaṃ kṛṣṭayaḥ saṃbabhūvuḥ, yasyāmidaṃ jinvati prāṇadejat sā no bhūmiḥ pūrvapeye dadhātu. (3)
Padanya, Bumi, lautan, sungai-sungai, danau-danau, sumur-sumur air berada; padanya ladang-ladang tumbuh; padanya makhluk-makhluk aktif bernapas dan bergerak. Semoga Bunda Bumi memberikan kita makanan dan minuman seperti susu, buah-buahan, air, dan biji-bijian.
yat te bhūme vikhanāmi kṣipraṃ tadapi rohatu, mā te marma vimṛgvarī mā te hṛdayamarpipam. (35)
Semoga, Oh Bumi, apapun yang aku gali dan ambil darimu dengan cepat muncul dan tumbuh kembali. Oh Sang Pembersih, semoga kami tak menghujammu pada bagian vital atau jantungmu.
upasthāste anamīvā ayakṣmā asmabhyaṃ santu pṛthivi prasūtāḥ, dīrghaṃ na āyuḥ pratibudhyamānā vayaṃ tubhyaṃ balihṛtaḥ syāma. (62)
Oh Ibu Bumi, Pertiwi, semoga anak-cucuku tumbuh dalam pangkuanmu, bebas dari penyakit dan mara bahaya. Semoga kami hidup hingga tua, selalu waras dan awas. Kami haturkan segala yang kami miliki untukmu.
Kebahagiaan tidak bisa kita capai secara egois. Tidak perlu beragama jika kita hanya ingin membahagiakan diri sendiri, memuaskan segala keinginan-keinginan kita. Jika dalam upaya kita mencapai itu—termasuk mengejar surga—kita mengorbankan kesehatan, kepentingan orang lain, dan/atau kelestarian lingkungan, maka kita tidak bisa menyebut diri Hindu atau pengikut Sanātana Dharma.
Kita sudah membahas tentang ātman dalam tulisan sebelumnya yang dikaitkan dengan tujuan beragama (Hindu), yaitu “ātmano mokṣārthaṃ jagadhitāya ca”. Dalam tulisan ini kita akan mengulas apa yang dimaksud dengan mokṣa dan kaitannya dengan ātman. Banyak umat Hindu sendiri yang kurang memahami konsep mokṣa, sehingga membuatnya terasa begitu jauh, mistis ,dan tidak membumi; padahal ini adalah tujuan umat Hindu.
Oh iya, sebelum melangkah lebih jauh saya ingin meluruskan makna “ātmano mokṣārthaṃ jagadhitāya ca” yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “mencapai kebahagiaan/ketentraman lahir dan batin”. Di sini, ‘lahir’ dikaitkan dengan jagadhita, sedangkan ‘batin’ dihubungkan dengan mokṣa. Pemaknaan yang demikian ini sangat tidak tepat dan menyempitkan makna frasa tersebut.
Seperti yang saya bahas sebelumnya, keduanya—lahir dan batin—adalah lapisan-lapisan yang membungkus ātman atau diri kita yang sejati. Membahagiakan fisik (lahir) dan pikiran-perasaan (batin) bukanlah tujuan beragama. Itu bisa dilakukan di luar agama. Kalaupun batin dikaitkan dengan sesuatu yang gaib, tidak kelihatan, yang hakiki (sesuai definisi KBBI), bisakah yang batin itu dibahagiakan/ditentramkan lagi? Menurut para resi, menyadari yang hakiki (sejati) itu lah sumber kebahagiaan itu sendiri.
Lalu, apa yang dimaksud dengan mokṣa? Mokṣa berasal dari akar kata ‘muc’ yang memiliki dua makna: pramocana (membebaskan) dan modana (membahagiakan, melegakan). Mokṣa bisa dimaknai sebagai kebebasan, kemerdekaan, atau pelepasan yang membawa rasa lega, ringan, bahagia karena yang hal-hal yang tadinya memenjara, menyelubungi, atau menghalanginya sudah tidak ada lagi. Di dalam teks-teks Veda yang paling tua mokṣa disebut dengan istilah lain, seperti amṛta (keabadian).
Upacara agni-hotra di Bali. Para peserta mempersembahkan biji-bijian, ghee, dan sebagainya ke dalam api sebagai simbol pelepasan segala keinginan dan nafsu di dalam diri. Api dipandang sebagai salah satu elemen alam yang membebaskan. (Sumber: Govoyagin.com).
Mokṣa juga adalah satu dari caturpuruṣa-artha atau empat hal yang harus diperoleh seseorang agar hidupnya bahagia, yaitu: 1) dharma atau moral, etika; 2) artha atau harta benda; 3) kāma yaitu kepuasan ragawi dan psikologis; serta yang terakhir adalah 4) mokṣa. Keempat hal ini diibaratkan sebagai empat fondasi pokok kehidupan manusia Hindu. Kita akan membahas tentang ini lebih jauh dalam tulisan-tulisan yang lain.
Kebebasan ātman ini sering dianggap sebagai tanggalnya selubung badan fisik yang dicapai melalui tapa dan semedi selama sekian lama. Belum tentu seseorang yang meninggal ātman-nya sudah terbebaskan dari māyā atau kepalsuan. Di sisi lain, mereka yang masih berbadan belum tentu belum mencapai mokṣa. Veda menyebut orang-orang yang telah mokṣa, bebas, merdeka selagi hidup sebagai jīvan-mukta, dan sebagainya. Ini adalah pengalaman tertinggi, dan bukan diperoleh melalui olah intelektual semata.
Ada dua śloka Bhagavad Gita yang cukup menarik terkait dengan seorang jīvan-mukta:
yas tv ātma-ratir eva syād ātma-tṛptaś ca mānavaḥ, ātmany eva ca saṃtuṣṭas tasya kāryaṃ na vidyate. —3.17.
Artinya lebih kurang sebagai berikut: Ia yang bahagia dengan dirinya sendiri (ātma-rati), ia yang puas dirinya sendiri (ātma-tṛpta), sentosa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikerjakan lagi. Baginya, tidak ada lagi keuntungan yang ia dapat dari bekerja maupun tidak bekerja. Ia tidak perlu bergantung pada apapun dan siapapun karena ia sudah tidak lagi memiliki kepentingan pribadi.
Jangan disalahtafsirkan bahwa mereka yang tidak bekerja, berkarya, yang malas-malasan sebagai orang yang sudah mencapai mokṣa. Mereka ini sebenarnya masih terjerat dalam tamas—salah satu sifat alami yang membelenggu manusia—yaitu sifat malas. Oleh karena itu, Sri Krishna cepat-cepat menambahkan bahwa ia pun sudah tidak perlu berada di dunia, namun ia menyadari bahwa apabila ia tidak terlibat maka ia membiarkan kehancuran dan degradasi yang sedang terjadi (3.23–24).
Bagaimana dengan kita yang belum mencapai mokṣa? Sri Krishna menjelaskan:
(Bagi mereka yang belum mencapainya) jalankanlah kewajibanmu dengan sebaik-baiknya dan tanpa keterikatan (pada hasilnya). Dengan berbuat demikian, kau akan mencapai kemuliaan (param).
Dalam pengertian yang luas, mokṣa berarti kebebasan dari ketakutan, kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan berkarya dalam batas-batas nilai kemanusiaan yang luhur. Seseorang dikatakan benar-benar bebas apabila ia tidak hanya merdeka dari pengaruh-pengaruh dari luar, namun juga tidak menjadi budak dari nafsu-nafsu hewani dan kepicikan diri. Mereka yang menuntut kebebasan luaran, namun masih dalam kendali kepentingan ego yang sempit belum bisa dikatakan mokṣa.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa mokṣa juga tidak ada sangkut pautnya dengan surga, seperti yang sering terdengar. Surga dan keadaan di dalamnya, dalam pandangan Veda, masih merupakan kelanjutan dari nafsu-nafsu kita di dunia. Di dalam surga kita masih terjerat dalam belenggu māyā, walaupun segalanya terasa enak dan nyaman. Mokṣa menjadi tujuan beragama karena ia memberikan kebahagaiaan yang sejati (yang berasal dari diri sendiri). Kondisi ini disebut oleh Sri Krishna sebagai brahma-nirvāṇa.
Nirvāṇa juga sering disalahartikan sebagai surga oleh masyarakat yang sebenarnya masih terobsesi dengan keinginan-keinginan duniawi. Dalam bahasa Sanskerta nirvāṇa berarti padam, lenyapnya segala gangguan yang menyebabkan kita terombang-ambing oleh suka maupun duka kehidupan. Mereka yang sudah mencapai mokṣa atau nirvāṇa ini—seperti yang dijelaskan Sri Krishna di atas—sudah tidak lagi perlu lahir kembali ke dunia ini. Mereka telah menyatu dengan keberadaan.
Namun, kalaupun ia memutuskan untuk kembali lagi, biasanya mereka mengemban misi untuk membantu meningkatkan kesadaran warga bumi dan untuk melindungi Dharma. Mereka inilah yang dikenal sebagai avatāra (berasal dari ava- + √tṝ yang berarti “menyebrang” untuk turun kembali ke bumi atau menurunkan kesadarannya untuk bisa mengambil badan manusia). Kelahiran para avatāra ini adalah perayaan bagi para bijak yang sedang berupaya mencapai mokṣa.
Meera atau Mirabai, seorang mistik dan bhakta Sri Krishna yang sangat terkenal Ia hidup pada abad ke-15–16 di India. Kecintannya pada Krishna mengantarnya mencapai kebebasan, mokṣa.
Semoga daya hidup di dalam diriku menyatu dengan Nafas Abadi, seperti tubuh fisikku ini berakhir sebagai abu.
kāmānyaḥ kāmayate manyamānaḥ sa kāmabhirjāyate tatra tatra, paryāptakāmasya kṛtātmanasvihaiva sarve pravilīyanti kāmāḥ. —Mundaka Upanishad 3.2.2.
Ia yang memikirkan terus-menerus dan menginginkan benda-benda duniawi akan lahir lagi dan lagi di sini. Namun mereka yang keinginan-keinginannya sudah tuntas dan sadar (akan kesatuan ātman dan Brahman), nafsunya pupus saat ini juga.
Sebagaimana sungai yang menyatu dengan lautan, hilang sudah nama dan wujud-nya, demikian pula ia yang mengetahui (akan kesatuan ātman dan Brahman) terbebas dari nama dan wujud, mencapai Puruṣa yang melampaui alam benda ini.