Hidup Tanpa Titik

Sejak kecil saya tertarik pada cerita. Saya suka mendengar atau membaca tentang hal-hal yang antik: sejarah, arkeologi, budaya, dan juga tentang spiritualitas. I think I’m an old soul. Lahir dari orang tua berbeda budaya dan agama membuat saya merasa bagian dari—sekaligus di luar—keduanya. Ibu—yang saya panggil Mama—adalah seorang muslimah yang rajin beribadah dan membaca kitab sucinya, namun tidak pernah fanatik. Mama-lah yang paling berperan memperkenalkan saya pada praktik keagamaan, baik itu yang berasal dari tradisi Islam maupun tradisi Hindu—agama Papa. Mereka juga memasukkan saya di dalam kelas agama Kristen di sekolah pertama saya—suatu pilihan yang aman karena tidak ada pengajar agama Hindu di sana. Saya mendengar kisah-kisah dalam Injil, Al-Qur’an, dan Mahabharata sekaligus. Sejak itu hidup saya terasa tanpa titik. Saya merasa bebas “berenang” di kolam mana pun.

Meminjam istilah Guru, di dalam setiap penyelaman, saya bisa menemukan mutiara kebijaksanaan di dalam semua kitab-kitab suci dan tradisi keagamaan. Di dalam pandangan saya—yang mungkin masih naif ketika itu—saya bisa menjadi semua sekaligus beyond, karena “Aku” tidak bisa diperangkap. Tentu saja semakin dewasa, masyarakat menuntut setiap orang masuk ke dalam salah satu dari kotak-kotak agama yang diakui. Mencampur-adukkan agama dipandang salah. Pertanyaan mulai berkecamuk di dalam benak saya: Who am I? What should I choose? Bagaimana saya bisa membuang mutiara yang saya temukan di kitab-kitab suci selain yang saya pilih nanti? I loved all of them, I could not choose one from the other. Cara pandang saya pun berubah dari pencari kesamaan, menjadi pencari perbedaan. Dan saya mulai bis melihat jurang-jurang perbedaan yang lebar. Saya paham mengapa masyarakat menuntut semua anak untuk masuk ke sini atau ke sana.

Setiap agama memiliki—apa yang saya sebut—premis dan asumsi dasar yang berbeda, yang dipakai untuk membangun keseluruhan sistem kepercayaannya, membuat segala sesuatunya ini make sense. Saya menemukan bahwa jika kita “masuk” dengan premis dan asumsi dasar tersebut, we will end up di “ruangan” yang berbeda. Dari dalamnya, kita akan melihat “ruangan-ruangan” lain salah, nggak benerIt is like we are all live in different virtual worlds. Well, itu yang dirasakan kebanyakan orang. Tapi saya merasa ada yang salah dengan itu. Mengapa kita harus berada terus di dalam satu “ruangan”, padahal “rumah” ini adalah miliki kita? Mengapa kita puas dengan “titik”, padahal setalah jeda itu, kalimat kehidupan terus melanjutkan ceritanya? Agama dan kepercayaan—perlahan—berubah dari “ruangan” menjadi “pakaian”, kemudian “kacamata”, lalu… sirna melebur menjadi satu, seperti sinar-sinar warna menyatu tanpa warna.

Dalam perjalanan itu, kehidupan fisik saya memang berada di salah satu kotak—demi praktikalitas. Saya memilih kotak paling besar yang bisa saya dapat, kotak itu adalah Hinduisme, yang juga adalah agama leluhur saya. Di antara semua pilihan yang ada, Hinduisme yang bisa menerima perbedaan premis dan asumsi, sekaligus model, mandala setiap umat. Belakangan semakin saya pelajari, saya melihat Hinduisme—agama tertua di dunia yang masih terus hidup—sebagai cermin masa depan peradaban manusia. Tidak seperti agama-agama yang lain, Hinduisme bukanlah agama, tapi suatu peradaban spiritual yang di dalamnya, orang-orang dengan berbagai kepercayaan bisa hidup dan berkembang. Veda—kitab suci Hindu—bukanlah satu buku, isinya pun tidak tunggal: Pemuja Vishnu, pemuja Shiva, Buddhisme, Tantra, dan sebagainya yang “nampak” berbeda dalam praktiknya diakomodasi. Bahkan, jika prinsip dasarnya ditarik lebih luas, maka agama-agama besar yang lain pun bisa “masuk” ke dalamnya.

Sebagaimana sinar berbagai panjang gelombang—dari merah sampai violet—yang “menyatu” menjadi sinar tanpa warna, namun tetap tidak kehilangan “jati dirinya”, dan bisa kembali dipecah lewat prisma, demikian pula menurut pandangan saya agama dan kepercayaan yang berbeda-beda itu. Prisma-nya adalah masyarakat dan si manusia itu sendiri, yang (merasa) perlu untuk memilah-milah—sekali lagi demi alasan kepraktisan. Lebih mudah memang fokus pada salah satunya, lebih “ekonomis”—dan, memang masyarakat selalu mencari jalan yang paling “mudah”. Menyadari ini, saya memilih, namun masih bebas menyelam ke dalam kolam-kolam yang berbeda, bermain dari satu kamar yang satu ke kamar yang lain di dalam rumah Semesta yang maha-luas ini.

Demikianlah Blog ini saya buat dengan semangat di atas. Semoga bermanfaat.

Damai selalu.

%d bloggers like this: