Tahun baru 2020 di Jakarta dan daerah-daerah di sekitarnya dibuka dengan hujan lebat yang panjang. Alhasil banyak daerah tergenang banjir. Aktivitas warga terhambat. Kemeriahan tahun baru digantikan dengan kegiatan bersih-bersih atau mengungsi. Di tengah kondisi seperti ini ternyata ada saja orang-orang yang mensyukuri keadaan ini karena mereka tidak suka dengan tahun-baru (masehi). Ada yang berdoa agar Tuhannya menurunkan hujan untuk membubarkan kerumunan dan menghentikan kegiatan perayaan yang penuh dosa itu.
Banjir dan bencana alam lainnya sudah sejak lama dikaitkan dengan dosa. Karena manusia berdosa, Tuhan menurunkan banjir di ibu kota untuk menyucikannya. Karena pemimpinnya tak seiman dan sombong, Tuhan pun menyumbat gorong-gorong air yang kemudian menenggelamkan sebagian wilayah untuk menunjukkan kuasaNya. Ada juga yang bilang banjir terjadi karena salah pilih pemimpin—karena hanya memilih yang seiman (dan mengabaikan kemampuannya). Bencana alam adalah hukuman karena ada yang tidak mengikuti kemauanku.
Di dalam imajinasi yang berakar dari ego itu ‘aku’ berpikir bahwa ‘aku’ lebih berkuasa daripada Tuhan atau alam. Kita seolah tahu apa yang Ia mau. Kita menyuruh Tuhan mengikuti kemauan dan kesukaan/ketidaksukaan kita. Tidak jelas lagi yang mana hamba yang mana tuan. Bencana juga sering dijadikan ajang pembuktian: Tuhan (baca: ego) siapa yang benar, Tuhanku atau tuhanmu?
***
Semalam saya membuka Bhagavad Gita secara acak. Kebetulan bagian yang terpilih adalah percakapan ke-18, sloka/ayat 16. Ini kutipannya—saya ambil dari bhagavadgita.or.id (transkreasi Swami Anand Krishna):
Kesukaan dan ketidaksukaan lahir dari alam benda (silakan baca tulisan saya tentang Purusha dan Prakirti). Alam benda (Prakirti) serta dualitas di dalamnya ini dibentuk dari dan membentuk setiap pengalaman hidup dan menggerakkan tindakan kita. Walaupun demikian, menurut Shri Krishna, Jiwa atau Ātman atau Sang Diri Sejati sesungguhnya tidak terpengaruh. Tindakan (karma) beserta buahnya (phala) hanya melekat di sarung (kośa) pembungkus Jiwa. Berarti dosa dan pahala adalah urusan si sarung yang terbuat dari materi kebendaan, bukan Jiwa. Dosa dan pahala hanyalah reaksi dari aksi di alam benda.
Tindakan yang buruk merupakan kesalahan (doṣa) yang bisa diperbaiki di sini juga. Dampak jeleknya akan sampai kepada kita sendiri karena semuanya terhubung di semesta ini. Menyadari itu, kita bisa terbebas darinya sekarang juga. Yang dibutuhkan adalah peningkatan kesadaran. Oleh karena itu, ajaran Dharma tidak mengenal ‘penyelamat’ untuk memikul dan menebus dosa-dosa kita. Tidak pula Dharma menakut-nakuti bahwa dosa akan membuat kita terpanggang selama-lamanya di neraka. Keduanya, baik iming-iming keselamatan maupun teror neraka mungkin manjur bagi anak-anak. Namun bagi mereka yang sudah dewasa kesadaran tentang hukum aksi-reaksi, tabur-tuai, karma-phala membuatnya mandiri.
***
Sering saya dengar: Bencana yang menimpa orang-orangku adalah cobaan. Sedangkan bencana yang terjadi kepada orang lain adalah kutukan, amarah Tuhan. Sekali lagi tolok ukurnya adalah ‘aku’. Apakah Tuhan, yang katanya pencipta alam raya, punya preferensi, kesukaan dan ketidaksukaan dalam ciptaanNya, seperti manusia (satu spesies yang hidup di atas planet kecil di sudut kecil jagat yang maha-luas)? Tuhan yang seperti ini adalah tuhan yang personal yaitu Tuhan yang memiliki personality seperti manusia. Ia menyukai sesuatu dan membenci yang lain, imbalan dan hukumannya tidak hanya terjadi di dunia ini tetapi juga di alam nanti. Tuhan seperti ini masih hidup dalam dualitas.
Pandangan di atas berbeda dengan ajaran Dharma:
Saya percaya bahwa bencana adalah pesan alam buat kita. Bencana merupakan “teguran”. Mungkin selama ini kita tengah merusak keseimbangan yang sudah berlangsung ribuan bahkan jutaan tahun demi memuaskan kebutuhan dan keinginan kita semata. Desain kota kita mungkin kurang mempedulikan unsur-unsur alam (yang disebut sebagai ‘para dewa‘ yang sudah ada sebelum manusia berjalan di muka bumi): air, angin, laut, iklim, tanah, lempeng-lempeng tektonik, energi matahari, dan sebagainya. Kita melupakan hukum-hukum alam, termasuk hukum aksi-reaksi. Inilah dosa-dosa kita. Kita bisa perbaiki kesalahan-kesalahan itu sekarang, di sini—tidak perlu menunggu mati.