Para resi Veda menemukan bahwa semesta raya ini tidak hanya muncul dari Hyang Tunggal, namun juga diliputi dan diisi olehNya. Tidak ada sesuatu pun di luarNya, selainNya. Īśāvāsyam idaṃ sarvaṃ yat kiñ ca jagatyāṃ jagat—begitulah deklarasi resi di dalam Isha Upanishad. Penemuan ini bukan sekadar pernyataan teologis hasil utak-atik para kutu buku, namun merupakan pengalaman langsung.

Dari Hyang Tunggal itu pertama-tama muncul Purusha dan Prakirti. Prakirti adalah benih alam benda, yang memungkinkan terjadinya penciptaan semesta lewat hukum aksi-reaksi/sebab-akibat. Alam benda terus-menerus berubah, berevolusi, dan mengalami daur ulang. Prakirti tidak berkesadaran (acetana). Sedangkan Purusha adalah kesadaran murni (cetana), jiwa yang “menikmati” alam benda.

Pertemuan keduanya melahirkan Māyā, ilusi agung. Purusha “merasa” dirinya adalah benda atau materi belaka. Demikian, ia terjebak dalam evolusi dan siklus daur ulang dunia benda. Ia lahir, hidup, mati berkali-kali. Para ilmuwan memperkirakan umur alam semesta hampir 14 miliar tahun. Tata Surya dan Bumi terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun lalu. Dan, manusia sendiri mungkin baru ada 200.000 tahun lalu.

Butuh waktu sangat panjang hingga akhirnya kesadaran itu muncul. Tidak heran kalau kesadaran-badan/pikiran lebih dominan daripada kesadaran-jiwa. (Saya sebut ‘badan/pikiran’ karena menurut para resi pikiran dan perasaan adalah bagian dari alam benda juga.) Tetapi kesadaran-badan/pikiran tidak bisa berlangsung terus karena sifatnya maya. Kesadaran badan/pikiran ini menyebabkan ketidakbahagiaan.

Fitrah alam benda adalah beraneka ragam dan berubah-ubah—memungkinkan jiwa mengalami berbagai macam pengalaman. Sedangkan fitrah jiwa adalah tunggal dan langgeng. Jiwa tidak terikat dengan berbagai “wadah” yang dilaluinya. Ia tidak terpengaruh sifat-sifat alam benda. Guruji mengibaratkan seperti seorang penonton film yang merasakan naik turunnya emosi, padahal ia tidak terlibat. Resi di dalam Atharva Veda 10.8.27 mengatakan:

tvaṃ strī tvaṃ pumān asi, tvaṃ kumāra uta vā kumārī;
tvaṃ jīrṇo daṇḍena vañcasi, tvaṃ jāto bhavasi viśvatomukhaḥ.

(O Jiwa), engkau melalui pengalaman sebagai perempuan, engkau juga menjadi lelaki. Engkau menjadi muda-mudi, lalu engkau pun “menjadi” tua dan memerlukan tongkat untuk berjalan. (O Jiwa) engkau lahir dalam berbagai badan, berbagai rupa.

Usia, jenis kelamin, gender, ras, termasuk kepercayaan adalah hal-hal yang muncul dari alam benda. Jiwa bisa melalui pengalaman sebagai manusia yang berkelamin perempuan (strī) atau laki-laki (pumān) atau jenis ketiga (tṛtīya prakṛti) yang bukan perempuan dan bukan laki-laki. Wadah jiwa berubah dari bayi, dewasa, tua, dan akhirnya mati. Begitu pula pemikiran dan perasaannya berubah-ubah.

Pengalamannya akan lain ketika jiwa “lahir” sebagai makhluk berbeda. Ada beberapa jenis ikan, siput, dan serangga yang hermafrodit (memiliki lebih dari satu jenis kelamin dalam satu tubuh). Bahkan jenis fungi Schizophyllum commune bisa memiliki lebih dari 23.000 jenis kelamin akibat diferensiasi genetik. Semuanya itu berproses secara alamiah—ini bukan perkara benar atau salah.

Para resi mengajak kita “menaikkan” kesadaran, dari kesadaran-badan/pikiran menuju kesadaran-jiwa. Selama masih berada di bawah pengaruh kuat kesadaran-badan/pikiran kita akan melihat keterpisahan/perpecahan di mana-mana. Kita akan diombang-ambingkan pasang-surut dan suka-duka dunia. Hanya kesadaran-jiwa yang bisa menyatukan dan menyeimbangkan. Para resi bermantra:

AUM asato mā sad gamaya
tamaso mā jyotir gamaya
mṛtyor mā amṛtam gamaya
samastha lokāḥ sukhino bhavantu

Dari kepalsuan, antarkanlah aku menuju kebenaran sejati,
dari kegelapan, antarkanlah aku menuju cahaya kesadaran,
dari kesadaran-benda yang terbatas dan fana, antarkanlah aku menuju kesadaran-jiwa yang tidak terbatas dan baka.
Semoga semua makhluk berbahagia.

Inilah inti ajaran Hindu Dharma yang sanātana (abadi, langgeng) dan nūtana (selalu membaru).

***

Kebanyakan orang masih berada di dalam kesadaran-badan/pikiran. ‘Aku’ kita masih tertuju pada identitas-identitas fisik dan mental-emosional. ‘Aku’ adalah si Anu yang tinggal dan bekerja di kota X. ‘Aku’ laki-laki, perempuan, “normal”, “tidak normal”, dan sebagainya. ‘Aku’ adalah anak dari bapak A dan ibu B, pasangan dari C, orang tua D, E, F, dan seterusnya. Atau ‘aku’ beragama Y, ‘aku’ penyabar, pemarah, suka gado-gado, fans berat aktor/penyanyi tertentu. ‘Aku’ kita masih ego—dalam bahasa Sanskerta disebut ahaṃkāra, secara harfiah berarti yang membuat/menyusun ke-aku-an. ‘Aku’ kita masih terpisah dengan ‘kamu’ dan ‘dia’. Kebanyakan orang hidup dalam kepalsuan dan kegelapan.

Namun sesekali ada segelintir orang yang “tercerahkan”. Ia mulai menyadari jati dirinya sebagai sang jiwa—bukan semata ego tubuh dan pikiran/perasaan. Sang jiwa yang ada di dalam dirinya mulai ia lihat juga di mana-mana: di dalam diri makhluk lain dan di seluruh alam raya. Kini ia menyadari bahwa Gusti dan kawula-Nya sebenarnya tidak pernah terpisah. Dalam tradisi Sindhu/Hindu/Indo ia disebut ṛṣi, vipra, dan sebagainya.

Ia melihat keilahian atau kedewataan “mengalir” di dalam api, angin, air, bumi, angkasa, langit, matahari, bulan, bintang-bintang, planet-planet, fajar, malam, gunung-gunung, lembah-lembah, tumbuhan, hewan. Kesadaran ini membuatnya menjadi seorang panembah. Syair-syair pujian mengalir dari puncak kesadarannya itu. Inilah yang kemudian dihimpun menjadi kitab-kitab Veda.

Kesadaran para resi ini bukan hanya monopoli sekelompok orang terpilih saja. Kita semua punya potensi itu. Setiap orang memiliki jalurnya masing-masing untuk mencapai kesadaran yang sama, tergantung pada “modal” awal dan corak “wadah”-nya (badan, pikiran, lingkungan). Karena itu, Hindu tidak pernah memaksakan suatu cara bagi semua atau menganggap cara tertentu paling baik daripada cara lain.

Kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di Sindhu/Hindu/Indo, misalnya, menjadi penuh warna-warni karena penduduknya tinggal di negeri yang relatif subur dan kaya sumber daya. Kepercayaan yang monolitik dan dogmatis tidak cocok dengan corak pekerti masyarakatnya. Di sini, hubungan antara kawula dan Gusti-nya bisa lebih personal dan ekspresif.

Para resi bisa menyebutNya Ibu sekaligus Ayah, feminin, maskulin, atau netral. Ialah Brahman yang melampaui segalanya. Ia adalah Agni, api suci. Ia pula Indra sang penguasa angkasa. Ia secantik Usha, sang fajar dan se-misterius Ratri, sang dewi malam. Ia bisa setegas Varuna menghukum para penjahat, atau menjadi Mitra yang bersahabat. Ada begitu banyak Deva dan Devī yang bisa kita pilih sebagai jalan menuju Hyang Tunggal.

Salah satu contohnya adalah Devī Sūktam atau Vāk Sūktam yang terdapat di dalam Ṛgveda maṇḍala ke-10, sūkta 125. Sukta ini ditulis oleh seorang resi perempuan bernama Vāc, puteri dari resi Ambhṛṇa. Ketika berada pada puncak kesadaran-jiwa, sang resi melihat keilahian atau kedewataan Ātman, Jiwa di dalam dirinya sebagai kekuatan feminin yang menggerakkan seluruh ciptaan.

67c5302a96b9e86e2b97b48692f7757c
Dewi Gayatri yang dikenal sebagai ibu dari Veda, sumber kebijaksanaan.

Sukta ini sangat menarik direnungkan. Sang resi “mengangkat” sifat feminin Dewi sebagai suatu kekuatan yang menggerakkan semesta. Ialah yang menikmati semua bentuk persembahan suci. Ia juga ada di dalam diri sebagai jiwa. Ia adalah sumber kesadaran dan pengetahuan. Ia pelindung dan tak segan merentangkan busur membidik para pengacau. Ia adalah sumber kehidupan itu sendiri.

Feminin atau maskulin, seperti yang akan kita lihat di bawah ini, bukanlah sesuatu yang hitam dan putih. Sifat-sifat feminin tidak hanya ada di dalam diri perempuan, namun juga laki-laki. Demikian halnya sifat-sifat maskulin bukan monopoli laki-laki. Bahkan keduanya ada di dalam tubuh dan mental-emosional setiap manusia dan harus dikembangkan. Ada kalanya kita perlu lebih feminin, dan lain waktu menjadi lebih maskulin.

***

ṚG VEDA 10.125 — DEWĪ SŪKTAM

Hariḥ Oṁ

Ṛshikā: Vāg-ambhṛṇī
Devatā: Vāgāmbhṛṇī (Ātmastuti)
Chaṇḍaḥ: Trishṭup, (2) Jagatī

ahaṃ rudrebhir vasubhiś carāmy aham ādityair uta viśvadevaiḥ |
aham mitrāvaruṇobhā bibharmy aham indrāgnī aham aśvinobhā || 1 ||

Aku menggerakkan para Rudra, para Vasu, para Āditya, dan semua dewa-dewa; Aku mengampu Mitra-Varuṇa, Indra-Agni, juga kedua Aśvin.

Catatan:
Sūkta ini diungkapkan dalam gaya bahasa orang pertama. Vāc secara harfiah berarti speech atau wicara (kata ini seasal dengan vox, voice), namun dalam pengertian yang lebih luas, yaitu ekspresi kesadaran. Vāg Dewi di dalam Veda mewakili sesuatu daya hidup, daya gerak, kecerdasan, kebijaksanaan.

Sang Dewi berada di balik semua kekuatan-kekuatan semesta. Ialah yang memberikan kekuatan kepada para Rudra—kelompok dewa yang paling perkasa dan mengerikan di dalam tradisi Veda. Ia lah yang membuat para Vasu—kelompok dewa yang paling lembut, elemen-elemen alam yang halus—mampu berkembang ke segala penjuru. Ia pula yang membuat para Āditya menyebarkan energinya.

Di samping itu, dewa-dewa Vedik klasik seperti duo Mitra-Varuṇa, Indra-Agni, dan si kembar Aśvin juga tidak akan mampu menjalankan fungsinya apabila Dewi tidak memberikan sebagian kekuatanNya.

ahaṃ somam āhanasam bibharmy ahaṃ tvaṣṭāram uta pūṣaṇam bhagam |
ahaṃ dadhāmi draviṇaṃ haviṣmate suprāvye yajamānāya sunvate || 2 ||

Aku menikmati perasan Soma, Aku pula pengampu Tvashṭṛ, Pūshan, dan Bhaga; Aku menganugrahkan kekayaan kepada sang panembah, ia yang memusatkan pikiran dalam persembahannya, dan semua yang terlibat.

Catatan:
Mantra kedua ini menekankan aspek Sang Dewi yang lebih mudah didekati manusia lewat proses persembahan (yajña). Di dalam yajña, saripati persembahan diterima oleh Sang Dewi dan hasilnya kembali menjadi daya kreasi/kreatifitas (Tvashṭṛ), daya tumbuh (Pūshan), serta berbagai kenikmatan dan kenyamanan hidup (Bhaga). Ia lah sumber segala kesejahteraan dan kebahagiaan (draviṇam) yang berusaha dicapai setiap orang.

ahaṃ rāṣṭrī saṁgamanī vasūnāṃ cikituṣī prathamā yajñiyānām |
tām mā devā vy adadhuḥ purutrā bhūristhātrām bhūry āveśayantīm || 3 ||

Aku-lah Sang Ratu, penghimpun kekayaan, Hyang Maha Mengetahui, Hyang Pertama Dipuja. Para dewa menyebarkan kesadaran tentangKu ke segala penjuru.

Catatan:
Para dewa di dalam mantra ketiga ini tidak hanya berarti kekuatan-kekuatan alam. Di sini, para dewa bisa dikaitkan dengan orang-orang yang telah memperoleh pencerahan yaitu para bijak, resi. Mereka dikatakan menyebarkan kesadaran dan pemahaman ini ke seluruh penjuru. Hal ini menunjukkan bahwa Hindu Dharma bukanlah kepercayaan lokal dan tidak perlu disebar-luaskan.

Belakangan, banyak penemuan-penemuan arkeologis yang mulai melihat unsur-unsur pemikiran Vedik di berbagai mansyarakat di dunia, mulai dari Irlandia, Inggris di barat Eropa, hingga ke Rusia, dari Mesir, Timur Tengah, hingga ke Timur Jauh (Jepang, Korea, China). Ajaran Veda sangat adaptif dan fleksibel sehingga kulit luarnya tidak harus seragam, namun bisa mengikuti corak kebudayaan setempat.

unnamed
Dewi Lakshmi, Sang Penganugerah Kekayaan/Kesejahteraan.

mayā so annam atti yo vipaśyati yaḥ prāṇiti ya īṃ śṛṇoty uktam |
amantavo māṃ ta upa kṣiyanti śrudhi śruta śraddhivaṃ te vadāmi || 4 ||

Melalui-Ku lah seseorang menyantap makanan, mampu melihat, bernapas, dan mendengar. Bahkan ia yang belum “menyadari” keberadaanKu, dan ia yang tidak mampu “mendengar”-Ku pun sesungguhnya dekat denganKu!

Catatan:
Tuhan hadir di mana-mana dan anugerah kehidupan-Nya tidak hanya terbatas pada mereka yang menyadari keberadaan-Nya saja. Ia seperti matahari memberikan hangat cahayanya bahkan kepada seorang buta sekalipun. Mantra ini adalah deklarasi kasih-sayangNya yang tidak terbatas, yang seharusnya menginspirasi kita untuk tidak ikut-ikutan merendahkan umat lain dan melakukan diskriminasi.

Umat Hindu tidak perlu membalas kejahatan dengan kejahatan, namun juga perlu diingat bahwa kita tidak boleh membiarkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terus dilakukan oleh orang lain kepada kita. Sebagaimana pesan mantra sebelumnya, kita juga perlu secara aktif menyebarluaskan kesadaraan-jiwa.

aham eva svayam idaṃ vadāmi juṣṭaṃ devebhir uta mānuṣebhiḥ |
yaṃ kāmaye taṃ-tam ugraṁ kṛṇomi tam brahmāṇaṁ tam ṛṣiṁ taṃ sumedhām || 5 ||

Sabdaku yang demikian diagung-agungkan baik oleh para dewa dan umat manusia; Siapapun yang Ku kehendaki, Ku jadikan ia perkasa, brahmana, resi yang bijaksana.

Catatan:
Sang Dewi di dalam mantra ini dipandang sebagai sumber kecerdasan dan kebijaksanaan. Pertama-tama, manusia belajar hidup harmonis dengan alam. Kemudian, manusia mulai memetik hasil kerjanya (mantra 1–2). Ia pun kemudian mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya (mantra 3–4).

Setelah itu, baru manusia bisa membangun peradaban yang ditopang oleh sistem pendidikan yang berkesadaran. Para bijak, resi, atau brahmana memimpin dan menggerakkan peradaban lewat pengetahuan bersama-sama dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lainnya: para pegawai negeri, militer, pedagang, seniman, petani, dan para pekerja.

sarasvati528
Dewi Saraswati, Sumber Ilmu Pengetahuan, Seni, dan Kebijaksanaan.

ahaṃ rudrāya dhanur ā tanomi brahmadviṣe śarave hantavā u |
ahaṃ janāya samadaṃ kṛṇomy ahaṃ dyāvāpṛthivī ā viveśa || 6 ||

Aku merentangkan busur Rudra untuk menghancurkan mereka yang memusuhi Kebenaran, Pengetahuan. Aku berperang demi semua makhluk, Aku lah penguasa langit dan bumi.

Catatan:
Tidak selamanya cetak biru yang disebutkan di dalam mantra ke-5 bisa dijalankan dengan lancar. Tidak jarang kekayaan dan kesejahteraan yang dicapai menjadi incaran mereka yang malas dan berjiwa kasar. Jika dibutuhkan, kita harus siap untuk mengangkat senjata, merentangkan busur Rudra, dan melindungi dirinya.

Ahiṃsā bukan berarti membiarkan orang menyakiti orang lain atau diri kita. Ahiṃsā adalah ideal yang ingin dicapai, tetapi kalau ada yang ingin menyakiti kita harus siap membela diri. Saat itu kita membutuhkan Dewi Mahākāli!

123_18
Dewi Mahākāli yang Maha Digdaya.

ahaṃ suve pitaram asya mūrdhan mama yonir apsv antaḥ samudre |
tato vi tiṣṭhe bhuvanānu viśvotāmūṃ dyāṃ varṣmaṇopa spṛśāmi || 7 ||

Dari-Ku, Bapa lahir di puncak langit, sedangkan sumber-Ku berada di kedalaman Samudra. Dari sana, Aku menyebar ke seluruh penjuru semesta, dan dengan keagungan-Ku, Aku menyentuh (mencapai) langit itu.

Catatan:
Mantra ini berisi simbol-simbol perlu perenungan untuk memahami maknanya. Salah satu pesan di dalam mantra ini sejalan dengan penemuan sains mutakhir yang mengungkap bahwa maskulinitas (manusia) lahir dari femininitas.

Pemujaan terhadap Dewi, mungkin adalah kepercayaan yang lebih kuna, lebih tua umurnya di dalam peradaban manusia. Pemujaan terhadap aspek maskulin ketuhanan membuat manusia menjadi keras dan kaku; ia harus mengikuti segala peraturan yang dibuat Sang Bapa. Pemuja-Nya juga cenderung menjadi ekspansionis.

Sedangkan, para pemuja aspek femininNya lebih mementingkan perjalanan batin ke dalam diri, meditasi, yoga, dan sebagainya. Mereka menyadari bahwa Tuhan berada di kedalaman ‘samudra’ kesadaran di dalam dirinya sendiri. Perjalanan ke dalam ini pada saatnya akan membuat kita menjadi dinamis, kreatif, dan penuh kasih. Mereka pun akan mampu menemukan Tuhan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat buatan manusia.

aham eva vāta iva pra vāmy ārabhamāṇā bhuvanāni viśvā |
paro divā para enā pṛthivyaitāvatī mahinā sam babhūva || 8 ||

Semua bentuk kehidupan Aku embuskan ke segala penjuru seperti angin. Keagungan-Ku melampaui alam benda, langit dan bumi ini.

Catatan:
Pada akhirnya, pemuja-Nya harus melampaui segala sesuatu di alam benda: melepaskan keterikatan dan pandangan yang memisah-misahkan manusia yang satu dengan yang lain, manusia dengan semesta, dan manusia dengan Tuhannya. Segala bentuk kehidupan dan benda-benda yang nampaknya bermacam-macam ini sesungguhnya berasal dari Hyang Tunggal. Mencapai kesadaran ini, manusia memperoleh kebebasan yang sejati.

om-universe
AUM, Ia Yang Tak Terjelaskan, Sumber Segala Sesuatu.

 

OM Shanti, Shanti, Shanti


One response to “Dewi Sukta”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: