Menghadapi para pendakwah-misionaris (orang-orang yang getol mengkonversi orang lain) memang tidak mudah buat penganut agama minoritas, apalagi kelompok-kelompok di luar agama-agama yang diakui negara. Mengapa susah? Karena arena “pertandingannya” sudah sedemikian rupa timpang, menguntungkan kelompok-kelompok yang lebih besar. Ketimpangan ini terjadi karena narasi kelompok mayoritas lebih dominan memengaruhi cara pandang bahkan pola pikir masyarakat bahkan pemerintah, sehingga seolah-olah cara pandang tertentu benar, padahal belum tentu.
Saya sangat mendukung kelompok-kelompok agama/kepercayaan lokal yang ada di seluruh Indonesia untuk memperoleh pengakuan atas hak-hak serta penghormatan yang sama dengan saudara-saudaranya sebangsa. Mereka bukan obyek yang diperebutkan untuk dikonversi. Agama/kepercayaan mereka perlu diapresiasi dan diberikan ruang sebesar-besarnya untuk berkembang. Banyak yang bisa kita pelajari dari berbagai tradisi agama/kepercayaan lokal yang ada!
Para pendakwah-misionaris ini, mengaku atau tidak, memandang agama/kepercayaan lain lebih rendah, primitif, atau bahkan palsu, dan menyesatkan. Kedamaian dibangun di atas pondasi toleransi yang rapuh, yaitu toleransi yang mensyaratkan setiap kelompok hidup di dalam kotak-kotak sempitnya masing-masing. Aku di dalam kotakku. Kamu di dalam kotakmu. Kedengarannya masuk akal dan “indah”, bukan? Kenyataannya, kotak kelompok mayoritas selalu lebih lentur, mudah digeser dengan alasan apa yang dilakukannya itu wajar, bagian dari dakwah atau pewartaan yang memang diperintahkan di dalam ajaran agamanya. Bagaimana dengan kelompok minoritas? Ya, tahu sama tahu, lah.
Saya memperhatikan di dalam diskusi-diskusi di media sosial, kelompok penganut agama/kepercayaan lokal (singkatnya saya sebut ‘penghayat’ saja) sering berada dalam posisi lemah bukan hanya karena serangan dari luar, tapi juga ada permasalahan di dalam kelompok-kelompok tersebut. Di sini saya mencoba berbagi hasil observasi:
Pertama, belum cukup ada persatuan di antara kelompok-kelompok penghayat. Mereka hidup dalam lokalitas masing-masing. Inilah caraku, yang lain terserah! Padahal, kalau para penghayat mau saling bertemu, ada banyak sekali kesamaan-kesamaan yang mereka miliki. Pertemuan semacam ini penting dan bukan untuk mengikis keunikan masing-masing, tapi untuk memperluas cara pandang, membuat jejaring, dan bahkan untuk menggali lebih dalam atau menyegarkan agama/kepercayaannya sendiri. Kelompok agama-agama mayoritas umumnya bertumpu pada doktrin/dogma yang kaku, sedangkan agama/kepercayaan lokal bertumpu pada kebijaksanaan dan sifatnya jauh lebih luwes. Jangan sampai agama/kepercayaan lokal mengikuti irama kelompok mayoritas.
Kedua, banyak kelompok penghayat yang dalam upayanya menghidupkan kembali agama/kepercayaannya dengan meminjam istilah, ungkapan, atau kerangka agama-agama mayoritas. Hal ini membuat mereka sulit untuk memenangkan argumen. Misalnya, salah seorang penghayat yang saya amati kerap mengatakan bahwa di Nusantara ini juga pernah ada nabi-nabi—istilah yang diambil dari agama-agama Samawi—dan oleh karena itu ia berharap agama/kepercayaan lokal diakui sejajar oleh para pendakwah-misionaris. Ini adalah hal yang sulit, dan mustahil terjadi karena para pendakwah-misionaris ini memiliki kepercayaan bahwa semua nabi-nabi—termasuk yang lahir di Nusantara (kalau ada)—berujung pada nabi atau mesiah mereka. Jadi para pengikut nabi-nabi dari Nusantara ya harus tunduk pada mereka! Ini kan namanya “bunuh diri”. Padahal, kalau digali lebih dalam, agama/kepercayaan lokal tidak memiliki konsep kenabian (yang sifatnya top-down), namun memiliki tradisi orang suci yang tercerahkan (yang bottom-up) sehingga tidak perlu ngikut dan menjadi domatis, tapi menekankan pada praktik dan pengalaman pribadi.
Ketiga, para penghayat menganggap tujuan akhir mereka adalah konservasi (mempertahankan segala sesuatu yang mereka warisi), bahkan sampai pada taraf membela nilai-nilai yang sudah tidak lagi relevan dan perlu penyegaran. Mungkin karena sudah terlalu lama bermain defensif, para penghayat lupa bahwa sebenarnya keluwesan mereka adalah kekuatan dan nilai lebih. Nilai-nilai yang diadopsi dari luar, jika perlu, harusnya in their own terms, tidak didikte oleh agama/kepercayaan lain. Tujuan akhirnya, menurut saya, bukan konservasi, tapi hal-hal yang diajarkan oleh leluhur, misalnya hidup harmonis dengan sesama dan alam sekitar, atau meraih tingkat kesucian yang membebaskannya dari keterikatan, atau sesederhana meraih kebahagiaan sejati, dan lain sebagainya.
Keempat, kita harus selalu waspada tidak terjatuh dalam lubang yang sama: lubang dogma. Dogma di sini bukan hanya sekedar dokumen atau kitab suci, tetapi juga dogma lain yang sama-sama memenjara, misalnya ras/kesukuan. Kita jangan mau membatasi dan dibatasi bahwa agama/kepercayaan kita dikaitkan dengan ras Austronesia, dan sebagainya atau dari zaman ini atau itu. Agama/kepercayaan kita adalah suatu yang hidup, kitab kita terus-menerus membaru dan tidak haram “ditulis”-ulang.
Saya yakin di masa depan, seiring dengan makin banyaknya pendalaman dan penelitian, dan kegagalan agama-agama mayoritas untuk menghadirkan kehidupan yang tata tentrem kerta raharja, agama/kepercayaan yang berakar dari Bumi Pertiwi namun bersifat universal karena berangkat dari pengalaman manusia (bukan dogma/doktrin) dan mengapresiasi berbagai perbedaan jalan menuju tujuan yang sama (bukan dimonopoli oleh cara tertentu) akan kembali dan tumbuh subur, tak hanya di Nusantara, namun juga di seluruh belahan dunia. Saya melihat kesadaran itu tengah bermekaran. Semoga. Rahayu.