Menjelang Gita Jayanti tahun ini, saya membuka-buka kembali terjemahan Bhagavad Gita oleh Amir Hamzah yang ditulisnya lebih dari 83 tahun yang lalu secara berseri di dalam ‘Pujangga Baru’. Saya menyukai gaya bahasanya yang terasa klasik untuk masa kini. Walaupun Amir Hamzah tidak menerjemahkan Gita langsung dari bahasa aslinya, Sanskerta, namun dari bahasa Belanda, jejak-jejak maknanya masih cukup jelas.
Sebelumnya saya sudah menuliskan beberapa poin penting mengenai percakapan pertama dan kedua di dalam tiga utas yang saya buat di akun Twitter. Saya memutuskan untuk pindah ke blog karena di sini saya bisa lebih leluasa menuangkan pemikiran, tidak dibatasi oleh jumlah karakter dan masalah teknis lain akibat utas yang terlalu panjang.
Ringkasan Percakapan Satu dan Dua
Percakapan pertama Gita membahas tentang akar terjadinya Bharata-yuddha, yaitu keterikatan dan keakuan tokoh-tokohnya, yaitu Dhritarashtra dan putaranya, Duryodhana. Mereka mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan menghalalkan segala cara, meskipun sudah dinasihati bahwa ada orang lain yang lebih layak memimpin. Duryodhana menganggap takhta Hastinapura adalah haknya. Tawaran perdamaian yang digagas Krishna ditolak, sehingga kini mereka berhadap-hadapan di Kurukshetra.
Sesaat sebelum berperang, Arjuna—yang biasanya bersemangat dan percaya diri—kehilangan keperkasaannya. Di hadapannya berdiri orang-orang yang membentuk “diri”-nya selama ini: kakek, paman, guru, saudara-saudara, dan raja-raja lain yang sebelumnya begitu dekat dan dihormatinya. Membunuh mereka berarti membunuh sebagian “diri”-nya. Busur di genggamannya pun terjatuh, dan Arjuna terduduk lemas.
Menyaksikan hal itu Krishna mencoba mengangkat semangat Arjuna dan mengingatkannya tentang Yoga. Di sini Yoga bukanlah pose-pose instagramable yang kini banyak menjamur di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di dunia. Yoga adalah sesuatu yang membuat kita utuh, tidak tercerai-berai karena berbagai keinginan, ketakutan, dan sebagainya. Bagaimana caranya? Krishna dengan sabar menjelaskan berbagai jalan Yoga kepada Arjuna.
Bhagavad Gita merangkum pokok-pokok ajaran Yoga, sehingga ia dianggap sebagai saripati Veda. Veda diibaratkan sebagai sapi-sapi betina yang sehat sedangkan Gita adalah susu penuh gizi yang dihasilkannya. Ajaran di dalam Gita tidak dogmatis dan bersifat universal. Tidak mengherankan jika Gita, yang ‘hanya’ terdiri dari 700 ayat, menjadi kitab suci Hindu yang paling populer dan telah diterjemahkan serta ditafsirkan oleh sekian banyak pemikir dari berbagai latar belakang, tidak hanya orang Hindu saja.
Percakapan kedua menjelaskan jalan Sankhya, yaitu jalan Yoga melalui telaah logis. Di sini Krishna mengajak Arjuna untuk melihat kenyataan: Apa yang membuatnya gentar? Mengapa itu bisa terjadi? Siapa atau apa yang sesungguhnya sedang gentar itu? Apakah kegelisahannya itu adalah “diri”-nya yang sejati? Siapa penguasa: kegelisahannya atau “diri”-nya? Di sini Krishna mengupas lapis demi lapis kesadaran, mengurai proses psikologis yang menyebabkan seseorang berduka atau mengalami suka, dan kemudian meminta Arjuna melampaui keduanya itu. Dengan begitu budinya berkembang dan pandangannya menjadi lebih jernih sehingga ia bisa melakoni perannya dengan penuh kesadaran—tidak terombang-ambing oleh “angin” di dalam dirinya (keinginan, harapan akan hasil) dan dari luar dirinya—dan kemandirian.
Salah satu bagian yang cukup menarik di dalam percakapan kedua adalah kritik Krishna terhadap orang-orang yang hanya mau bekerja jika mendapat pahala—baik di dunia ini maupun nanti di surga. Mereka ini mengatakan bahwa kitab-kitab suci adalah segala-galanya. Sikap ini membuat mereka menjadi fundamentalis, kaku, dan pandangannya sempit. Krishna bahkan menggunakan kata-kata yang cukup keras bagi mereka. Krishna menginginkan setiap individu untuk mandiri, oleh karena itu ia menginginkan agar setiap orang mengembangkan buddhi atau budinya masing-masing. Krishna tidak mau menyalahkan obyek/benda di luar atau makhluk gaib yang kerjanya menggoda manusia. Ia melihat manusia sebagai akar masalah sekaligus solusinya.
Karma Yoga
Percakapan ketiga dibuka dengan pertanyaan Arjuna: mana yang lebih baik budi atau kerja (karma)? Perang akan segera dimulai sebentar lagi, tidak ada waktu untuk melakukan penelaahan logis. Arjuna harus mengangkat senjata, siap atau tidak siap. Pengembangan budi memang memerlukan proses yang tidak sekejap, padahal Arjuna membutuhkan solusi praktis dalam waktu singkat. Arjuna adalah kita, yang kerap harus menghadapi tantangan di depan mata dan tidak punya banyak waktu untuk berpikir.
Jalan Sankhya, menurut saya, adalah solusi jangka panjang dan memberi hasil lebih permanen sehingga tetap harus dilakukan. Sankhya mengupas lapis demi lapis kesadaran “palsu”—bahwa kita adalah badan yang berubah-ubah ini, atau pikiran dan perasaan, atau identitas-identitas lain yang kita kumpulkan sepanjang hidup, seperti agama/kepercayaan, ideologi, kecenderungan politik, dan sebagainya—sehingga pada saatnya kita bisa sampai ke “inti diri”, yaitu Jiwa yang sesungguhnya tiada berbeda dengan Shiva. Untuk sampai ke sana, kita harus “melawan” maya yang telah membungkus “diri” kita selama perjalanan semesta raya, selama milyaran tahun. Ini bukan perkara mudah.
Kembali ke bumi. Krishna menyadari bahwa manusia memang tidak pernah lepas dari kerja. Tubuh manusia tidak bisa dirawat tanpa kerja—makanan diperoleh lewat upaya, rumah, hubungan dengan sesama, semuanya perlu kerja agar lestari. Krishna memberikan solusi: Kerjakanlah tugasmu sebagai persembahan.
Sebelum dilanjutkan, saya merasa perlu memabahas sedikit tentang persembahan atau ibadah. Saat ini pemahaman kita di Indonesia, bahkan di kalangan umat Hindu sendiri, tentang ibadah sangat dipengaruhi cara pandang rumpun agama-agama Samawi. Umat Islam dan Kristen pergi ke masjid dan gereja untuk melakukan ritual tertentu yang terstruktur. Tradisi Hindu sebenarnya agak berbeda, dan apa yang dilakukan oleh umat Hindu di Nusantara saat ini sudah agak bergeser dari tradisi asalnya karena interaksinya dengan agama-agama lain.

Jika umat lain memiliki rumah ibadah, maka di masa lalu Hindu memiliki kuil atau candi yang merupakan devalaya tempat ber-sthana-nya Deva atau Devi tertentu. Coba perhatikan candi-candi kuno seperti Prambanan, Borobudur, Sukuh, dan sebagainya. Setiap Deva/Devi berada di titik pusat kuil atau candi yang kemudian mengejawantah keluar membentuk bagian-bagian lain yang membuat orang yang mengunjungi kuil atau candi tersebut selangkah demi selangkah masuk ke dalam dirinya sendiri untuk bertemu langsung dengan Sang Deva/Devi. Setiap kuil dan candi memiliki, for the lack of better words, corak energi yang khas yang dibuat dengan sengaja lewat arsitektur dan berbagai ritual yang dilaksanakan di sana, demi membantu mempercepat perjalanan spiritual para pengunjungnya. Tidak ada dua kuil atau candi yang sama baik secara fisik maupun energetik. Kuil dan candi diperlakukan sebagai entitas tersendiri. Tidak demikian halnya dengan rumah ibadah yang lebih generalis, netral.
Umat Hindu yang datang ke pura, kuil, dan candi membawa persembahan atau sesajen (walaupun kini kata ini punya makna yang negatif karena dikaitkan dengan klenik) bagi Deva/Devi. Persembahan ini biasanya terdiri dari bunga-bungaan, dedaunan, dupa atau wangi-wangian, juga buah-buahan atau kue, bisa juga benda lain atau uang. Persembahan ini digunakan untuk mempercantik Deva/Devi atau dibawa pulang kembali sebagai ayapan yang kemudian dimakan bersama-sama. Persembahan tersebut diberikan sebagai wujud cinta-bakti tanpa keterikatan.
Ada pula persembahan yang diberikan ke dalam api suci, berupa biji-bijian dan minyak ghee, disertai dengan mantra-mantra. Upacara atau yajna ini disebut Agni Hotra atau Homa. Setiap kali memasukkan persembahan, peserta mengucapkan idam na mama, “ini bukanlah dari/milik-ku” sebagai isyarat pelepasan ego, sebagaimana Sang Pencipta mempersembahkan dirinya pada awal mula sehingga lahirlah segala sesuatu di alam raya. Persembahan seperti inilah yang dimaksud oleh Krishna.
Krishna mengatakan bahwa Sang Pencipta, Prajapati atau Brahma (berbeda dengan Brahman) menciptakan manusia dengan semangat persembahan/pengorbanan melalui yajna. Prajapati kemudian bersabda kepada manusia:
“Berkembanglah dengan cara yang sama (dengan yajna itu) dan raihlah segala kenikmatan yang kau dambakan, seperti Kamadhuk yaitu sapi yang memenuhi keinginanmu. Dengan yajna pula rawatlah para Deva, dan semoga para Deva merawatmu. Dengan saling merawat, kalian akan memperoleh kebahagiaan tertinggi. Para Deva akan memberi apa-apa yang kalian inginkan. Ia yang menikmati hasil pemberian, namun tidak berbuat yang sama adalah seorang pencuri.”
Proses ini diangkat dan dikembangkan dari Purusha Sukta yang terdapat di dalam Rigveda 10 Sukta ke-90.
Krishna meminta Arjuna bertindak selfless, bebas dari keterikatan, dan menghaturkan segala yang dikerjakannya sebagai persembahan. Meskipun jika seseorang telah menyadari hakikat dirinya (sebagai Jiwa) sehingga sebenarnya tidak ada lagi yang perlu dikerjakannya, namun—Krishna mencontohkan dirinya dan Raja Janaka—ia harus terus berkarya demi kemaslahatan semua. Bagi Arjuna, kita semua, yang belum mencapai kesadaran itu, Krishna menganjurkan untuk mempersembahkan pekerjaan/karya kita untuk Deva/Devi/Tuhan atau Kebenaran/Keadilan/Kemuliaan/Dharma dan sebagainya. Semua itu adalah “alat” yang bisa kita pakai untuk memfokuskan pandangan.
Krishna berkata:
“Serahkanlah segala kerja pada-Ku, tujukan pikiranmu pada Adhyatma (zat daripada sendiri; Atma) maka berperanglah, bebas dari harap dan loba, sesudahnya lenyap segala percintaanmu.” (Terjemahan Amir Hamzah, hal. 25).

Jangan biarkan hawa nafsu yang menciptakan kesukaan dan kebencian (raga dan dvesha) memengaruhi pandangan kita sehingga menghambat kita mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan atau malah kita mengerjakan pekerjaan orang lain.
“Terlebih baik kewajiban sendiri, walaupun tiada sempurna, daripada kewajiban orang lain, sungguhpun sempurna; terlebih baik mati dalam (memenuhi) kewajiban sendiri, kewajiban orang lain penuh dengan mara-bahaya.” (hal. 25).
Kecenderungan nafsu (rajo-guna) adalah melahirkan kama (keinginan) dan krodha (amarah). “Keduanya ini adalah musuh yang harus ditaklukkan!” Keduanya ini memadamkan hikmat dan pengetahuan sejati. Kelima indra kita lebih berkuasa daripada badan, pikiran lebih berkuasa daripada indra, namun budi lebih tinggi daripada pikiran. Dan yang lebih tinggi lagi daripada budi adalah Sang Jiwa. Oleh karena itu, Krishna kembali lagi menekankan bahwa, cara menaklukkan hawa nafsu adalah dengan menyadari hakikat diri sebagai Jiwa yang suci dari segala keterikatan.
Selama kita masih belum bisa menundukkan kama dan krodha maka hidup kita terombang-ambingkan—tertiup ke sana ke mari. Keduanya tidak bisa ditaklukkan jika budi belum berkembang. Untuk mengembangkan budi dibutuhkan upaya yang intensif dan terus menerus lewat disiplin Yoga—tidak bisa instan. Inti Bhagavad Gita sebenarnya satu, namun terus berkembang karena manusia memiliki berbagai kecenderungan dan tingkat kesadaran sehingga Yoga menjadi sekian banyak jalan. Bekerja tanpa pamrih, dengan menyerahkannya sebagai persembahan kepada Hyang Agung adalah salah satu cara yang praktis buat manusia modern yang lebih banyak waktu untuk bekerja daripada hal-hal lain.