Kita sudah membahas tentang ātman dalam tulisan sebelumnya yang dikaitkan dengan tujuan beragama (Hindu), yaitu “ātmano mokṣārthaṃ jagadhitāya ca”. Dalam tulisan ini kita akan mengulas apa yang dimaksud dengan mokṣa dan kaitannya dengan ātman. Banyak umat Hindu sendiri yang kurang memahami konsep mokṣa, sehingga membuatnya terasa begitu jauh, mistis ,dan tidak membumi; padahal ini adalah tujuan umat Hindu.
Oh iya, sebelum melangkah lebih jauh saya ingin meluruskan makna “ātmano mokṣārthaṃ jagadhitāya ca” yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “mencapai kebahagiaan/ketentraman lahir dan batin”. Di sini, ‘lahir’ dikaitkan dengan jagadhita, sedangkan ‘batin’ dihubungkan dengan mokṣa. Pemaknaan yang demikian ini sangat tidak tepat dan menyempitkan makna frasa tersebut.
Seperti yang saya bahas sebelumnya, keduanya—lahir dan batin—adalah lapisan-lapisan yang membungkus ātman atau diri kita yang sejati. Membahagiakan fisik (lahir) dan pikiran-perasaan (batin) bukanlah tujuan beragama. Itu bisa dilakukan di luar agama. Kalaupun batin dikaitkan dengan sesuatu yang gaib, tidak kelihatan, yang hakiki (sesuai definisi KBBI), bisakah yang batin itu dibahagiakan/ditentramkan lagi? Menurut para resi, menyadari yang hakiki (sejati) itu lah sumber kebahagiaan itu sendiri.
Lalu, apa yang dimaksud dengan mokṣa? Mokṣa berasal dari akar kata ‘muc’ yang memiliki dua makna: pramocana (membebaskan) dan modana (membahagiakan, melegakan). Mokṣa bisa dimaknai sebagai kebebasan, kemerdekaan, atau pelepasan yang membawa rasa lega, ringan, bahagia karena yang hal-hal yang tadinya memenjara, menyelubungi, atau menghalanginya sudah tidak ada lagi. Di dalam teks-teks Veda yang paling tua mokṣa disebut dengan istilah lain, seperti amṛta (keabadian).

Mokṣa juga adalah satu dari catur puruṣa-artha atau empat hal yang harus diperoleh seseorang agar hidupnya bahagia, yaitu: 1) dharma atau moral, etika; 2) artha atau harta benda; 3) kāma yaitu kepuasan ragawi dan psikologis; serta yang terakhir adalah 4) mokṣa. Keempat hal ini diibaratkan sebagai empat fondasi pokok kehidupan manusia Hindu. Kita akan membahas tentang ini lebih jauh dalam tulisan-tulisan yang lain.
Kebebasan ātman ini sering dianggap sebagai tanggalnya selubung badan fisik yang dicapai melalui tapa dan semedi selama sekian lama. Belum tentu seseorang yang meninggal ātman-nya sudah terbebaskan dari māyā atau kepalsuan. Di sisi lain, mereka yang masih berbadan belum tentu belum mencapai mokṣa. Veda menyebut orang-orang yang telah mokṣa, bebas, merdeka selagi hidup sebagai jīvan-mukta, dan sebagainya. Ini adalah pengalaman tertinggi, dan bukan diperoleh melalui olah intelektual semata.
Ada dua śloka Bhagavad Gita yang cukup menarik terkait dengan seorang jīvan-mukta:
yas tv ātma-ratir eva syād ātma-tṛptaś ca mānavaḥ, ātmany eva ca saṃtuṣṭas tasya kāryaṃ na vidyate. —3.17.
naiva tasya kṛtenārtho nākṛteneha kaś-cana, na cāsya sarva-bhūteṣu kaś-cid artha-vyapāśrayaḥ. —3.18.
Artinya lebih kurang sebagai berikut: Ia yang bahagia dengan dirinya sendiri (ātma-rati), ia yang puas dirinya sendiri (ātma-tṛpta), sentosa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikerjakan lagi. Baginya, tidak ada lagi keuntungan yang ia dapat dari bekerja maupun tidak bekerja. Ia tidak perlu bergantung pada apapun dan siapapun karena ia sudah tidak lagi memiliki kepentingan pribadi.
Jangan disalahtafsirkan bahwa mereka yang tidak bekerja, berkarya, yang malas-malasan sebagai orang yang sudah mencapai mokṣa. Mereka ini sebenarnya masih terjerat dalam tamas—salah satu sifat alami yang membelenggu manusia—yaitu sifat malas. Oleh karena itu, Sri Krishna cepat-cepat menambahkan bahwa ia pun sudah tidak perlu berada di dunia, namun ia menyadari bahwa apabila ia tidak terlibat maka ia membiarkan kehancuran dan degradasi yang sedang terjadi (3.23–24).
Bagaimana dengan kita yang belum mencapai mokṣa? Sri Krishna menjelaskan:
tasmād asaktaḥ satataṃ kāryaṃ karma samācara, asakto hy ācaran karma param āpnoti pūruṣaḥ. —3.19
(Bagi mereka yang belum mencapainya) jalankanlah kewajibanmu dengan sebaik-baiknya dan tanpa keterikatan (pada hasilnya). Dengan berbuat demikian, kau akan mencapai kemuliaan (param).
Dalam pengertian yang luas, mokṣa berarti kebebasan dari ketakutan, kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan berkarya dalam batas-batas nilai kemanusiaan yang luhur. Seseorang dikatakan benar-benar bebas apabila ia tidak hanya merdeka dari pengaruh-pengaruh dari luar, namun juga tidak menjadi budak dari nafsu-nafsu hewani dan kepicikan diri. Mereka yang menuntut kebebasan luaran, namun masih dalam kendali kepentingan ego yang sempit belum bisa dikatakan mokṣa.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa mokṣa juga tidak ada sangkut pautnya dengan surga, seperti yang sering terdengar. Surga dan keadaan di dalamnya, dalam pandangan Veda, masih merupakan kelanjutan dari nafsu-nafsu kita di dunia. Di dalam surga kita masih terjerat dalam belenggu māyā, walaupun segalanya terasa enak dan nyaman. Mokṣa menjadi tujuan beragama karena ia memberikan kebahagaiaan yang sejati (yang berasal dari diri sendiri). Kondisi ini disebut oleh Sri Krishna sebagai brahma-nirvāṇa.
Nirvāṇa juga sering disalahartikan sebagai surga oleh masyarakat yang sebenarnya masih terobsesi dengan keinginan-keinginan duniawi. Dalam bahasa Sanskerta nirvāṇa berarti padam, lenyapnya segala gangguan yang menyebabkan kita terombang-ambing oleh suka maupun duka kehidupan. Mereka yang sudah mencapai mokṣa atau nirvāṇa ini—seperti yang dijelaskan Sri Krishna di atas—sudah tidak lagi perlu lahir kembali ke dunia ini. Mereka telah menyatu dengan keberadaan.
Namun, kalaupun ia memutuskan untuk kembali lagi, biasanya mereka mengemban misi untuk membantu meningkatkan kesadaran warga bumi dan untuk melindungi Dharma. Mereka inilah yang dikenal sebagai avatāra (berasal dari ava- + √tṝ yang berarti “menyebrang” untuk turun kembali ke bumi atau menurunkan kesadarannya untuk bisa mengambil badan manusia). Kelahiran para avatāra ini adalah perayaan bagi para bijak yang sedang berupaya mencapai mokṣa.

vāyur anilam amṛtam athedaṁ bhasmāntaṁ śarīram. —Yajurveda 40.15.
Semoga daya hidup di dalam diriku menyatu dengan Nafas Abadi, seperti tubuh fisikku ini berakhir sebagai abu.
kāmānyaḥ kāmayate manyamānaḥ sa kāmabhirjāyate tatra tatra, paryāptakāmasya kṛtātmanasvihaiva sarve pravilīyanti kāmāḥ. —Mundaka Upanishad 3.2.2.
Ia yang memikirkan terus-menerus dan menginginkan benda-benda duniawi akan lahir lagi dan lagi di sini. Namun mereka yang keinginan-keinginannya sudah tuntas dan sadar (akan kesatuan ātman dan Brahman), nafsunya pupus saat ini juga.
yathā nadyaḥ syandamānāḥ samudre’staṃ gacchanti nāmarūpe vihāya, tathā vidvānnāmarūpādvimuktaḥ parātparaṃ puruṣamupaiti divyam. —Mundaka Upanishad 3.2.8.
Sebagaimana sungai yang menyatu dengan lautan, hilang sudah nama dan wujud-nya, demikian pula ia yang mengetahui (akan kesatuan ātman dan Brahman) terbebas dari nama dan wujud, mencapai Puruṣa yang melampaui alam benda ini.
3 responses to “Sanatana Dharma 03: Tujuan Beragama (bagian-2)”
[…] sisi lain mokṣa yang kita bahas dalam tulisan sebelumnya, yaitu jagadhita. Kata ini terdiri dari dua elemen: jagat dan hita. Elemen kata yang pertama […]
LikeLike
[…] mengalihkan perhatiannya dari tujuan beragama, yaitu meraih kebebasan dari keterikatan dan ego (moksha) serta mencapai kebahagaiaan, kesejahteraan, kedamaian bukan hanya bagi dirinya, namun juga […]
LikeLike
[…] dan merupakan siklus. Ajaran-ajaran Dharma juga tidak bergantung pada “sejarah”. Moksha dan Jagadhita bisa dicapai terlepas dari apakah si A lahir di suatu masa dan ia menerima perintah […]
LikeLike