Pembahasan soal agama hampir selalu dimulai dari Tuhan atau teologi. Siapa nama-Nya? Apakah agama tersebut monoteis, politeis, atau yang lain? Kadang pembahasannya juga menyentuh sifat-sifat Tuhan tersebut, dan “pembuktian” bahwa Tuhan itu ada, serta mengapa Tuhan ini adalah yang paling benar (dan yang lain tidak). Kemudian segala sesuatu yang lain berkembang dari sana. Tapi tidak kali ini.
Pembicaraan mengenai Tuhan dan teologi “secanggih” apapun—jika kita jujur—adalah asumsi-asumsi yang kita terima dari luar (lewat orang lain atau kita baca dari buku-buku yang dianggap suci). Kalaupun ada “pembuktian-pembuktian” yang disertakan, tak lebih dari pembenaran saja. Inilah yang disebut iman. Saya tidak akan memulai pembahasan tentang Hindu dengan cara ini karena menurut saya bukan cara yang tepat.
Hindu memandang agama, filsafat, teologi, dan sebagainya sebagai jalan-jalan yang ditempuh seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Jadi semua itu bukanlah tujuan, oleh karenanya pustaka-pustaka suci Hindu dipenuhi dengan dialog, percakapan, serta pembahasan yang sangat beragam, yang merangkum berbagai cara pandang dan tingkat kesadaran manusia. Hal ini juga membuat Hindu sangat terbuka pada penyegaran dan perkembangan zaman.
Inilah mengapa Hindu disebut sebagai Sanātana Dharma. Dalam bahasa Sanskerta sanātana berarti berarti sesuatu yang sangat tua, kuno, namun masih terus bertahan hingga sekarang. Rahasia umur panjangnya adalah kemampuan untuk selalu disegarkan dari waktu ke waktu sehingga selalu baru, bersifat kekinian (nūtana, Skt). Pustaka-pustaka Veda mulai dikumpulkan dan dikelompokkan sekitar 5.000 tahun yang lalu dan hingga sekarang masih menjadi sumber inspirasi.
Menurut saya cara terbaik mengenal Hindu adalah memulai dari akhir, mulai dari tujuan yang ingin dicapai oleh mereka yang menapaki jalan Dharma. Swami Vivekananda (1963–1902) mempopulerkan frasa apik untuk menjelaskan tujuan tersebut: ātmano-mokṣārthaṃ jagadhitāya ca. Artinya, tujuan beragama adalah untuk mencapai kebebasan (mokṣa) diri (ātman) dan demi kebaikan (hita) seluruh alam (jagat). Kedua tujuan itu sesungguhnya tunggal.

Kalau diperhatikan, tujuan di atas bukanlah sesuatu yang jauh, seperti misalnya ‘mencapai surga’, atau ‘diselamatkan dari api neraka’. Tapi tujuan tersebut bisa dicapai di sini, di dalam kehidupan kita saat ini, tidak perlu menunggu sampai setelah kita mati. Hal ini bukan berarti bahwa surga dan neraka adalah sesuatu yang asing bagi orang Hindu. Sebaliknya. Istilah surga berasal dari kata Sanskerta swarga, sedangkan neraka berasal dari naraka.
Surga dipandang Hindu sebagai tempat sementara, di mana sang jiwa menikmati buah perbuatan-perbuatan baiknya selama hidup. Sebaliknya, di neraka ia menuai hasil perbuatan-perbuatan buruknya. Keduanya adalah kondisi sementara dan tidak abadi. Setelah habis “masa tinggalnya” maka jiwa tersebut lahir kembali ke dunia. Bahkan di dalam Sara-Samuccaya—yang sering dianggap kitab sucinya umat Hindu di Nusantara—mengatakan bahwa surga dan neraka adalah keadaan batin seseorang:
indriyāṇyeva tat sarvam tat svarga-narakāvubhau, nigṛhītani sṛṣṭāni svargāya narakāya ca. —Sara-Samuccaya 77
Surga dan neraka adalah hasil indra kita sendiri. Indra yang terkendali adalah surga. Jika lepas kendali, itulah neraka.
Kembali kepada “ātmano-mokṣārthaṃ jagadhitāya ca“. Untuk memahami maknanya secara lebih dalam kita perlu mengupas kata-katanya. Oh iya, mau tidak mau kita harus mulai membiasakan diri dengan istilah-istilah Sanskerta, bahasa yang digunakan dalam pustaka Veda. Dalam tulisan kali ini saya akan membahas ātman. Konsep ātman sangat penting dan bahkan menjadi fondasi dari keseluruhan ajaran Hindu yang akan kita bahas dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
Dalam kamus bahasa Sanskerta ātman memiliki padanan makna: diri, jiwa (bukan dalam pengertian psikologi), penyebab hidup dalam diri seseorang. “Siapa ‘diri’ kita?” adalah pertanyaan yang universal. Apakah kita adalah tubuh, badan ini? Atau apakah kita adalah identitas yang kita pelajari dari lingkungan (nama, keturunan, suku, agama, ras, kelompok)? Atau kita adalah timbunan memori dan pengetahuan yang kita kumpulkan sejak lahir hingga sekarang?

Ada sekian banyak hal yang bisa kita ‘cantolkan’ pada diri kita. Namun pertanyaannya, apakah hal-hal tersebut sifatnya sejati, atau malah artifisial dan bisa berubah-ubah. Kita tahu dari pelajaran biologi bahwa sel-sel di tubuh kita mati dan digantikan dengan materi-materi “baru” secara rutin. Bandingkan foto kita ketika kecil dan sekarang; pasti berbeda, kan! Pikiran dan perasaan kita juga tidak konstan, berubah-ubah terus. Apa yang kita sukai dulu, sekarang mungkin tidak lagi sama.
Hindu mengenal lima lapisan, selubung, sarung (kośa, Skt) tubuh atau kesadaran manusia, yang disebut pañca māyākośa. Kelima kośa ini dikatakan menyelubungi ātman sehingga membuatnya salah menganggap dirinya sebagai lapisan-lapisan ini. Ia menganggap yang māyā ini “nyata”, padahal selalu mengalami perubahan. Pengertian nyata di sini bukan dalam pengertian fisika, namun dari sudut pandang spiritual.
Kelima lapisan tersebut dari yang paling kasar ke yang paling halus adalah: 1) tubuh fisik yang disebut anna-māyākośa atau lapisan yang dibentuk dari apa yang kita konsumsi (anna, Skt); 2) lapisan energi atau prāṇa-māyākośa; 3) lapisan mental-emosional atau mano-māyākośa; 4) lapisan inteligensia yang disebut vijñāna-māyākośa; dan lapisan paling dalam adalah 5) lapisan kebahagiaan atau spiritual yang disebut ānanda-māyākośa. Taittiriya Upanishad (bagian dari Krishna Yajurveda) adalah salah satu teks tertua dalam tradisi Hindu yang membahas hal ini.
Kebanyakan orang mengasosiasikan diri dengan lapisan pertama, yaitu tubuh fisik. Ada pula yang lebih menganggap aspek mental-emosional (termasuk memori, kesukaan-dan-ketidaksukaan) sama dengan diri. Asosiasi yang ‘salah’ seperti ini—menurut Veda—menimbulkan penderitaan (duḥkha, Skt), misalnya ketakutan kita akan kerut-kerut yang mulai muncul di wajah atau uban di kepala, perpisahan dengan orang-orang yang kita sayangi (yang cepat atau lambat pasti terjadi), berbagai penyakit akibat gaya hidup yang salah, dan sebagainya.
Sebaliknya, kebahagiaan (sukha, Skt) terjadi apabila semua lapisan-lapisan tersebut terkendali dengan baik. Untuk itu kita perlu tuan yang berada di atas itu semua, yang menyebabkan semua lapisan tadi bisa berfungsi. Tuan itulah yang disebut oleh para resi sebagai ātman. Menerjemahkan ātman sebagai diri (self, Ing) sebenarnya tidak terlalu tepat karena ketika kita menyebut diri, masih melekat berbagai identitas luaran yang semuanya terkait dengan kelima kośa.
Ātman tidak memiliki kepribadian, watak, atau sifat-sifat yang kerap kita tempelkan pada diri kita. Alih-alih, para resi menemukan bahwa ātman-ku dan ātman-mu tidak berbeda. Lebih jauh mereka menyimpulkan bahwa “ātman-ātman” ini adalah bagian dari sesuatu yang satu. Kesatuan pada tingkatan paling dasar segala sesuatu di jagat raya ini disebut Hyang Tunggal, Brahman, dan lain sebagainya. Rigveda—kitab tertua umat manusia—menganalogikan Hyang Tunggal dan ātman seperti matahari dan sinar-sinarnya:
sūrya ātmā jagatas-tasthuṣaś-ca. —Rigveda 1.115.1.
Sūrya adalah ātman dari segala sesuatu di alam raya ini, baik yang bergerak dan yang diam.
Sri Krishna dalam Bhagavad Gita juga mengingatkan Arjuna:
avināśi tu tad viddhi yena sarvam idaṃ tatam, vināśam avyayasyāsya na kaś-cit kartum arhati. —Bhagavad Gita 2.17.
Ketahuilah bahwa yang melingkupi seluruhnya ini (Brahman dan ātman) adalah tak termusnahkan. Tidak ada seseorang/sesuatu pun yang bisa menghancurkan-Nya.
antavanta ime dehā nityasyoktāḥ śarīriṇaḥ, anāśino ‘prameyasya tasmād yudhyasva bhārata. —Bhagavad Gita 2.18.
Ia yang kekal abadi, tak termusnahkan, tak bisa diukur, menghuni badan-badan yang cepat atau lambat akan berakhir ini. Oleh karena itu, bertarunglah Arjuna!

Mencapai kesadaran ātman seperti di atas adalah inti agama Hindu. Hal ini tidak mudah! Berkali-kali, karena terseret oleh berbagai kenikmatan indrawi dan kesibukan pikiran, kesadaran kita ditarik pada lapisan-lapisan yang lebih rendah. Oleh karena itu, untuk mencapainya Hindu mengembangkan berbagai macam hal, seperti yoga, berbagai ritual, ayurveda, jyotisha, dan sebagainya untuk memantu manusia menyadari hakikat dirinya yang sejati.
Hanya dengan hidup dalam kesadaran ātman yang demikian manusia bisa mencapai kebahagiaan yang lebih berarti dan menjadi berkah bagi seluruh alam raya ini. Ada satu mantra yang sering dipakai sebagai penutup: samasthā lokā sukhino bhavantu; artinya: “semoga makhluk di semua alam berbahagia”. Ini bukan hanya sekadar doa, tapi sekaligus pesan agar kita berperan aktif dalam mewujudkan kebahagiaan di dunia.
Oṁ śāntiḥ śāntiḥ śāntiḥ!
2 responses to “Sanatana Dharma 02: Tujuan Beragama (bagian-1)”
[…] sudah membahas tentang ātman dalam tulisan sebelumnya yang dikaitkan dengan tujuan beragama (Hindu), yaitu “ātmano mokṣārthaṃ jagadhitāya […]
LikeLike
[…] pembenaran atas suatu dogma dan doktrin semacam ini karena hanya akan mengalihkan perhatiannya dari tujuan beragama, yaitu meraih kebebasan dari keterikatan dan ego (moksha) serta mencapai kebahagaiaan, […]
LikeLike