Sanatana Dharma 01: Agama Misi?

Hindu telah menjadi identitas yang otomatis tersemat selama bertahun-tahun sehingga saya merasa tidak perlu memahaminya secara komprehensif. Semuanya dijalani dan dinikmati begitu saja. Sampai pada suatu hari saya bertemu dengan orang-orang yang menyatakan “ingin menjadi Hindu” dan meminta ditunjukkan tahapan-tahapan mempelajarinya. Jujur saja ketika itu saya bingung mulai dari mana.

Kebingungan saya itu berakar dari beberapa hal. Saya bisa saja memberikan mereka buku pelajaran agama Hindu yang dipakai di sekolah-sekolah, tapi saya merasa isinya penuh hapalan yang kering. Padahal saya tahu bahwa di luar itu, ajaran Hindu begitu kaya dan luas. Misalnya, kitab suci Hindu tidak hanya terdiri dari satu atau beberapa buku saja, namun jika dikumpulkan bisa mengisi satu perpustakaan.

Belum lagi ilmu pengetahuan dan tradisi yang lahir dari situ, juga lapisan-lapisan makna yang terjalin di dalamnya, membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk memahami keseluruhannya. Buku-buku pelajaran agama tadi sayangnya tidak cukup dan bahkan akan memberikan kesan yang salah tentang Hindu sebagai agama yang dogmatis, seperti agama-agama lainnya yang mengedepankan iman.

Di sisi lain, kebingungan saya itu mungkin muncul karena dari dalam umat Hindu sendiri memang tidak pernah ada dorongan untuk meng-hindu-kan umat lain. Upaya mengkonversi agama untuk menambah jumlah umat adalah konsep yang aneh, bahkan ada yang memandangnya tidak spiritual dan berbahaya karena merupakan permainan ego. Alih-alih, Hindu mengajarkan umatnya untuk mengikis ego dan fokus pada pemberdayaan diri.

kadis-bali-hari-galungan-itu-lebaran-umat-hindu-w2jQKoOcjS
Umat hindu bersembahyang pada saat hari raya Galungan. (Sumber: Wonderfulbali).

Berbeda dengan agama lainnya, terutama agama-agama monoteis, Hindu berdiri di atas pluralisme yaitu pandangan yang melihat adanya beragam cara untuk mencapai tujuan: Hyang Tunggal. Sebaliknya, agama-agama monoteis secara tegas menyatakan bahwa hanya ada satu jalan yang benar, dan yang lain salah; keselamatan hanya bisa dicapai dengan mengimani sesuatu dan bukan yang lain. Menurut saya inilah akar fanatisme beragama yang merupakan akar konflik.

Mahatma Gandhi—seorang tokoh Hindu ternama dunia—bahkan pernah bilang bahwa konversi agama adalah “an error which is perhaps the greatest impediment to the world’s progress toward peace.” Kedamaian (śānti, Skt), baik di dalam maupun di luar diri, adalah sesuatu yang dijunjung tinggi di dalam ajaran Hindu. Konversi menciptakan tensi, ketegangan antarumat beragama dan kegelisahan di dalam diri yang sesungguhnya tidak perlu.

Konversi agama berdiri di atas asumsi superioritas. “Saya paling benar dan yang lain salah!” Seorang pengkonversi akan menghalalkan segala macam cara, mencari-cari pembenaran sekaligus kesalahan orang lain yang bisa dipakainya demi menghujamkan tombak argumentasi yang bisa membuat ‘lawannya’ takluk. Akibatnya, kebenaran bisa dikorbankan demi ego dan perjalanan ke dalam diri pun terabaikan.

Tapi bukan berarti umat Hindu hanya boleh bermain bertahan (defensif) menghadapi serangan mereka ini. Umat Hindu sebenarnya juga diberi peran sebagai Dharma-dūta untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran luhurnya, Dharma, kepada orang lain. Hal ini bukan untuk bersaing menjadi yang paling banyak, tapi karena nilai-nilai Dharma bersifat universal dan membawa kebaikan bagi seluruh alam.

Veda—pustaka suci Hindu—menyatakan:

yathemāṃ vācaṃ kalyāṇīmāvadāni janebhyaḥ, brahmarājānyābhyām śūdrāya cāryāya ca svāya cāraṇāya ca. —Yajurveda 26.2.a-b.

Artinya lebih kurang: Semoga aku mampu menyampaikan ajaran-ajaran luhur ini kepada semua orang, kepada brahmana (pendidik, ilmuwan), kepada mereka yang terlibat dalam pengaturan masyarakat (pemerintah, pembuat kebijakan), kepada para pekerja dan pelaku ekonomi (petani, nelayan, pedagang, dsb.), juga kepada kerabat dan kawan sendiri dan kepada orang-orang lain.

Sekali lagi, pesan di atas bukanlah pesan konversi yang sifatnya superfisial. Mantra di atas pertama-tama memberikan kepercayaan diri bahwa ajaran Hindu mengandung kebaikan, kemuliaan (kalyāṇa, Skt) yang berguna bagi semua manusia—terlepas apa pun agamanya—demikian pula makhluk lainnya. Dan karenanya, perlu disebarluaskan.

BqJqZ
Umat hindu berkumpul saat Kumbh Mela di India. Umat hindu memiliki ritual dan tradisi yang berbeda-beda, namun berasal dari satu Dharma. (Sumber: dandapani.org).

Inilah ciri khas Hindu. Ketika yang lain mengedepankan eksklusifitas dan superioritas agamanya masing-masing, Hindu malah menonjolkan keuniversalan dan infklusifitasnya. Hindu tidak membagi umat manusia menjadi dua kubu, yaitu yang selamat dan yang dilaknat, hanya berdasarkan pada apa yang dipercayainya. Alih-alih menitikberatkan pada kepatuhan pada hukum-hukum keagamaan, Hindu berpegang pada prinsip Dharma dan kebahagiaan bersama.

Nilai-nilai Dharma bersifat universal dan langgeng, sedangkan hukum perlu terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Ini bukan berarti Hindu tidak memiliki hukum-hukum keagamaan. Ada, namun hukum tersebut bisa berubah mengikuti desa, kala, dan patra yaitu tempat, waktu, dan kondisi setempat—tidak berhenti pada satu titik di masa lalu. Hukum-hukum ini lahir dari dan terinspirasi oleh nilai-nilai Dharma.

Jadi, apakah Hindu agama misi? Jawabannya tergantung pada definisi ‘misi’ itu sendiri. Jika kita kaitkan misi dengan kegiatan misionaris atau dakwah yang mencoba mengubah identitas keagamaan seseorang, maka jawabannya tidak. Hindu memandang agama-agama dan kepercayaan yang ada tidak hitam dan putih, benar dan salah, tapi “melayani” bermacam jenis kepribadian, sifat, watak, dan tingkat perkembangan spiritual manusia.

Ada yang masih perlu menekankan pada sistem reward dan punishment (dalam bentuk pahala dan dosa yang bisa menentukan seseorang masuk ke surga atau neraka setelah mati), namun ada yang sudah melampaui keduanya. Ada yang menempatkan “keselamatan” hanya pada satu sosok/ajaran saja, ada pula yang menekankan pada kemandirian untuk meningkatkan kesadarannya. Watak seseorang sangat menentukan śraddhā apa yang ‘cocok’ baginya.

Namun apabila ‘misi’ tersebut dikaitkan dengan upaya-upaya memberdayakan diri dan meningkatkan kesadaran manusia agar ia bisa bertindak tepat dan menjaga keharmonisan hidupnya dengan sesamanya, dan dengan alam lingkungannya, maka ya, Hindu adalah agama misi. Inilah sifat dasar manusia yang terus menginginkan perbaikan diri, mencari ilmu pengetahuan dan cara-cara hidup yang memaksimalkan kebahagiaan—tidak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga untuk yang lain.

pura-ulun-danu-bratan-bali-841865328-59c6d6b5685fbe001138763d
Pura Ulun Danu di tepi danau Batur, Bali. Hindu adalah agama yang dekat dengan alam. (Sumber: Patchareeporn Sakoolchai / Getty Images)

Dengarkan pesan Rigveda 9.63.5 berikut ini:

indraṃ vardhanto apturaḥ kṛnvanto viśvamāryam, apaghnanto arāvṇaḥ.

Artinya lebih kurang: (Oh Soma) perkuatlah Indra, menyeberangi segala kesulitan, buatlah semuanya menjadi mulia (ārya), singkirkanlah mereka yang berpikiran picik, sempit (arāvṇa).

Ārya adalah istilah yang sentral dalam ajaran agama Hindu. Berbeda dengan anggapan umum, ārya bukanlah ras atau suku bangsa tertentu (yang dibayangkan berasal dari Asia Tengah atau Eropa Timur yang masuk ke India dan membawa Veda), namun terkait dengan sifat atau karakter. Kata ārya adalah turunan dari kata arya yang berarti ‘berbudi/berwatak baik’. Ārya adalah orang-orang yang memiliki sifat arya.

Kebalikannya adalah arāvan. Ada beberapa makna kata ini: 1) (ia) yang tidak bebas bergerak, berpikir; 2) (ia) yang tidak mau berbagi; 3) (ia) yang membenci, kejam. Sifat-sifat ini berseberangan dengan sifat arya di atas. Inilah misi seorang hindu, yaitu mengembangkan sifat-sifat arya di dalam diri, menyebarluaskannya, dan jika diperlukan, menghentikan mereka yang bersikap sebaliknya. Untuk itu kita perlu ‘membangkitkan Indra’ di dalam diri.

Perlu diingat bahwa ke-arya-an tidak otomatis “jatuh” pada orang-orang dari agama dan kepercayaan tertentu, atau mereka yang berasal dari ras atau suku bangsa tertentu. Kisah-kisah dalam tradisi Hindu kerap memperlihatkan perseteruan antara orang-orang dari agama/kepercayaan dan bangsa yang sama namun yang satu berpegang pada prinsip-prinsip Dharma sedangkan yang lain berpihak pada Adharma.

Tolok ukur misi seorang Hindu jelas, yaitu Dharma. Oleh karena itu kita perlu lebih dahulu memahami apa itu Dharma, apa misi kita, bagaimana mencapainya, serta ke mana kita akan melangkah. Dalam seri tulisan ini saya akan mencoba mengangkat hal-hal tersebut, dengan segala keterbatasan saya. Ini juga adalah sādhanā saya untuk memperjelas pemahaman saya sendiri tentang ajaran Hindu, dan jika ada orang lain yang mendapatkan manfaat dari sini, itu semata-mata berkah dari Hyang Widhi Wasa.


2 responses to “Sanatana Dharma 01: Agama Misi?”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: