Saya pernah berkunjung sebagai tenaga bantu di salah satu sekolah di daerah yang jauh dari kebisingan kota. Desa Aramati namanya. Penduduk desa ini hampir semuanya hidup dari hasil bumi yang memang melimpah. Penduduk desa Aramati sering membutuhkan orang-orang dari desa sebelahnya, desa Rai, yang mayoritas penduduknya pandai berdagang—sehingga mereka bisa mengangkut hasil bumi Aramati ke kota terdekat.
Penduduk kedua desa memahami saling ketergantungan di antaranya, namun cekcok bisnis tidak jarang terjadi. Beberapa penduduk Aramati menilai orang-orang Rai tidak jujur, dan sering mengambil untung terlalu banyak. Sedangkan beberapa orang Rai sering mengatakan bahwa warga desa tetangganya itu pemalas karena terlalu terbuai dengan kesuburan tanahnya. Tidak semuanya demikian; hubungan mereka memang begitu: love-hate, cinta-cinta benci. Bahkan sebenarnya warga kedua kampung telah lama saling menikah, namun itu tidak membuat saling curiga di dalam diri mereka hilang begitu saja.
Ada dua sekolah di desa Aramati; dan sekolah di mana saya bekerja waktu itu bisa dikatakan sekolah negeri terbaik di sana. Hanya mereka yang kaya dan pandai yang boleh duduk di bangkunya. Anak-anak pejabat desa dan pemuka agama bersekolah di sana. Kebanyakan yang bersekolah di sekolah itu adalah putra-putri Aramati, namun sesekali memang ada warga desa di sekitarnya yang bisa masuk ke sana. Tahun di mana saya bekerja ada seorang anak desa Rai yang bersekolah di sana. Namanya Soma.
Soma terlihat pendiam dan tidak banyak temannya. Namun dibalik sikapnya itu, saya bisa melihat bahwa dia tekun dalam belajar, jujur, dan punya sifat pelindung. Sepertinya sikap Soma yang pendiam diakibatkan karena ia bukan berasal dari desa Aramati. Soma dan kedua orang tuanya tinggal di pinggiran desa Rai, sehingga sekolah itulah yang lebih dekat dari rumahnya. Saya pernah diceritakan oleh salah seorang guru di sana, bahwa pihak sekolah awalnya keberatan Soma bersekolah di sana. Tapi karena prestasinya, dan kedekatan keluarganya dengan seorang tetua desa Aramati, maka Soma diperbolehkan masuk.
Sejak awal, Soma dijauhi teman-teman sekelasnya. Seringkali saya mendengar anak-anak Aramati melempar ledekan kepada Soma. Sebagai wali kelasnya, saya juga pernah suatu hari mendapat laporan bahwa ada lebam di pipi Soma sepulang sekolah, yang ketika saya tanya apa sebabnya, ia bilang terjatuh ketika main bola. Saya tidak melanjutkan pertanyaan saya kepadanya; saya tahu dia hanya ingin pulang segera ke rumahnya. Saya juga tahu persis bahwa Soma selalu menghabiskan waktu istirahat di kelas atau perpustakaan—di mana ia bisa dibiarkan tenang tanpa diganggu.
Saya mengagumi kekuatan anak itu. Walaupun dicecar dan dimaki kawan-kawannya, ia tetap datang ke sekolah dan daya belajarnya tidak surut. Malah mungkin bisa dikatakan bahwa cemoohan teman-temannya adalah pemicu bagi Soma untuk maju.
Bulan demi bulan berlalu, di akhir Semester 1, Soma mendapatkan rangking pertama di kelas, dan kedua di sekolah. Ketika diumumkan demikian, tidak ada siswa atau guru yang mengucapkan selamat kepadanya. Bahkan ia dicemooh, dan difitnah curang dihadapannya. Semua tuduhan itu tidak terbukti. Sebelum pulang, saya memberi Soma sekotak pensil warna sebagai hadiah yang diterimanya dengan senang. “Terima kasih,” ucapnya pelan. “Giat belajar ya, Soma.” Begitu balasku. Ia lalu berjalan menuntun sepeda tuanya pergi keluar gerbang sekolah.
Semester 2 berjalan beberapa minggu, dan saya melihat Soma mulai berubah. Ia mulai cepat marah ketika diledek, bahkan sesekali ia membalas dengan kata-kata kasar. Hal ini membuat teman-temannya semakin sering mengerjai Soma. Sampai pada suatu hari saya dipanggil oleh salah seorang guru yang bilang bahwa Soma telah memukul Nayaka, anak pemuka agama di desa Aramati yang sangat berpengaruh dan penyumbang dana terbesar ke sekolah itu. Gigi Nayaka tanggal, dan darah mengalir dari mulutnya.
Nayaka dan teman-temannya mengadu bahwa Soma-lah yang bersalah memulai perkelahian. Pakaian mereka kotor dan ada yang robek. Saya lalu menengok kepada Soma yang duduk meringkuk—sama-sama kumalnya. Matanya basah. “Apa benar begitu, Soma?”
“Iya, Pak.” Jawabnya singkat.
“Kenapa Kamu memukul Nayaka?”
Soma terdiam. Nayaka dan teman-temannya tersenyum kecil—bahagia karena Soma telah mengaku dan yakin ia pasti akan dihukum.
“… mereka menghina kedua orang tua saya, Pak. Mereka bilang saya anak tukang tipu, penjahat.”
“Benar begitu?”
“Tapi, Pak, salah dia sendiri yang sering bicara kasar dan kampungan kepada kami… padahal apa salah kami?” Sahut salah seorang teman Nayaka.
“Bapak sering melihat kalian mengejek Soma sejak hari pertama Soma menginjakkan kakinya di sekolah kita ini.” Merekalah yang telah mengubah Soma. Bully telah membuat Soma keras dan kasar, dan saat itu saya menyesal tidak mengambil langkah tegas.
“Kalian semua salah.. karena menghina Soma, dan kamu Soma.. juga bersalah karena memulai perkelahian. Kalian harus dihukum karena kesalahan kalian.”
***
Besoknya, saya dipanggil Kepala Sekolah. Beliau menanyakan apa yang terjadi. Setelah saya jelaskan, ia menyuruh saya kembali mengajar.
Pagi itu saya tidak melihat Nayaka dan teman-temannya. Soma di sana, duduk seolah-olah kemarin tidak terjadi apa-apa. Saya diberi tahu bahwa orang tua Nayaka tidak suka anaknya dihina dengan diberi hukuman. “Hanya dia yang berhak menjatuhkan hukuman pada anaknya,” begitu kata seorang guru di sela-sela jam makan siang. Saya melihat seseorang dengan pakaian keagamaan keluar dari ruang Kepala Sekolah. Mereka terlihat akrab, saling berjabat tangan dan berpelukan. Saya dengar Kepala Sekolah bilang, “Akan saya bereskan segera, Pak. Terima kasih atas dukungan Bapak selama ini.”
Perasaan saya tidak enak. Orang yang tidak saya kenal ini kemudian berbalik.. kami sempat saling pandang beberapa detik.. kemudian ia pergi meninggalkan sekolah. Bel penanda jam pelajaran berbunyi. Saya pun kembali ke kelas.
***
Sore itu, sebelum pulang saya diminta bertemu dengan Kepala Sekolah. Seperti yang sudah saya duga, ia meminta saya mengundurkan diri. “Kembalilah ke kota. Masih banyak pekerjaan bagus di kota besar. Akan lebih baik buat karirmu, kalau Kamu mengajar di sana. Lagi pula guru tetap yang posisinya kamu isi sementara ini sudah datang. Dia akan mulai segera.”
Saya berkelit. Saya masih ingin mengajar di sana. Rasanya, saya belum tuntas menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Tapi Kepala Sekolah bergeming. Tidak ada jalan lain. Saya pun pulang, dan beberapa hari kemudian saya bersiap-siap pulang ke kota.
Dalam perjalanan pulang, saya menyempatkan mampir ke rumah kedua orang tua Soma yang kebetulan saya lalui. Dari penjaga di sana saya tahu bahwa Soma sudah tidak lagi bersekolah di sana. Soma pindah sekolah ke salah satu sekolah Rai—walaupun agak jauh. Soma dikeluarkan dari sekolah karena berkata-kata kasar dan melukai temannya.
Mungkin ini yang terbaik bagi Soma, bagi anak-anak yang lain, buat Kepala Sekolah dan guru-guru: tidak ada lagi bully, tidak ada lagi perkelahian karena tidak ada perbedaan, semua tenang. Soma mungkin bisa menyelesaikan pedidikannya dengan lebih lancar dan bisa mengembalikan lagi sifat aslinya yang tekun, jujur, dan pelindung. Soma juga bisa mengambil peran-peran penting di dalam masyarakat Rai nantinya karena dari sanalah ia berasal. Mungkin ini win-win?
Dalam perjalanan, saya masih memikirkan apa yang terjadi. Desa Aramati dan desa Rai memiliki potensi yang bila dimanfaatkan dengan baik, dan saling bekerja sama, akan mampu mensejahterakan semua… tapi, sayangnya semua sudah puas dalam “kedamaian” semu yang diciptakan demi berlanjutnya sistem yang membuat keduanya akan terus menjadi desa yang jauh dari terang cahaya kota.