[Tulisan saya ini dimuat di Majalah Media Hindu edisi September 2016]
Om Avignamastu,
“Agama Hindu adalah satu-satunya agama besar dunia yang meyakini bahwa alam semesta mengalami proses kelahiran dan kematian terus-menerus. Inilah satu-satunya agama yang menggunakan skala waktu yang sesuai dengan ilmu kosmologi modern—dan saya yakin ini bukan kebetulan semata. Siklus waktu yang mereka pakai mulai dari siklus siang-dan-malam biasa ke siklus siang-malam Brahma: sepanjang 8,64 miliar tahun. Ini lebih tua dari umur bumi dan matahari, juga sekitar setengah dari rentang masa sejak ‘Big Bang’—bahkan (agama Hindu) masih memiliki skala waktu lain yang lebih panjang lagi.” —Carl Sagan (1934-1996), astronom dan kosmolog asal Amerika Serikat.
Tidak ada yang tahu dengan pasti kapan Hindu Dharma lahir. Beberapa ilmuwan menggunakan masa penyusunan kitab suci tertuanya, Rig Weda, untuk menjawab pertanyaan ini. Hasilnya beragam. Ada yang mengajukan angka 25.000SM (Avinash Chandra Das), 6.000SM (Balgangadhar Tilak), sedangkan para Indolog barat cenderung mengatakan bahwa Rig Weda disusun antara 1.500SM – 500SM. Angka manapun yang kita percayai, Rig Weda sendiri mengungkapkan bahwa Hindu Dharma telah lama ada jauh sebelum syair-syairnya disusun, bahkan disebut ‘nitya’ atau abadi.
Yang menarik, seperti diungkapkan oleh Carl Sagan di atas, orang-orang dari Peradaban Sindhu atau Hindu telah mengenal skala waktu yang sangat besar yang sejalan dengan kosmologi modern. Untuk sampai kepada angka yang sedemikian besar, orang-orang Hindu harus menggunakan sistem-angka yang tepat, memahami matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan lainnya. Penggunaan angka ‘0’ (Shunya) dan sistem basis-10 telah digunakan di dalam Weda jauh sebelum sistem ini dikenalkan secara luas di Eropa oleh para ilmuwan Timur Tengah pada sekitar abad ke-10M, untuk menggantikan angka romawi yang tidak lagi praktis digunakan. Sistem ini dikenal sebagai Hindu numeral system.
Seperti yang saya ungkapkan di tulisan sebelumnya, Hindu adalah nama suatu gugus peradaban yang membentang luas dari barat Sungai Sindhu (kini di Pakistan dan India), Afganistan, Anak Benua India, Indo-Cina, hingga ke Kepulauan Asia Tenggara. Orang-orang Persia memberikan nama Hindu kepada orang-orang yang menjadi bagian dari gugus peradaban ini. Orang-orang di Tiongkok menyebutnya Yin-tu; sedangkan bangsa-bangsa di Eropa mengenal gugusan peradaban ini dengan nama Indus atau Indos. Nama Indo-nesia, India, Hindia, atau Indies adalah jejak-jejak yang menunjukkan bahwa kita semua berada di dalam gugusan peradaban yang sama.
Walaupun orang-orang yang hidup di dalam Peradaban Sindhu atau Hindu memiliki Shraddha atau agama yang berbeda, namun mereka semua diikat oleh Dharma yang universal. Di dalam Rig Weda, konsep Dharma juga dikenal sebagai Rta. Sulit mencari terjemahan bagi dua kata ini; Dharma dan Rta sering diartikan sebagai hukum universal yang menopang semesta. Benda-benda di jagat raya ini berjalan mengikuti Rta (Rig Weda 1.124.3, 5.80.4); langit dan bumi ini ada dalam kandungan Rta (Rig Weda 10.65.8, 1.65.4); para Resi berdoa agar mampu melampaui dualitas suka-duka di jalan Rta (Rig Weda 10.133.6). Mengutip istilah Swami Anand Krishna, Hindu Dharma merangkum semua kepercayaan, budaya, tradisi yang “existence-friendly”, yang ramah kepada alam semesta.
Menyadari sedemikian tuanya jagat raya, para Resi Weda tidak-bisa-tidak hidup harmonis dengan segala sesuatu di sekelilingnya. Di Bali kita mengenal Tri Hita Karana yang berpijak pada prinsip yang sama. Inilah alasan mengapa Peradaban Sindhu atau Hindu bisa bertahan selama ribuan tahun. Pusat-pusat tertua Peradaban Sindhu yang tersebar di sekitar Sungai Sindhu-Saraswati, seperti Harappa dan Mohenjo-Daro terbukti telah ada setidak-tidaknya 8.000 tahun yang lalu (atau 1.000 tahun lebih tua lagi bila memperhitungkan masa Pra-Harappa). Hasil penelitian yang dilakukan oleh oleh IIT-Kharagpur dan Archaeological Survey of India ini dipublikasikan di dalam jurnal-sains bergengsi, Nature, 25 Mei 2016. Ini berarti Peradaban Sindhu atau Hindu sudah ada sebelum Mesir dan Mesopotamia, serta menjadi “cradle of civilisation”. Saya yakin bahwa angka ini akan terus mundur seiring dengan semakin dalamnya penggalian, terkumpulkannya bukti-bukti baru, serta berkembangnya teknologi.
Di dalam bukunya, Wisdom of Sundaland (2012), Swami Anand Krishna bahkan memperkirakan umur Peradaban Sindhu atau Hindu mencapai 14.000 tahun. Yang menarik, beliau mengungkapkan bahwa peradaban ini dibangun oleh para imigran dari peradaban sebelumnya di Sundaland. Pada Jaman Es (sekitar 110.000–12.000 tahun yang lalu), pulau-pulau besar di bagian barat Kepulauan Nusantara, seperti Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan, terhubung dengan Semenanjung Malaysia dan membentuk landmass yang dikenal sebagai Sundaland. Akibat naiknya permukaan air laut dan berbagai bencana alam dahsyat yang terjadi, mau-tidak-mau mereka yang terdampak mengungsi dan mencari tempat tinggal baru. Di kawasan ini, banyak ditemui legenda yang bersumber dari peristiwa ini, salah satunya adalah Kumari Kandam yang dikenal di India Selatan.

Proses perpindahan ini memakan waktu yang sangat panjang: mereka berpindah dari satu-tempat ke tempat lain, mencari lahan yang stabil dan subur. Para imigran ini membawa serta pengetahuan dan teknologi dari peradaban sebelumnya. Ribuan tahun kemudian, mereka sampai di tepian Sungai Sindhu-Saraswati. Di sanalah mereka membangun kembali peradaban. Rig Weda merekam puja-puji para Resi kepada kedua sungai besar itu; bahkan Saraswati diagungkan sebagai Dewi ilmu pengetahuan, seni, dan peradaban. Segenap warisan pengetahuan yang dibawa keluar dari Sundaland dan pengetahuan baru yang berkembang di sana, di kemudian hari dikumpulkan oleh Maharesi Wyasa ke dalam beberapa jilid buku yang kita kenal sebagai Catur-Weda: Rig, Sama, Yajur, dan Atharva Weda.
Ajaran-ajaran Weda ini dikenal pula sebagai “Arya Dharma”. Kata Arya berarti ia yang mulia dan bijak; kata ini tidak mewakili suku atau ras tertentu seperti yang selama ini didengungkan beberapa kalangan. Teori yang mengatakan bahwa ajaran-ajaran Weda datang belakangan seiring invasi ras atau bangsa Arya dari Eropa Timur yang mengakhiri Peradaban Sindhu, telah banyak dibantah.
Beberapa bukti kuat menunjukkan kemenerusan Peradaban Sindhu atau Hindu dengan ajaran-ajaran Dharma di dalam Weda yang masih kita warisi hingga saat ini. Salah satu contohnya adalah Yoga. Peradaban Sindhu meningggalkan beberapa segel bergambar dan memiliki simbol-simbol yang dianggap sebagai huruf—yang belum terpecahkan hingga sekarang. Di antara segel-segel yang ditemukan, tidka hanya di Harappa dan Mohenjo-Daro, tapi juga hingga ke kawasan Timur Tengah ada segel dengan gambar seseorang yang sedang ber-Yoga-Asana (Gambar 2). Para arkeolog memperkirakan tokoh tersebut adalah Pashupati atau Shiva.

Yoga merupakan salah satu ‘hadiah’ Hindu Dharma bagi dunia. Saat ini, Yoga telah dikenal secara luas, walaupun banyak yang belum memahami esensinya. Asanas atau postur-postur Yoga, yang menjadi fokus saat ini, dipergunakan untuk olah-raga saja. Padahal Asanas hanyalah satu dari delapan ‘tubuh’ Yoga, seperti yang dipaparkan oleh Resi Patanjali. Padahal dengan tegas, Resi Patanjali mengatakan bahwa Yoga adalah disiplin-diri (atha yogānuśāsanam, Patanjali Yoga Sutra 1.1), untuk mengendalikan benih-benih pikiran atau Citta (yogaś-citta-vrtti-nirodhah, PYS 1.2) agar kita mampu menyadari hakikat Sang Diri yang Sejati.

Dengan diperkenalkannya Yoga di pentas dunia lewat disahkannya Hari Yoga Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 2014, menunjukkan keuniversalan nilai-nilai dan praktik Yoga. Hari Yoga Internasional dirayakan pada tanggal 21 Juni setiap tahunnya, dan diikuti oleh jutaan orang di seluruh dunia. Kita harus berterima kasih pada upaya-upaya Perdana Menteri India saat ini, Narendra Modi yang telah mendorong hal ini, untuk menyebarluaskan Yoga sekaligus mengingatkan dunia akan akar Yoga yang tumbuh dari ajaran Hindu Dharma.
***