Acemoglu dan Robinson (2012), di dalam bukunya ‘Why Nations Fail’ menghimpun kisah dari berbagai wilayah dan membangun argumen mengapa sebuah negeri ‘gagal’ menjalankan fungsinya untuk mengoptimalkan sumberdaya demi mencapai kesejahteraan warganya.
Mereka membantah beberapa teori sebelumnya yang mengaitkan kegagalan tersebut pada: budaya, lokasi geografis, bahkan kekayaan alam negeri tsb. Acemoglu dan Robinson dengan yakin bilang bahwa kegagalan terjadi karena ketiadaan institusi-institusi politik dan ekonomi yang inklusif—yang tidak ekstraktif—di negeri tersebut.
Tapi rasanya ada yang kurang dari simpulan mereka. Sistem politik dan ekonomi dibuat, dijalankan, dan dirawat oleh manusia. Manusia adalah unit terkecil yang menyusun suatu negeri atau peradaban. Sistem sebagus apapun, namun bila seiring dengan waktu dijalankan oleh manusia-manusia yang ‘bermasalah’, maka sistem tersebut akan rusak bahkan runtuh bersama peradaban atau negeri itu.
Di Nusantara, sistem politik dan ekonomi yang inklusif ini disebut Artha, yang dipelajari di dalam teks-teks yang secara kolektif disebut Artha-sastra. Ya, Artha penting, namun leluhur kita juga menyadari ada hal-hal lain yang tidak bisa diabaikan. Kama atau kebahagiaan psikologis, kenyamanan hidup, keindahan, rekreasi, dan sebagainya perlu ada. Demikian pula Dharma atau prinsip-kebenaran yang teguh, yang menyatukan, serta Moksa atau kebebasan berpikir dan berkarya hingga kebebasan dari keterikatan duniawi.
Keempat prinsip ini, berurut-turut: Dharma, Artha, Kama, dan Moksa adalah empat corner stone peradaban kita. Urutannya juga penting diperhatikan. Bukan Artha atau Kama duluan, tapi Dharma—agar Artha dan Kama terjaga di dalam prinsip-prinsip kebenaran. Inilah resep mengapa peradaban kita: Peradaban Sindhu/Hindu/Indus/Indo bisa terus bertahan setidaknya sejak 3.000 SM.
mo purik hamo garising /
hamo nanggahan akasa/
nyaho di maneh pertiwi /
di nya kasorgaanana //
—Sevaka Dharma, baris 819–822, teks kuno dari tanah Sunda sekitar abad 15–16.
Ibu Pertiwi tidak menggerutu (ketika dirusak), tidak menentang langit. Ia senantiasa sadar akan keilahiannya (dan sifat sucinya yang membuatnya senantiasa terus berbagi berkah dan karunia). Ini adalah ‘Kasorgaanana’, wilayah surgawinya.
“Sang Bijak penyusun karya ini mengingatkan kita bahwa dunia ini adalah surga itu sendiri. Baik neraka maupun surga keduanya adalah keadaan kesadaran. Jika kita hidup dengan kecurangan, ketidakmuliaan, dan kejahatan—maka kita menciptakan neraka kita sendiri. Dan, jika kita hidup dalam kebijakan, kebenaran, maka kita dapat mengubah dunia ini menjadi surga!”—Swami Anand Krishna, 2015, Dvīpāntara Dharma Śāstra.