Tahun baru 2020 di Jakarta dan daerah-daerah di sekitarnya dibuka dengan hujan lebat yang panjang. Alhasil banyak daerah tergenang banjir. Aktivitas warga terhambat. Kemeriahan tahun baru digantikan dengan kegiatan bersih-bersih atau mengungsi. Di tengah kondisi seperti ini ternyata ada saja orang-orang yang mensyukuri keadaan ini karena mereka tidak suka dengan tahun-baru (masehi). Ada yang berdoa agar Tuhannya menurunkan hujan untuk membubarkan kerumunan dan menghentikan kegiatan perayaan yang penuh dosa itu.
Banjir dan bencana alam lainnya sudah sejak lama dikaitkan dengan dosa. Karena manusia berdosa, Tuhan menurunkan banjir di ibu kota untuk menyucikannya. Karena pemimpinnya tak seiman dan sombong, Tuhan pun menyumbat gorong-gorong air yang kemudian menenggelamkan sebagian wilayah untuk menunjukkan kuasaNya. Ada juga yang bilang banjir terjadi karena salah pilih pemimpin—karena hanya memilih yang seiman (dan mengabaikan kemampuannya). Bencana alam adalah hukuman karena ada yang tidak mengikuti kemauanku.
Di dalam imajinasi yang berakar dari ego itu ‘aku’ berpikir bahwa ‘aku’ lebih berkuasa daripada Tuhan atau alam. Kita seolah tahu apa yang Ia mau. Kita menyuruh Tuhan mengikuti kemauan dan kesukaan/ketidaksukaan kita. Tidak jelas lagi yang mana hamba yang mana tuan. Bencana juga sering dijadikan ajang pembuktian: Tuhan (baca: ego) siapa yang benar, Tuhanku atau tuhanmu?
***
Semalam saya membuka Bhagavad Gita secara acak. Kebetulan bagian yang terpilih adalah percakapan ke-18, sloka/ayat 16. Ini kutipannya—saya ambil dari bhagavadgita.or.id (transkreasi Swami Anand Krishna):
Kesukaan dan ketidaksukaan lahir dari alam benda (silakan baca tulisan saya tentang Purusha dan Prakirti). Alam benda (Prakirti) serta dualitas di dalamnya ini dibentuk dari dan membentuk setiap pengalaman hidup dan menggerakkan tindakan kita. Walaupun demikian, menurut Shri Krishna, Jiwa atau Ātman atau Sang Diri Sejati sesungguhnya tidak terpengaruh. Tindakan (karma) beserta buahnya (phala) hanya melekat di sarung (kośa) pembungkus Jiwa. Berarti dosa dan pahala adalah urusan si sarung yang terbuat dari materi kebendaan, bukan Jiwa. Dosa dan pahala hanyalah reaksi dari aksi di alam benda.
Tindakan yang buruk merupakan kesalahan (doṣa) yang bisa diperbaiki di sini juga. Dampak jeleknya akan sampai kepada kita sendiri karena semuanya terhubung di semesta ini. Menyadari itu, kita bisa terbebas darinya sekarang juga. Yang dibutuhkan adalah peningkatan kesadaran. Oleh karena itu, ajaran Dharma tidak mengenal ‘penyelamat’ untuk memikul dan menebus dosa-dosa kita. Tidak pula Dharma menakut-nakuti bahwa dosa akan membuat kita terpanggang selama-lamanya di neraka. Keduanya, baik iming-iming keselamatan maupun teror neraka mungkin manjur bagi anak-anak. Namun bagi mereka yang sudah dewasa kesadaran tentang hukum aksi-reaksi, tabur-tuai, karma-phala membuatnya mandiri.
***
Sering saya dengar: Bencana yang menimpa orang-orangku adalah cobaan. Sedangkan bencana yang terjadi kepada orang lain adalah kutukan, amarah Tuhan. Sekali lagi tolok ukurnya adalah ‘aku’. Apakah Tuhan, yang katanya pencipta alam raya, punya preferensi, kesukaan dan ketidaksukaan dalam ciptaanNya, seperti manusia (satu spesies yang hidup di atas planet kecil di sudut kecil jagat yang maha-luas)? Tuhan yang seperti ini adalah tuhan yang personal yaitu Tuhan yang memiliki personality seperti manusia. Ia menyukai sesuatu dan membenci yang lain, imbalan dan hukumannya tidak hanya terjadi di dunia ini tetapi juga di alam nanti. Tuhan seperti ini masih hidup dalam dualitas.
Pandangan di atas berbeda dengan ajaran Dharma:
Saya percaya bahwa bencana adalah pesan alam buat kita. Bencana merupakan “teguran”. Mungkin selama ini kita tengah merusak keseimbangan yang sudah berlangsung ribuan bahkan jutaan tahun demi memuaskan kebutuhan dan keinginan kita semata. Desain kota kita mungkin kurang mempedulikan unsur-unsur alam (yang disebut sebagai ‘para dewa‘ yang sudah ada sebelum manusia berjalan di muka bumi): air, angin, laut, iklim, tanah, lempeng-lempeng tektonik, energi matahari, dan sebagainya. Kita melupakan hukum-hukum alam, termasuk hukum aksi-reaksi. Inilah dosa-dosa kita. Kita bisa perbaiki kesalahan-kesalahan itu sekarang, di sini—tidak perlu menunggu mati.
Para resi Veda menemukan bahwa semesta raya ini tidak hanya muncul dari Hyang Tunggal, namun juga diliputi dan diisi olehNya. Tidak ada sesuatu pun di luarNya, selainNya. Īśāvāsyam idaṃ sarvaṃ yat kiñ ca jagatyāṃ jagat—begitulah deklarasi resi di dalam Isha Upanishad. Penemuan ini bukan sekadar pernyataan teologis hasil utak-atik para kutu buku, namun merupakan pengalaman langsung.
Dari Hyang Tunggal itu pertama-tama muncul Purusha dan Prakirti. Prakirti adalah benih alam benda, yang memungkinkan terjadinya penciptaan semesta lewat hukum aksi-reaksi/sebab-akibat. Alam benda terus-menerus berubah, berevolusi, dan mengalami daur ulang. Prakirti tidak berkesadaran (acetana). Sedangkan Purusha adalah kesadaran murni (cetana), jiwa yang “menikmati” alam benda.
Pertemuan keduanya melahirkan Māyā, ilusi agung. Purusha “merasa” dirinya adalah benda atau materi belaka. Demikian, ia terjebak dalam evolusi dan siklus daur ulang dunia benda. Ia lahir, hidup, mati berkali-kali. Para ilmuwan memperkirakan umur alam semesta hampir 14 miliar tahun. Tata Surya dan Bumi terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun lalu. Dan, manusia sendiri mungkin baru ada 200.000 tahun lalu.
Butuh waktu sangat panjang hingga akhirnya kesadaran itu muncul. Tidak heran kalau kesadaran-badan/pikiran lebih dominan daripada kesadaran-jiwa. (Saya sebut ‘badan/pikiran’ karena menurut para resi pikiran dan perasaan adalah bagian dari alam benda juga.) Tetapi kesadaran-badan/pikiran tidak bisa berlangsung terus karena sifatnya maya. Kesadaran badan/pikiran ini menyebabkan ketidakbahagiaan.
Fitrah alam benda adalah beraneka ragam dan berubah-ubah—memungkinkan jiwa mengalami berbagai macam pengalaman. Sedangkan fitrah jiwa adalah tunggal dan langgeng. Jiwa tidak terikat dengan berbagai “wadah” yang dilaluinya. Ia tidak terpengaruh sifat-sifat alam benda. Guruji mengibaratkan seperti seorang penonton film yang merasakan naik turunnya emosi, padahal ia tidak terlibat. Resi di dalam Atharva Veda 10.8.27 mengatakan:
(O Jiwa), engkau melalui pengalaman sebagai perempuan, engkau juga menjadi lelaki. Engkau menjadi muda-mudi, lalu engkau pun “menjadi” tua dan memerlukan tongkat untuk berjalan. (O Jiwa) engkau lahir dalam berbagai badan, berbagai rupa.
Usia, jenis kelamin, gender, ras, termasuk kepercayaan adalah hal-hal yang muncul dari alam benda. Jiwa bisa melalui pengalaman sebagai manusia yang berkelamin perempuan (strī) atau laki-laki (pumān) atau jenis ketiga (tṛtīya prakṛti) yang bukan perempuan dan bukan laki-laki. Wadah jiwa berubah dari bayi, dewasa, tua, dan akhirnya mati. Begitu pula pemikiran dan perasaannya berubah-ubah.
Pengalamannya akan lain ketika jiwa “lahir” sebagai makhluk berbeda. Ada beberapa jenis ikan, siput, dan serangga yang hermafrodit (memiliki lebih dari satu jenis kelamin dalam satu tubuh). Bahkan jenis fungi Schizophyllum commune bisa memiliki lebih dari 23.000 jenis kelamin akibat diferensiasi genetik. Semuanya itu berproses secara alamiah—ini bukan perkara benar atau salah.
Para resi mengajak kita “menaikkan” kesadaran, dari kesadaran-badan/pikiran menuju kesadaran-jiwa. Selama masih berada di bawah pengaruh kuat kesadaran-badan/pikiran kita akan melihat keterpisahan/perpecahan di mana-mana. Kita akan diombang-ambingkan pasang-surut dan suka-duka dunia. Hanya kesadaran-jiwa yang bisa menyatukan dan menyeimbangkan. Para resi bermantra:
Dari kepalsuan, antarkanlah aku menuju kebenaran sejati,
dari kegelapan, antarkanlah aku menuju cahaya kesadaran,
dari kesadaran-benda yang terbatas dan fana, antarkanlah aku menuju kesadaran-jiwa yang tidak terbatas dan baka.
Semoga semua makhluk berbahagia.
Inilah inti ajaran Hindu Dharma yang sanātana (abadi, langgeng) dan nūtana (selalu membaru).
***
Kebanyakan orang masih berada di dalam kesadaran-badan/pikiran. ‘Aku’ kita masih tertuju pada identitas-identitas fisik dan mental-emosional. ‘Aku’ adalah si Anu yang tinggal dan bekerja di kota X. ‘Aku’ laki-laki, perempuan, “normal”, “tidak normal”, dan sebagainya. ‘Aku’ adalah anak dari bapak A dan ibu B, pasangan dari C, orang tua D, E, F, dan seterusnya. Atau ‘aku’ beragama Y, ‘aku’ penyabar, pemarah, suka gado-gado, fans berat aktor/penyanyi tertentu. ‘Aku’ kita masih ego—dalam bahasa Sanskerta disebut ahaṃkāra, secara harfiah berarti yang membuat/menyusun ke-aku-an. ‘Aku’ kita masih terpisah dengan ‘kamu’ dan ‘dia’. Kebanyakan orang hidup dalam kepalsuan dan kegelapan.
Namun sesekali ada segelintir orang yang “tercerahkan”. Ia mulai menyadari jati dirinya sebagai sang jiwa—bukan semata ego tubuh dan pikiran/perasaan. Sang jiwa yang ada di dalam dirinya mulai ia lihat juga di mana-mana: di dalam diri makhluk lain dan di seluruh alam raya. Kini ia menyadari bahwa Gusti dan kawula-Nya sebenarnya tidak pernah terpisah. Dalam tradisi Sindhu/Hindu/Indo ia disebut ṛṣi, vipra, dan sebagainya.
Ia melihat keilahian atau kedewataan “mengalir” di dalam api, angin, air, bumi, angkasa, langit, matahari, bulan, bintang-bintang, planet-planet, fajar, malam, gunung-gunung, lembah-lembah, tumbuhan, hewan. Kesadaran ini membuatnya menjadi seorang panembah. Syair-syair pujian mengalir dari puncak kesadarannya itu. Inilah yang kemudian dihimpun menjadi kitab-kitab Veda.
Kesadaran para resi ini bukan hanya monopoli sekelompok orang terpilih saja. Kita semua punya potensi itu. Setiap orang memiliki jalurnya masing-masing untuk mencapai kesadaran yang sama, tergantung pada “modal” awal dan corak “wadah”-nya (badan, pikiran, lingkungan). Karena itu, Hindu tidak pernah memaksakan suatu cara bagi semua atau menganggap cara tertentu paling baik daripada cara lain.
Kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di Sindhu/Hindu/Indo, misalnya, menjadi penuh warna-warni karena penduduknya tinggal di negeri yang relatif subur dan kaya sumber daya. Kepercayaan yang monolitik dan dogmatis tidak cocok dengan corak pekerti masyarakatnya. Di sini, hubungan antara kawula dan Gusti-nya bisa lebih personal dan ekspresif.
Para resi bisa menyebutNya Ibu sekaligus Ayah, feminin, maskulin, atau netral. Ialah Brahman yang melampaui segalanya. Ia adalah Agni, api suci. Ia pula Indra sang penguasa angkasa. Ia secantik Usha, sang fajar dan se-misterius Ratri, sang dewi malam. Ia bisa setegas Varuna menghukum para penjahat, atau menjadi Mitra yang bersahabat. Ada begitu banyak Deva dan Devī yang bisa kita pilih sebagai jalan menuju Hyang Tunggal.
Salah satu contohnya adalah Devī Sūktam atau Vāk Sūktam yang terdapat di dalam Ṛgveda maṇḍala ke-10, sūkta 125. Sukta ini ditulis oleh seorang resi perempuan bernama Vāc, puteri dari resi Ambhṛṇa. Ketika berada pada puncak kesadaran-jiwa, sang resi melihat keilahian atau kedewataan Ātman, Jiwa di dalam dirinya sebagai kekuatan feminin yang menggerakkan seluruh ciptaan.
Dewi Gayatri yang dikenal sebagai ibu dari Veda, sumber kebijaksanaan.
Sukta ini sangat menarik direnungkan. Sang resi “mengangkat” sifat feminin Dewi sebagai suatu kekuatan yang menggerakkan semesta. Ialah yang menikmati semua bentuk persembahan suci. Ia juga ada di dalam diri sebagai jiwa. Ia adalah sumber kesadaran dan pengetahuan. Ia pelindung dan tak segan merentangkan busur membidik para pengacau. Ia adalah sumber kehidupan itu sendiri.
Feminin atau maskulin, seperti yang akan kita lihat di bawah ini, bukanlah sesuatu yang hitam dan putih. Sifat-sifat feminin tidak hanya ada di dalam diri perempuan, namun juga laki-laki. Demikian halnya sifat-sifat maskulin bukan monopoli laki-laki. Bahkan keduanya ada di dalam tubuh dan mental-emosional setiap manusia dan harus dikembangkan. Ada kalanya kita perlu lebih feminin, dan lain waktu menjadi lebih maskulin.
Aku menggerakkan para Rudra, para Vasu, para Āditya, dan semua dewa-dewa; Aku mengampu Mitra-Varuṇa, Indra-Agni, juga kedua Aśvin.
Catatan:
Sūkta ini diungkapkan dalam gaya bahasa orang pertama. Vāc secara harfiah berarti speech atau wicara (kata ini seasal dengan vox, voice), namun dalam pengertian yang lebih luas, yaitu ekspresi kesadaran. Vāg Dewi di dalam Veda mewakili sesuatu daya hidup, daya gerak, kecerdasan, kebijaksanaan.
Sang Dewi berada di balik semua kekuatan-kekuatan semesta. Ialah yang memberikan kekuatan kepada para Rudra—kelompok dewa yang paling perkasa dan mengerikan di dalam tradisi Veda. Ia lah yang membuat para Vasu—kelompok dewa yang paling lembut, elemen-elemen alam yang halus—mampu berkembang ke segala penjuru. Ia pula yang membuat para Āditya menyebarkan energinya.
Di samping itu, dewa-dewa Vedik klasik seperti duo Mitra-Varuṇa, Indra-Agni, dan si kembar Aśvin juga tidak akan mampu menjalankan fungsinya apabila Dewi tidak memberikan sebagian kekuatanNya.
Aku menikmati perasan Soma, Aku pula pengampu Tvashṭṛ, Pūshan, dan Bhaga; Aku menganugrahkan kekayaan kepada sang panembah, ia yang memusatkan pikiran dalam persembahannya, dan semua yang terlibat.
Catatan:
Mantra kedua ini menekankan aspek Sang Dewi yang lebih mudah didekati manusia lewat proses persembahan (yajña). Di dalam yajña, saripati persembahan diterima oleh Sang Dewi dan hasilnya kembali menjadi daya kreasi/kreatifitas (Tvashṭṛ), daya tumbuh (Pūshan), serta berbagai kenikmatan dan kenyamanan hidup (Bhaga). Ia lah sumber segala kesejahteraan dan kebahagiaan (draviṇam) yang berusaha dicapai setiap orang.
Aku-lah Sang Ratu, penghimpun kekayaan, Hyang Maha Mengetahui, Hyang Pertama Dipuja. Para dewa menyebarkan kesadaran tentangKu ke segala penjuru.
Catatan:
Para dewa di dalam mantra ketiga ini tidak hanya berarti kekuatan-kekuatan alam. Di sini, para dewa bisa dikaitkan dengan orang-orang yang telah memperoleh pencerahan yaitu para bijak, resi. Mereka dikatakan menyebarkan kesadaran dan pemahaman ini ke seluruh penjuru. Hal ini menunjukkan bahwa Hindu Dharma bukanlah kepercayaan lokal dan tidak perlu disebar-luaskan.
Belakangan, banyak penemuan-penemuan arkeologis yang mulai melihat unsur-unsur pemikiran Vedik di berbagai mansyarakat di dunia, mulai dari Irlandia, Inggris di barat Eropa, hingga ke Rusia, dari Mesir, Timur Tengah, hingga ke Timur Jauh (Jepang, Korea, China). Ajaran Veda sangat adaptif dan fleksibel sehingga kulit luarnya tidak harus seragam, namun bisa mengikuti corak kebudayaan setempat.
Dewi Lakshmi, Sang Penganugerah Kekayaan/Kesejahteraan.
mayā so annam atti yo vipaśyati yaḥ prāṇiti ya īṃ śṛṇoty uktam |
amantavo māṃ ta upa kṣiyanti śrudhi śruta śraddhivaṃ te vadāmi || 4 ||
Melalui-Ku lah seseorang menyantap makanan, mampu melihat, bernapas, dan mendengar. Bahkan ia yang belum “menyadari” keberadaanKu, dan ia yang tidak mampu “mendengar”-Ku pun sesungguhnya dekat denganKu!
Catatan:
Tuhan hadir di mana-mana dan anugerah kehidupan-Nya tidak hanya terbatas pada mereka yang menyadari keberadaan-Nya saja. Ia seperti matahari memberikan hangat cahayanya bahkan kepada seorang buta sekalipun. Mantra ini adalah deklarasi kasih-sayangNya yang tidak terbatas, yang seharusnya menginspirasi kita untuk tidak ikut-ikutan merendahkan umat lain dan melakukan diskriminasi.
Umat Hindu tidak perlu membalas kejahatan dengan kejahatan, namun juga perlu diingat bahwa kita tidak boleh membiarkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terus dilakukan oleh orang lain kepada kita. Sebagaimana pesan mantra sebelumnya, kita juga perlu secara aktif menyebarluaskan kesadaraan-jiwa.
aham eva svayam idaṃ vadāmi juṣṭaṃ devebhir uta mānuṣebhiḥ |
yaṃ kāmaye taṃ-tam ugraṁ kṛṇomi tam brahmāṇaṁ tam ṛṣiṁ taṃ sumedhām || 5 ||
Sabdaku yang demikian diagung-agungkan baik oleh para dewa dan umat manusia; Siapapun yang Ku kehendaki, Ku jadikan ia perkasa, brahmana, resi yang bijaksana.
Catatan:
Sang Dewi di dalam mantra ini dipandang sebagai sumber kecerdasan dan kebijaksanaan. Pertama-tama, manusia belajar hidup harmonis dengan alam. Kemudian, manusia mulai memetik hasil kerjanya (mantra 1–2). Ia pun kemudian mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya (mantra 3–4).
Setelah itu, baru manusia bisa membangun peradaban yang ditopang oleh sistem pendidikan yang berkesadaran. Para bijak, resi, atau brahmana memimpin dan menggerakkan peradaban lewat pengetahuan bersama-sama dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lainnya: para pegawai negeri, militer, pedagang, seniman, petani, dan para pekerja.
Dewi Saraswati, Sumber Ilmu Pengetahuan, Seni, dan Kebijaksanaan.
Aku merentangkan busur Rudra untuk menghancurkan mereka yang memusuhi Kebenaran, Pengetahuan. Aku berperang demi semua makhluk, Aku lah penguasa langit dan bumi.
Catatan:
Tidak selamanya cetak biru yang disebutkan di dalam mantra ke-5 bisa dijalankan dengan lancar. Tidak jarang kekayaan dan kesejahteraan yang dicapai menjadi incaran mereka yang malas dan berjiwa kasar. Jika dibutuhkan, kita harus siap untuk mengangkat senjata, merentangkan busur Rudra, dan melindungi dirinya.
Ahiṃsā bukan berarti membiarkan orang menyakiti orang lain atau diri kita. Ahiṃsā adalah ideal yang ingin dicapai, tetapi kalau ada yang ingin menyakiti kita harus siap membela diri. Saat itu kita membutuhkan Dewi Mahākāli!
Dewi Mahākāli yang Maha Digdaya.
ahaṃ suve pitaram asya mūrdhan mama yonir apsv antaḥ samudre |
tato vi tiṣṭhe bhuvanānu viśvotāmūṃ dyāṃ varṣmaṇopa spṛśāmi || 7 ||
Dari-Ku, Bapa lahir di puncak langit, sedangkan sumber-Ku berada di kedalaman Samudra. Dari sana, Aku menyebar ke seluruh penjuru semesta, dan dengan keagungan-Ku, Aku menyentuh (mencapai) langit itu.
Catatan:
Mantra ini berisi simbol-simbol perlu perenungan untuk memahami maknanya. Salah satu pesan di dalam mantra ini sejalan dengan penemuan sains mutakhir yang mengungkap bahwa maskulinitas (manusia) lahir dari femininitas.
Pemujaan terhadap Dewi, mungkin adalah kepercayaan yang lebih kuna, lebih tua umurnya di dalam peradaban manusia. Pemujaan terhadap aspek maskulin ketuhanan membuat manusia menjadi keras dan kaku; ia harus mengikuti segala peraturan yang dibuat Sang Bapa. Pemuja-Nya juga cenderung menjadi ekspansionis.
Sedangkan, para pemuja aspek femininNya lebih mementingkan perjalanan batin ke dalam diri, meditasi, yoga, dan sebagainya. Mereka menyadari bahwa Tuhan berada di kedalaman ‘samudra’ kesadaran di dalam dirinya sendiri. Perjalanan ke dalam ini pada saatnya akan membuat kita menjadi dinamis, kreatif, dan penuh kasih. Mereka pun akan mampu menemukan Tuhan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat buatan manusia.
aham eva vāta iva pra vāmy ārabhamāṇā bhuvanāni viśvā |
paro divā para enā pṛthivyaitāvatī mahinā sam babhūva || 8 ||
Semua bentuk kehidupan Aku embuskan ke segala penjuru seperti angin. Keagungan-Ku melampaui alam benda, langit dan bumi ini.
Catatan:
Pada akhirnya, pemuja-Nya harus melampaui segala sesuatu di alam benda: melepaskan keterikatan dan pandangan yang memisah-misahkan manusia yang satu dengan yang lain, manusia dengan semesta, dan manusia dengan Tuhannya. Segala bentuk kehidupan dan benda-benda yang nampaknya bermacam-macam ini sesungguhnya berasal dari Hyang Tunggal. Mencapai kesadaran ini, manusia memperoleh kebebasan yang sejati.
AUM, Ia Yang Tak Terjelaskan, Sumber Segala Sesuatu.
Sudah sekian ribu tahun manusia membahas Tuhan. Ada begitu banyak teori dan praktik yang lahir dari pemahamannya itu. Namun, apakah kita sudah lebih dekat dengan kebenaran? Saat ini masih sering muncul perdebatan model-tentang-Tuhan mana yang paling benar. Banyak pula yang tak segan “membela” mati-matian model-tentang-Tuhan-nya dan/atau mencoba membuktikan kesalahan model orang lain. Ribuan tahun berlalu, dan sepertinya kita belum juga sampai pada kesimpulan yang satu.
Ketika bencana alam terjadi, ada yang bilang Tuhan sedang marah, dan ada pula yang bilang Tuhan memberikan ujian kepada hamba-hambanya. Tergantung siapa yang kena. Kalau kita sendiri, atau kelompok/keluarga kita, teori kedua yang benar. Kalau orang lain yang jadi korban, kita pakai teori pertama. Apapun itu, kenyataannya kehidupan berjalan lagi dan ingatan kita kembali disibukkan hal-hal lain. Kita tidak pernah benar-benar tahu Tuhan yang mana yang benar.
Sering berpikir mungkin Tuhan itu seperti cermin mahabesar yang netral. Kita lihat apa yg kita buat/mau. Kita pikir Dia apa yg kita lihat, lalu kita berdebat krn itu. Padahal, sebenarnya Dia ada dibalik itu semua. Just be. 😄
Walaupun kita sudah cukup lama tahu bahwa dunia manusia di atas planet Bumi ini bukanlah pusat alam raya, namun mentalitas kita belum banyak berubah. Semesta begitu luas. Planet kita hanyalah setitik debu kecil yang terserak di salah satu sudutnya. Memahami ini, rasanya begitu remeh jika Tuhan hanya mencintai salah satu suku bangsa atau umat hanya karena mereka percaya suatu dogma dan Tuhan membenci lainnya karena tidak mempercayai dogma tadi.
Teori-teori tentang Tuhan, istilah kerennya ‘teologi’, yang didasarkan pada kajian atas suatu teks dibela mati-matian karena keterikatan emosional yang diajarkan kepada kita sejak kecil oleh lingkungan. Teori-teori itu sudah terjalin rumit di dalam pola pikir, adat kebiasaan, tradisi, dan segala apa yang masyarakat lakukan. Jadi, tantangan terhadap teori-teori itu menjadi ancaman terhadap kehidupan kita sendiri yang sepenuhnya bergantung kepada sistem kemasyarakatan. Sering kali teori-teori itu tidak ada hubungannya dengan kebenaran.
Mungkin karena itulah, dulu orang-orang yang berupaya memahami kebenaran pergi menjauh dari masyarakat. Mereka pergi ke tengah hutan rimba atau ke puncak-puncak gunung. Menyepi. Ia hanya mempunyai keterikatan minimal dengan alam. Dalam keheningan itu pandangannya bisa lebih jernih. Sedangkan kita yang masih bergantung kepada masyarakat hanya bisa bermain-main dengan kata-kata dan “katanya” saja. Seberapa pun yakinnya kita terhadap suatu teori, itu hanya “cerminan” pengkondisian yang kita terima.
Ada banyak bentuk pengkondisian masyarakat yang kemudian melahirkan macam-macam teori tentang Tuhan atau teologi. Oleh karena itu, tradisi para resi tidak mengenal teologi. Atau mungkin lebih tepatnya, para resi bermain-main dengan berbagai macam teologi. Ini membuat para ilmuwan modern bingung. Ada yang bilang bahwa Sanatana Dharma itu politeis, ada yang bilang monoteis, kok. Ilmuwan lain menyebutnya monis, henoteis, panenteis, panteis, agnostik, humanis, bahkan ada unsur-unsur ateisme atau nonteisme di dalamnya.
Mana yang benar? Semuanya, sekaligus tidak ada! It doesn’t matter! Tidak masalah apa yang kita mau percayai. Dogma teologi hanyalah langkah-bayi pertama yang seharusnya mengantar kita kepada kebenaran. Dogma teologi adalah bahasa yang gagap. Pada saatnya, teori-teori tadi malah perlu dilepaskan seiring berkembangnya kesadaran kita. Sayangnya tidak semua agama/kepercayaan mempersilakan umatnya menempuh perjalanan mandiri. Kebanyakan malah menuntut kesetiaan, kepatuhan pada dogma. Bahkan ada yang menggunakan ketakutan untuk mencapainya. Mereka menjadi sibuk dengan ‘isme’-nya dan ‘isme’ orang lain.
Keluarlah dari permainan pikiran! Sadari ketakutan yang dibuat-buat demi merantai kaki-kaki kita! Manusia pada dasarnya (bisa) bebas, moksha, dari pengkondisian itu. Mungkin para resi benar bahwa Tuhan adalah kesadaran itu sendiri. Seperti cermin, kita melihat bayang-bayang pikiran kita di atasnya lalu kita pikir itulah Tuhan. Kemudian kita mulai berdebat dan saling menjatuhkan. Kita tidak sadar bahwa ketika bayang-bayang pikiran tak lagi mengganggu-lah, baru kita bisa menyadari keberadaan Sang Cermin.
Benar, Veda mendeklarasikan “ekaṃ sat” [1], bahwa Tuhan itu tunggal dan tidak bisa digambarkan, “na tasya pratimā asti” [2] karena Ia melampaui pikiran manusia. Namun, Veda juga bilang bahwa para bijak dari berbagai tradisi menyebut-Nya dengan berbagai nama, “viprā bahudhā vadanti” [1] dan Ia mewujud dalam berbagai bentuk di semesta raya ini, “ekaṃ vā idaṃ vi babhūva sarvam” [3]. Ialah tuan, dewa, ayah, ibu, saudara, sahabat, kekasih bagi bhakta-nya. Ada banyak jalan menuju-Nya.
Lebih jauh, Ia—yang baka itu—bersemayam di dalam diri kita yang fana ini sebagai diri sejati, Sang Jiwa, “martyasyāmṛtā gṛhe” [4]. Dan orang yang memahami sūtra atau “benang” yang menjalin segalanya ini, maka ia memahami Tuhannya, “sūtraṃ sūtrasya yo vidyāt sa vidyād brāhmaṇaṃ mahat” [5]. Menyadari ini kita akan menjadi baik, sehingga semua perlilaku kita akan menjadi baik pula. Inilah intisari ajaran para Resi sejak dulu dan berlaku selamanya yang menuntun pada sad-cid-ānanda: kebenaran, kesadaran, dan kebahagiaan sejati.
***
CATATAN KAKI:
[1] Rig Veda 1.164.46.
[2] Yajur Veda 32.3.
[3] Rig Veda 8.58.2.
[4] Atharva Veda 10.8.26.
[5] Atharva Veda 10.8.37.
(Tulisan ini adalah hasil penggabungan dan pengembangan seri tulisan saya sebelumnya di blog ini dengan judul yang sama. Seri tulisan itu diakses pembaca secara konsisten setiap harinya, menunjukkan bahwa tema ini cukup populer dan karena itu perlu diperbarui secara rutin.)
Saya pertama kali membaca tentang klaim bahwa Nabi Muhammad ternyata diramalkan di dalam kitab-kitab Hindu sekitar akhir tahun 90-an di sebuah laman internet. Saat itu akses umat Hindu di Indonesia kepada buku-buku keagamaan, terutama sumber-sumber primer dan terjemahannya di luar internet, masih sangat minim. Keterbatasan penguasaan bahasa Inggris, apalagi bahasa Sanskerta, semakin menyulitkan umat memperoleh pengetahuan yang benar. Ketika itu pun saya berpikir, “Wow!”, kalau klaim itu benar maka persaudaraan antar-umat beragama akan terjadi. Ternyata saya terlalu naif.
Klaim-klaim semacam itu bukan untuk menggali benang merah antar-agama yang akan melahirkan rasa persaudaraan. Sama sekali bukan! Ternyata klaim tadi bertujuan untuk menggiring umat Hindu agar meninggalkan agamanya karena sudah ada agama edisi terakhir. Dengan kata lain ini adalah upaya konversi, proselytization yang dilakukan oleh—apa yang saya sebut—para pendakwah-misionaris. Bukan hanya kitab-kitab Hindu yang mereka utak-atik, kitab agama-agama yang lain juga tidak luput. Awalnya saya kira mereka melakukan penelitian secara jujur, apa adanya, tetapi ternyata klaim tersebut menguap semakin dalam saya pelajari.
Gambar diambil dari: smartnews.web.id.
Sejak awal 2000-an saya menemukan misinformasi dan disinformasi (informasi yang salah dan sengaja disebarluaskan untuk memanipulasi atau menipu) ini semakin banyak tersebar, tidak hanya di laman-laman internet namun juga dalam bentuk buku-buku yang bahkan dicetak oleh penerbit ternama dengan konten yang semakin kaya. Sayangnya, konter terhadap mis- dan dis-informasi ini belum banyak dilakukan oleh umat Hindu di Indonesia. Kalaupun ada pembelaannya masih sangat dangkal dan emosional. Apalagi semakin lama, permusuhan dan upaya konversi semakin kencang—perlu upaya konter yang lebih baik dan mendidik kedua belah pihak.
Kenapa, sih, mereka melakukan ini?Setelah saya pelajari, perilaku para pendakwah-misionaris ini didorong oleh kepercayaan bahwa:
agama Islam adalah agama pamungkas dan yang paling benar—sedangkan yang lain entah itu belum sempurna atau salah/palsu/tidak lagi murni;
Nabi Muhammad sudah diramalkan kedatangannya di dalam kitab-kitab suci oleh nabi-nabi sebelumnya sebagai penutup—kalau umat lain tidak tahu, itu karena ramalan tersebut ditutup-tutupi atau kitabnya sudah tidak asli lagi; dan
mereka merasa memiliki kewajiban untuk mencarikan pembenaran dan menyebar-luaskannya dengan cara apapun.
Awalnya mereka hanya mengutak-atik kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun belakangan mereka juga mulai berekspansi ke agama/kepercayaan lain, termasuk kitab-kitab Veda.
Argumen dan konter-argumen bisa kita dapatkan dengan mudah baik on- maupun off-line namun sepertinya para pendakwah-misionaris ini tidak terlalu tertarik menemukan kebenaran. Mereka sudah memiliki “jawaban” di awal, dan upaya-upaya mereka selanjutnya hanyalah mencari pembenaran atas jawaban tersebut, jika perlu dengan melakukan berbagai akrobatik-mental. Dengan mentalitas seperti itu bagaimana bisa mereka belajar hal yang baru dan melihat kenyataan apa adanya? Bertahun-tahun melakukan akrobatik-mental seperti itu mereka semakin lihai tetapi bukan berarti semakin dekat dengan kebenaran.
Pengalaman saya, penjelasan sebaik dan selengkap apapun tidak akan diterima oleh para pendakwah-misionaris ini. Pikiran dan hati mereka sudah tertutupi kepercayaan buta. Mereka mengabaikan prinsip-prinsip yang sering mereka teriakkan ketika ada umat lain yang mencoba mengutak-atik Al Quran. Mereka memenggal ayat-ayat Veda dan Purana yang mendukung klaim mereka dan mempercayainya, tetapi di saat yang sama membuang 99,99% isi kitab yang lain. Mereka juga tidak mempedulikan konteks ayat dan tradisi-spiritual di dalam Sanatana Dharma (Hindu) secara keseluruhan. Apapun dilakukan demi memuaskan ego dan nafsu mereka.
Tulisan ini bukan untuk mereka. Tulisan ini saya buat untuk umat Hindu sendiri agar tidak tertipu klaim-klaim yang bertujuan untuk mengkonversi. Betapa pun indah dan lihainya bahasa dan klaim para pendakwah-misionaris ini, umat Hindu perlu tetap seimbang dan menjaga kejernihan pandangannya. Semoga bermanfaat.
Auṁ Avighnamastu. Idaṃ na mama.
***
KLAIM #1
Umat Hindu sendiri, kok, yang pertama kali mengungkap. Namanya (Pandit) Dr. Veda Prakash Upadhyai, profesor bahasa Sanskerta dan Studi Agama di Universitas Allahabad. Setelah mempelajari kitab-kitab Veda dan Purana secara mendalam, ia menulis buku “Kalki Avatar & Muhammed Saheb”. Jadi, jangan salahkan kami (pendakwah-misionaris) kalau ada kesalahan!
Saya sudah membaca buku tersebut. Yang menarik, ada tulisan “trial of religious integration on the basis of Vedas dan Puranas” di bagian atas sampulnya. Sepertinya tujuan penulis sama naifnya dengan pendapat saya dulu, yaitu untuk mencapai persaudaraan antar-umat beragama, tetapi buku ini malah dijadikan dasar untuk membenarkan upaya-upaya konversi agama. Penulis mencari hubungan antara Awatara Kalki—yang konon dilahirkan pada akhir zaman—dengan Nabi Muhammad.
Fokus para pendakwah-misionaris di sini adalah pada kredensial sang penulis; bahwa orang berpengetahuan seperti beliau saja mengetahui ini. Klaimnya pasti benar! Tanpa merasa perlu melakukan klarifikasi, cross check, mereka menyebarluaskan informasi tersebut. Dan ternyata jika klaimnya salah dan menyesatkan, mereka dengan mudah akan lepas tangan. Ada juga yang berlindung di balik filosofi yang terdengar manis: “hanya Tuhanlah yang tahu!” setelah menyampaikan misinformasi ini. Enak, ya, ikut menyebarkan hoaks atau informasi yang belum diverifikasi yang menguntungkan diri dan kelompoknya, tetapi tidak mau bertanggung jawab—apalagi meminta maaf jika salah!
Klaim pertama ini bisa dibantah dengan cara keluar dari authority bias. Jangan mudah percaya dan silau dengan argumen yang menonjolkan kredensial orang yang menyampaikannya—yang bahkan takterverifikasi. Selanjutnya kita perlu membaca sendiri dan menganalisis apakah klaim-klaimnya benar? Sebagai orang yang mengaku sebagai sarjana bahasa Sanskerta, kutipan-kutipan di dalam buku tersebut sangat jauh dari akurasi. Banyak sekali kesalahan baik itu saltik maupun konsep. Saya tidak akan membahas setiap klaim di dalam buku tersebut karena akan sangat panjang. Saya akan menyinggung sebagian saja di bawah ini.
***
KLAIM #2
Awatara Kalki sesungguhnya adalah Nabi Muhammad.
Apa dasarnya? Salah satu laman yang memuat klaim ini dalam bahasa Indonesia (di sini) menyebutkan buku yang ditulis di atas dan 10 poin untuk meyakinkan bahwa Awatara Kalki adalah Nabi Muhammad. Saya akan ulas satu per satu:
1. Dalam Purana (kitab suci kaum Hindu) dikatakan bahwa Kalki Avatar adalah seorang utusan (nabi) Allah yang terakhir di dunia ini guna membimbing seluruh dunia dan seluruh makhluk manusia.
Betul bahwa kisah Awatara Wisnu bisa dijumpai dalam kitab-kitab Purana, misalnya Srimad Bhagavata Purana dan Kalki Purana—walaupun sebenarnya Kalki Purana tidak termasuk dalam daftar Purana utama. Purana sendiri berarti kisah-kisah kuno baik tentang dewa-dewi maupun raja-raja.
Perlu ditegaskan bahwa awatara atau avatārabukan utusan, nabi, atau rasul Tuhan sebagaimana dipahami di dalam tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi (rumpun agama-agama Abrahamik). Konsep utusan yang membawa risalah atau nubuat dari Tuhan ini asing dan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Veda. Awatara adalah perwujudan Hyang Agung itu sendiri di dunia untuk menegakkan kembali Dharma dan menaklukkan Adharma yang tengah mengancam kehidupan di muka bumi.
Mungkin istilah yang lebih dekat dengan nabi di dalam tradisi Hindu adalah resi atau ṛṣi. Para resi adalah orang-orang—laki-laki dan perempuan—yang telah menempuh tahapan-tahapan spiritual sedemikian sehingga mereka mencapai pencerahan. Pandangan mereka menjadi jernih sehingga bisa “menyaksikan” Kebenaran atau Sat itu sendiri. Para resi adalah enlightened beings yang berbagi penemuannya kepada awam. Saya dan Anda, kita semua bisa mencapai kesadaran itu. Puncaknya, mereka mengajarkan tentang kesejatian diri: “Ahaṃ brahmāsmi”. Tidak ada monopoli dan istilah resi terakhir. Mereka bisa lahir dari masa ke masa.
Benar bahwa di dalam kisah Sepuluh Awatara, Kalki disebut sebagai yang kesepuluh atau terakhir. Namun, sebenarnya lebih tepatnya Kalki turun pada akhir masa Kali-yuga ini. Kali-yuga adalah siklus zaman keempat setelah Satya, Treta, dan Dwapara-yuga, yang mana kesadaran manusia berada di titik terendah. Namun, Kali-yuga tidak diakhiri dengan kiamat semesta raya, tetapi siklus zaman tadi berulang kembali. Dan pada zaman-zaman selanjutnya, jika dibutuhkan Awatara Wisnu akan turun kembali. Tidak ada yang menyebutkan bahwa Hyang Wisnu tidak akan turun lagi setelah menjadi Kalki.
Kebanyakan umat Hindu yang saya tahu juga tidak menunggu-nunggu kedatangan Awatara Kalki, sebagaimana bangsa Yahudi menanti kedatangan mesiah, atau umat Kristen menunggu kedatangan kedua Tuhan Yesus Kristus, atau Imam Mahdi di dalam tradisi Islam. Bahkan, tidak semua sampradaya atau tradisi spiritual Hindu meyakini hal ini. Ada yang bahkan menyebutkan lebih dari 10 awatara! Bisa dikatakan bahwa konsep ini bukanlah konsep utama di dalam semua tradisi Hindu yang wajib diyakini.
Gambaran populer Awatara Kalki.
2. Menurut suatu prediksi agama Hindu, kelahiran Kalki Avatar, akan terjadi di suatu semenanjung yang sekali lagi menurut agama Hindu adalah kawasan Arab.
Klaim ini tidak berdasar. Saya tidak bisa menemukan referensi tentang semenanjung ini di dalam kitab-kitab Purana.
Berdasarkan Srimad Bhagavata Purana—salah satu Purana utama—konon Kalki akan lahir di sebuah kota/daerah mistik bernama Shambala di pegunungan Himalaya. Nah, ada juga pendakwah-misionaris yang mengklaim bahwa Shambala mereka artikan sebagai ‘rumah kedamaian dan keselamatan’, yang menurut mereka sama maknanya dengan Makkah. Perhatikan bagaimana lihainya mereka berakrobat mental!
3. Dalam kitab-kitab kaum Hindu, nama ayah dan ibu Kalki Avatar yang diberikan kepada mereka masing-masing adalah Vishnubhagat dan Sumaani. Seandainya kita memeriksa makna nama-nama ini kita akan sampai kesimpulan yang menarik : Ambil Vishnubhagat= Vishnu (berarti Allah) + Bhagat (berarti hamba) = Allah + Abd (dalam bahasa Arab) = hamba Allah = Abdullah (dalam bahasa Arab) (nama dari ayah Muhammad); Sumaani = kedamaian atau tenangan = Aminah (dalam bahasa Arab) (ibu Nabi Muhammad).
Salah. Nama ayah Kalki yang disebutkan dalam Bhagavata Purana 1.3.25 dan Kalki Purana 2.4 adalah Viṣṇuyaśa yang berasal dari viṣṇu dan yaśa. Yaśabukan berarti hamba atau abdi, tetapi kemuliaan, keindahan, keagungan—demikian pula makna kata bhaga. Sedangkan nama ibunya adalah Sumati (Kalki Purana 2.4). Lagi-lagi, makna sumatitidak sama dengan aminah, dan bukan berarti kedamaian, ketenangan—Sanskerta memiliki kata-kata lain yang sepadan. Kata ini berasal dari: su + mati yang berarti ia yang memiliki pemikiran yang baik/mulia, pengasih.
Tentu saja para pendakwah-misionaris punya seribu satu cara untuk menghubung-hubungkannya. Kadang di satu sisi mereka menuntut harus akurat, di tempat lain mereka tidak merasa perlu supaya bisa dipermainkan sehingga cocok dengan klaim-klaim mereka. Suka-suka saja!
4. Dalam kitab-kitab agama Hindu, disebutkan bahwa makanan pokok adalah kurma dan minyak zaitun dan ia orang yang paling jujur dan setia di kawasan tersebut. Tanpa keraguan apapun Nabi Muhammad Saww dinyatakan memiliki kualitas-kualitas ini.
(No comment. Ini benar-benar ngaco, tidak ada dasarnya sama sekali!)
5. Dinyatakan dalam Veda (kitab suci agama Hindu) bahwa kelahiran Kalki Avatar terjadi pada suku terhormat. Secara sempurna ini hanya cocok pada bangsa Quraisy di mana Nabi Muhammad saww memilikinya.
Lagi-lagi peryataan tersebut maknanya sangat luas, bisa dikenakan pada siapa saja.
6. Allah akan mengajar Kalki Avatar melalui utusan-Nya (malaikat) di sebuah gua. Allah mengajar Nabi Muhammad saww melalui malaikat-Nya, Jibril, di sebuah gua yang dikenal sebagai gua Hira.
Lagi-lagi klaim tanpa dasar. Hanya uthak-athik gathuk.
7. Allah akan membantu Kalki Avatar dengan seekor kuda yang berkecepatan tinggi untuk naik dan mengelilingi dunia dan tujuh langit. Indikasi kepada Buraaq (kuda) dan mi’raj (malam ketika Nabi menembus tujuh langit.
Dapat A+ untuk imajinasi!
8. Allah juga akan membantu Kalki Avatar dengan pertolongan ilahi. Ini khususnya terbukti dalam Perang Uhud.
Of course!
9. Laporan lain yang mempesonakan yang membicarakan tentang Kalki Avatar adalah bahwa ia akan dilahirkan pada tanggal 12 dari sebuah bulan. Sedangkan Nabi Muhammad Saww lahir pada 12 Rabiul Awwal.
Ini ada benarnya. Dalam Kalki Purana 2.15 disebutkan bahwa Kalki lahir para hari ke-12 suklapaksa bulan Vaishaka. Namun, sistem penanggalan yang dipergunakan oleh bangsa Arab berbeda dengan yang digunakan di Hindia.
10. Kalki Avatar adalah seorang penunggang kuda yang hebat dan seorang jago pedang. Penulis di sini menggambarkan perhatian kaum Hindu bahwa hari-hari kuda dan pedang sejati telah berlalu dan saat sekarang adalah senjata dan misil. Oleh karenanya, adalah bodoh pada sebagian orang yang masih mengharapkan Kalki Avatar, yang harus seorang penunggang yang hebat dan jagoan pedang untuk yang akan datang. Sebenarnya, kitab suci Alquran, memuat kualitas-kualitas dan tanda-tanda yang dinisbatkan kepada Kalki Avatar yang mencerminkan Nabi Muhammad Saww.
Detil kisah yang dicantumkan para pendakwah-misionaris berhenti sampai di sini. Padahal banyak hal lainnya yang dikisahkan dalam Kalki Purana. Kenapa? Ya, karena tidak sesuai dengan propaganda yang sedang diracik. Misalnya, disebutkan bahwa Kalki memiliki tiga saudara laki-laki—lahir dari rahim ibunya, Sumati—bernama Kavi, Prājña, dan Sumantra. Viṣṇuyaśa hidup hingga Kalki dewasa—berbeda dengan Abdullah yang tidak sempat melihat putranya karena meninggal dalam perjalanan kembali ke Makkah.
Kalki juga digambarkan memperoleh pendidikan formal di Gurukula. Ia bisa membaca dan menulis—lagi-lagi berbeda dengan Nabi Muhammad. Kalki juga dididik oleh Paraśurāma yang memang salah satu dari orang-orang spesial yang diberikan umur sangat panjang. Masih banyak lagi hal-hal yang tidak sesuai dan nyata-nyata bertentangan di dalam kisah kedua tokoh tersebut.
***
KLAIM #3
Nabi Muhammad diramalkan dalam Atharvaveda 20.127.
Sukta ke-127 di dalam Kanda ke-20 (bagian terakhir) Atharvaveda berisi 14 mantra dan sering disebut Kuntāpa Sūkta. Para pendakwah-misionaris mengatakan bahwa kuntāpa berarti:
pemusnah penderitaan dan mara bahaya = pesan perdamaian dan keselamatan, dan karena itu sama dengan Islam;
kelenjar yang tersembunyi di perut, sesuatu yang tersembunyi dan akan diungkapkan di masa depan, yaitu Nabi Muhammad;
masih terkait dengan makna sebelumnya, perut juga dimaknai sebagai pusar atau titik tengah bumi, yaitu kota Makkah.
Luar biasa kemampuan akrobatik mental mereka!
Kita bisa lihat betapa kreatifnya mereka meracik makna—”kreativitas” seperti ini tidak ada batas dan pertanggungjawabannya—mereka bisa sesuka hati membuat-buat sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Tidak perlu ada pendalaman, apalagi metode ilmiah. Hanya perlu satu: kepercayaan bahwa dirinya benar. Kepercayaan seperti ini membutakan dan membuat mereka “tega” melakukan apa saja. Kalau salah? Ya, tidak apa-apa. Semuanya semata-mata demi membela agama Tuhan, kok.
Para pakar Veda mengatakan bahwa Kuntāpa bersifat tambahan (khila) dan memiliki makna ‘kuyān tapyate’ yaitu membakar keburukan-keburukan. Kitab Gopatha Brāhmaṇa mengatakan bahwa mantra-mantra Kuntāpa diuncarkan untuk memusnahkan, menghilangkan efek-efek buruk, negativitas di sekitar kita. Dan sebenarnya total ada 13 Sukta yang disebut Kuntāpa-Sūktāni, yaitu Sukta ke-2, 48, 49, 127–136 di dalam Kanda yang sama. Jadi, bukan hanya satu Sukta saja!
Kalau Sukta ke-127 membahas Islam/Nabi Muhammad/Makkah, lalu bagaimana dengan Sukta-sukta lainnya? Saya yakin dengan kemampuan imajinasinya, mereka akan mampu merangkai cerita baru yang tidak kalah luar biasa! Kita tunggu saja.
Sambil menunggu, sekarang kita akan mencari tahu apa yang membuat mereka “melihat” Nabi Muhammad di dalam Sukta 127. Sepertinya ada dua kata utama yang mereka yakini sebagai kunci: (1) uṣṭrāḥ, dan (2) māmahe. Uṣṭra memiliki beberapa makna, yaitu kerbau, sapi jantan berpunuk, atau unta (Kamus Monnier-Williams). Oke, kita anggap saja makna kata uṣṭra di sini adalah unta, lantas apakah serta merta Atharvaveda 20.172.2 hanya bisa dikaitkan dengan Timur Tengah atau Arab, dan selanjutnya Nabi Muhammad dan Islam saja?
Wilayah habitat alami unta ternyata cukup luas: dari Afrika Utara, Timur Tengah, hingga ke bagian barat Anak Benua India. Uṣṭra bukan binatang yang asing di dalam kitab-kitab Veda. Di dalam Rigveda (RV 8.46.32 dan 8.5.37), uṣṭra diberikan sebagai hadiah—di samping lembu/sapi—oleh raja-raja kepada para brahmana. Uṣṭra juga tercatat digunakan sebagai penarik kereta di dalam teks-teks lainnya. Para pendakwah-misionaris membatasi makna kata uṣṭra, lalu mengurungnya dalam konteks yang sangat sempit agar mendukung propaganda yang sedang disebarkan.
Peta persebaran habitat unta.
Kata kedua yang membuat para pendakwah-misionaris bersemangat adalah ‘māmahe’. Menurut mereka, ini adalah nama Sang Nabi yang tersembunyi di dalam Atharvaveda 20.127.3. Māmahe, Muhammad. Mirip, kan? Apalagi, kata mereka, māmahe berasal dari akar kata ‘mah’ yang berarti memuja, menyanjung, menghormati, meninggikan atau membesarkan. (Kata ‘maha’ yang diserap ke dalam bahasa Indonesia juga berasal dari akar kata yang sama.) Akar kata ‘muhammad’: ḥ-m-d ternyata juga mengandung akar makna yang sama.
Ada juga yang mengatakan bahwa māmahe sebenarnya berasal dari akar kata ‘maṃh’—yang masih bersaudara dengan √mah—yang berarti: meningkatkan, menambah, memberikan, dan menyampaikan sesuatu (lewat kata-kata). Māmahe dijumpai juga di dalam Rigveda, misalnya: 1.165.13; 5.27.1; 8.1.32; 8.2.42; 8.12.6; dan 10.62.10. Māmahe sebenarnya merupakan kata kerja intensif, jadi bukan kata benda, apalagi nama orang.
Sampai di sini saja sebenarnya sudah cukup untuk mematahkan kebohongan para pendakwah-misionaris. Namun agar lengkap, saya akan kutipkan Sukta 127 beserta makna yang diberikan oleh para pendakwah-misionaris dan sedikit komentar. Kutipan (merah) di bawah diambil dari laman yang mencantumkan nama Zakir Naik sebagai penulisnya (entah benar atau tidak). Zakir Naik juga pernah menyampaikannya dalam ceramah-ceramahnya.
He is Narashansah or the praised one (Muhammad). He is Kaurama: the prince of peace or the emigrant, who is safe, even amongst a host of 60,090 enemies.
Lebih lanjut dijelaskan:
The Sanskrit word Narashansah means ‘the praised one’, which is the literal translation of the Arabic word Muhammad (pbuh). The Sanskrit word Kaurama means ‘one who spreads and promotes peace’. The holy Prophet was the ‘Prince of Peace’ and he preached equality of human kind and universal brotherhood. Kaurama also means an emigrant. The Prophet migrated from Makkah to Madinah and was thus also an Emigrant. He will be protected from 60,090 enemies, which was the population of Makkah.
Di sini Nabi Muhammad dikaitkan dengan dua kata: narāśaṃsaḥ dan kauramaḥ. Narāśaṃsa berarti ‘puja-puji (bagi) seseorang’. Sedangkan Kaurama adalah nama raja/pemimpin suatu bangsa bernama Ruśama. Dalam salah satu kitab Brāhmaṇa, ada indikasi bahwa Ruśama ada kaitannya dengan bangsa Kuru—demikian pula nama Kaurama ada yang mengaitkannya dengan Kaurava (dalam Mahabharata). Entah dari mana makna ‘prince of peace’ atau ‘prince of the emigrant’ diperoleh!
Intinya, Sukta ini berisi eulogi para brahmana atas Kaurama. Siapa dia? Sayangnya laman propaganda tersebut dengan sengaja hanya menjelaskan hingga mantra ke-4 saja. Kalau kita melihat mantra ke-7 hingga 10, dengan jelas disebutkan bahwa Sang Kaurama yang sedang dipuja-puji di dalam Sukta ini adalah Raja Parikesit. Ia adalah keturunan Kuru, sehingga pantas disebut Kaurava/ma. Bagian ini sengaja ditutup-tutupi demi mengecoh umat Hindu.
Mantra di atas sebenarnya bisa diterjemahkan sebagai berikut:
Oh Tuan-dan-Puan, dengarkanlah ini baik-baik, puja-puji akan dilantunkan;
Oh Kaurama, di antara Ruśama, kami menerima enam ribu sembilan puluh.
Perhatikan bagaimana para pendakwah-misionaris memangkas mantra ini dan hanya fokus pada hal-hal tertentu saja:
He is a camel-riding Rishi, whose chariot touches the heaven.
…
The Prophet would ride a camel. This clearly indicates that it cannot be an Indian Rishi, since it is forbidden for a Brahman to ride a camel according to the Sacred Books of the East, volume 25, Laws of Manu pg. 472. According to Manu Smirti chapter 11 verse 202, “A Brahman is prohibited from riding a camel or an ass and to bathe naked. He should purify himself by suppressing his breath”.
Mereka melewatkan bagian Sang Kaurama menghadiahkan kereta berserta 20 ekor uṣṭra jantan yang diiringi betinanya. Kereta tersebut memiliki bagian yang menjuntai (saya membayangkan seperti penjor) begitu tinggi, dan melengkung seolah menghindari “menggores” langit.
Kutipan di atas saltik menyebutkan sloka 202 dalam bab ke-11 kitab Hukum Manu—seharusnya 201. Sloka ini mengatakan bahwa seorang brahmana yang dengan keinginan sendiri menaiki kereta yang ditarik unta atau keledai, dan yang mandi telanjang hendaknya menyucikan diri dengan pengaturan napas tertentu. Dan karena itulah Sang Kaurama pastilah orang non-Hindu.
Kitab Hukum Manu tergolong kitab smṛti yang berisi aturan yang berlaku pada suatu zaman tertentu dan bukan kitab suci utama yang dipegang setiap umat Hindu. Entah mengapa secara spesifik Manu melarang brahmana menaiki kereta yang ditarik unta atau keledai—ini perlu pendalaman lebih lanjut. Namun yang jelas pada masa Sang Kaurama hal tersebut sepertinya tidak menjadi masalah, uṣṭra bisa dipakai dan bahkan dijadikan sebagai hadiah.
Bisa kita baca bahwa mantra ini mengatakan Sang Kaurama memberikan hadiah kepada seorang Resi, kereta beserta uṣṭra-nya. Sementara itu para pendakwah-misionaris mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Sang Resi. Jadi yang mana Sang Nabi? Kaurama atau Resi yang menerima hadiah tersebut?
He is Mamah Rishi who is given a hundred gold coins, ten chaplets (necklaces), three hundred good steeds and ten thousand cows.
…
This mantra gave the Rishi’s name as Mamah. No rishi in India or another Prophet had this name Mamah which is derived from Mah which means to esteem highly, or to revere, to exalt, etc. Some Sanskrit books give the Prophet’s name as ‘Mohammad’, but this word according to Sanskrit grammar can also be used in the bad sense. It is incorrect to apply grammar to an Arabic word. Actually shas the same meaning and somewhat similar pronunciation as the word Muhammad (pbuh).
He is given 100 gold coins, which refers to the believers and the earlier companions of the Prophet during his turbulent Makkan life. Later on due to persecution they migrated from Makkah to Abysinia. Later when Prophet migrated to Madinah all of them joined him in Madinah.
The 10 chaplets or necklaces were the 10 best companions of the Holy Prophet (pbuh) known as Ashra-Mubbashshira (10 bestowed with good news). These were foretold in this world of their salvation in the hereafter i.e. they were given the good news of entering paradise by the Prophet’s own lips and after naming each one he said “in Paradise”. They were Abu Bakr, Umar, Uthman, Ali, Talha, Zubair, Abdur Rahman Ibn Auf, Saad bin Abi Waqqas, Saad bin Zaid and Abu Ubaidah (May Allah be well-pleased with all of them).
The Sanskrit word Go is derived from Gaw which means ‘to go to war’. A cow is also called Go and is a symbol of war as well as peace. The 10,000 cows refer to the 10,000 companions who accompanied the Prophet (pbuh) when he entered Makkah during Fateh Makkah which was a unique victory in the history of mankind in which there was no blood shed. The 10,000 companions were pious and compassionate like cows and were at the same time strong and fierce and are described in the Holy Quran in Surah Fatah:
“Muhammad is the Messenger of Allah; and those who are with him are strong against unbelievers, (but) compassionate amongst each other.” [Al-Qur’an 48:29]
Silakan cek sendiri apakah klaim kisah sejarah Nabi yang disebutkan di atas memang benar atau hanya cara untuk mencocok-cocokkan apa yang ditulis di dalam mantra ini. Saya sudah jelaskan di atas tentang kata māmahe. Lagi-lagi di sini Nabi merupakan resi penerima hadiah, padahal pada mantra pertama beliau adalah sang pemberi hadiah. Pusing sendiri!
Mantra ini menjelaskan hadiah-hadiah lain yang diberikan Sang Kaurama: seratus kalung emas, sepuluh kalung bunga, 300 kuda, 10.000 sapi.
20.127.4. vacyasva rebha vacyasva vṛkṣe na pakve śakunaḥ, naṣṭe jihvā carcarīti kṣuro na bhurijoriva.
Vachyesv rebh. ‘Oh! ye who glorifies’.
…
This mantra calls the Prophet as Rebh which means one who praises, which when translated into Arabic is Ahmed, which is another name for the Holy Prophet (pbuh).
Mantra ini ditujukan kepada sang resi yang disebut Rebha. Nama ini berarti pemuja, pelantun mantra-mantra pujian. Maknanya tidak persis sama dengan ‘ahmad’ sebagaimana klaim di atas.
Menerima berbagai persembahan raja, Rebha diminta untuk terus melantunkan mantra-mantra demi kesejahteraan seluruh penduduk. Lantunan Rebha dipadankan dengan nyanyian burung yang tinggal di pohon penuh buah—tiada putus, lantang, jelas.
Dari keempat mantra di atas saja kita bisa menyimpulkan bahwa isi Kuntāp Sūkta ini sama sekali berbeda dengan klaim para pendakwah-misionaris. Mereka memaksakan makna tertentu yang lain sama sekali dengan makna sebenarnya yang terkandung di dalam mantra-mantra di atas. Mereka juga dengan sengaja memotong Sukta ini dan sengaja tidak menampilkan mantra-mantra selanjutnya—yang tentu saja tidak sesuai dengan agenda mereka.
***
KLAIM #4
Nabi Muhammad diramalkan dalam kitab-kitab Veda yang lain.
Saya tidak akan banyak mengulas klaim ini satu per satu karena konyol, ngawur, dan saya tidak ingin membuang-buang waktu. Namun, ada beberapa poin penting yang bisa kita lihat dari klaim-klaim ini—cara-cara yang digunakan para pendakwah-misionaris mencapai tujuannya:
Semua kata (benda) yang bermakna ‘ia yang pantas dipuji, diagungkan, dimuliakan’ dan sebagainya yang mirip dengan makna kata muhammad atau ahmad dalam bahasa Arab pasti merujuk Sang Nabi—tidak bisa yang lain.
Semua kata (benda atau kerja, tidak masalah) yang seolah-olah mirip dengan muhammad atau ahmad, misalnya māmahe, ahamiddhi, dan seterusnya sudah pasti merupakan nama Nabi yang diramalkan—tidak bisa yang lain.
Pertempuran-pertempuran yang terekam di dalam Veda pasti menggambarkan berbagai pertempuran yang dilakukan Nabi—tidak bisa yang lain.
***
KLAIM #5
Nabi Muhammad disebutkan di dalam kitab Bhavishya Purana 3.3.3 sebagai Mahamada-acharya.
Klaim terakhir ini sebenarnya blunder dari pihak para pendakwah-misionaris. Memang benar di dalam Bhavishya Purana ada bagian yang mengisahkan seorang tokoh bernama Mahāmada-ācārya. (Ācārya berarti guru atau orang yang mengajar lewat contoh perilakunya.) Namanya memang mirip dengan Sang Nabi. Ada beberapa detail lain yang menarik. Namun, penggambaran Mahāmada di dalam Bhavishya Purana cukup negatif. Ia disebut guru para pisacha, yaitu manusia-manusia yang kesadarannya masih rendah dan belum tersentuh Sanatana Dharma. Ia tinggal di tengah daerah gurun. Mahāmada sendiri berarti ‘ia yang membingungkan orang-orang’.
Kelahiran Mahāmada terkait dengan kisah lain yang lebih tua di dalam Purana yang lain. Ia datang untuk mengumpulkan para pisacha atau raksasa dibawah payung ajaran yang penuh dengan dominasi, ego, dan akan membawa banyak kerusakan di muka bumi. Walaupun demikian, Hyang Wisnu berkata bahwa kehadirannya ke dunia adalah atas kehendakNya jua. Saya tidak ingin berspekulasi di sini apakah kedua tokoh sama. Umat Hindu sendiri tidak banyak yang tahu kisah ini secara lengkap. Ada cukup banyak tulisan mengenai ini. Silakan cari dan nilai sendiri.
***
PENUTUP
Kejadian ini membuka mata saya bahwa kepercayaan buta, iman yang menuntut pembenaran (bukan kebenaran), pemberhalaan kitab sangat berbahaya—apalagi jika itu saja yang kita tahu dan terima sejak kecil. Saya juga bisa melihat bahwa tidak semua agama sama di mata orang lain—berbeda dengan ajaran Veda yang menyadari bahwa ada banyak jalan menuju Hyang Tunggal dan setiap jalan/tradisi pada gilirannya akan bertemu di titik yang sama. Tidak masalah siapa nama Tuhan yang disembah, bagaimana cara menyembah, atau mau ikut guru/prophet/resi yang mana.
Sanatana Dharma tidak menuhankan teks atau kitab sucinya, dan bahkan dengan lantang menolak fundamentalisme agama:
Bagi mereka yang dungu, wahai Arjuna, apa yang tersurat di dalam Veda—kitab-kitab suci—adalah segalanya. Mereka—para dungu itu—penuh dengan berbagai keinginan duniawi; tujuan mereka hanyalah kenikmatan surga; atau kelahiran kembali di dunia benda—untuk itulah mereka berkarya. Bermacam-macam ritus, upacara yang mereka lakukan, pun semata untuk meraih kenikmatan indrawi, dan kekuasaan duniawi.
— Bhagavad Gita 2:42-43 (terjemahan Swami Anand Krishna).
Bagi seorang bijak yang telah meraih Kesadaran Hakiki tentang dirinya, pengetahuan dari Veda—kitab-kitab suci—ibarat kolam di daerah yang berlimpah air, tidak akan pernah kekurangan air.
— Bhagavad Gita 2:46.
Walaupun berasal dari manusia, Kebenaran harus diterima. Dan sebaliknya, meskipun suatu ajaran termuat di dalam kitab suci namun bila tidak mengandung Kebenaran, maka tolaklah ia. Kebenaran yang diucapkan oleh anak-anak sekalipun harus diterima; dan walaupun keluar dari mulut Brahma, sang pencipta, jika tidak mengandung Kebenaran, maka tolaklah ia.
— Nasihat Resi Wasista kepada Sri Rama di dalam Yoga Vashistha.
The study of Scripture is useless as long as the highest Truth is unknown; and it is equally useless when the highest Truth has already been known. — Shri Adi-Shankaracharya dalam Vivekacudamani.
“Satyameva jayate, na anṛtam.” Hanya Kebenaranlah yang berjaya, bukan kepalsuan, ketidakbenaran, kebohongan.
— Mundaka Upanishad
Ajaran yang demikian ini membebaskan, mengarahkan manusia untuk mencari Kebenaran—bukan pembenaran atas apa yang telah dipercayai. Beban pembuktian di atas pundak terlepas dengan sendirinya, sehingga langkah kita mencari Kebenaran akan lebih ringan. Teks-teks suci, dari tradisi mana pun, mengandung hal-hal yang mulia, universal, dan pada masanya revolusioner. Setiap manusia bisa memetik hikmat kebijaksanaan dari sumber-sumber ini. Namun di saat yang sama—kalau mau jujur—ada hal-hal yang sudah tidak lagi relevan. Setiap manusia bisa mengembangkan kapasitas untuk memilah mana yang tepat dan mana yang tidak (Viveka dalam bahasa Sanskerta)—inilah yang harus terus dikembangkan!
Jadi jika narasi para pendakwah-misionaris benar dan umat Hindu harus meninggalkan tradisinya yang terbuka dan memberi kebebasan berpikir untuk digantikan dengan kepercayaan yang sempit dan dogmatis, demi surga yang sebenarnya hanyalah perpanjangan dari kenikmatan-kenikmatan duniawi, bukankah itu adalah sebuah kemunduran?
(CATATAN: Tulisan ini pertama kali saya posting pada 10 Agustus 2018 dan akan diperbarui secara berkala. Tulisan ini terakhir diperbarui pada 14/10/2019.)
Buat sebagian orang kasta dan hinduisme saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Bagi mereka setiap orang Hindu harus masuk ke dalam sistem kasta, dan kasta adalah ajaran yang hanya ada dalam Hinduisme. Pandangan ini memperoleh “afirmasi” dari kenyataan yang ada di tengah sebagian komunitas Hindu, khususnya dan yang paling banyak menyita perhatian adalah praktik sistem kasta di India. Penerapan sistem kasta yang tidak manusiawi kerap menjadi noda hitam dan titik serang terhadap Hinduisme dari luar.
Hal ini tidak bisa, dan tidak perlu ditutupi. Perilaku buruk yang ada di dalam masyarakat perlu dilihat dengan jujur, barulah kemudian itu bisa dianalisi lalu diperbaiki. Kenyataannya, praktik kasta bisa digunakan sebagian orang untuk mengkerdilkan potensi manusia, menciptakan ketidakadilan, dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok marginal. Semua itu tentu saja bertentangan dengan ajaran dasar dalam Hindu Dharma. Misalnya di dalam Maha Upanishad disebutkan bahwa:
“Mereka yang picik berpikir demikian: ‘ini kaum/umatku, dan yang itu bukan’. Namun mereka yang berpikiran luhur melihat bahwa sesungguhnya seluruh dunia (vasudhaiva) adalah satu keluarga (kuṭumbakam).”
Kesalahpahaman tentang praktik kasta ini juga sengaja dijaga. Kasta terus langgeng di tengah sebagian masyarakat Hindu karena tidak hanya menguntungkan segelintir elit di dalam masyarakat Hindu sendiri namun juga para misionaris. Para misionaris berkepentingan menyudutkan ajaran Hindu sehingga mereka bisa “memanen” umat yang tidak setuju dengan praktik kasta. Mereka memanfaatkan kekuatan pengaruh mereka untuk memelihara stigma dan narasi yang salah—misalnya di dalam media massa yang mereka kuasai, serta di dalam pelajaran di sekolah hingga universitas—dan jelas-jelas tidak berkepentingan untuk memperbaiki kekeliruan. Mereka sebenarnya tidak berpihak pada yang tertindas oleh praktik kasta, tetapi melihatnya sebagai peluang memperbanyak jumlah umat.
Bukan Agama Dogmatis Oke, mari untuk sesaat kita anggap saja sistem kasta (sebagaimana yang dipahami awam) adalah bagian dari ajaran Hindu. Namun, bukan berarti bahwa umat Hindu sendiri tidak punya kemampuan dan mekanisme untuk menilai apakah suatu ajaran masih relevan dan bisa diterapkan. Tidak seperti kepercayaan berbasis dogma kitab suci, Hinduisme percaya bahwa kebijaksanaan dan kesadaran yang pernah diperoleh para resi dahulu dan terangkum dalam teks-teks suci śruti bersifat abadi dan selalu mengalir, tidak berhenti pada satu waktu di masa lalu dan ikut berkembanng bersama meluasnya kesadaran manusia. Pemahaman dan penerapannya bisa berkembang mengikuti deśa, kāla, pātra—yaitu tempat/kondisi, waktu/zaman, serta orang/subyeknya. Untuk itu dibutuhkan buddhi dan viveka.
Sebagai agama yang berakar dari peradaban yang berumur lebih dari 5.000 tahun, Hinduisme atau Sanatana Dharma telah menyaksikan perubahan-perubahan yang terjadi dari zaman ke zaman sehingga ia tidak mengharamkan pemahaman baru, penyegaran. Karena itulah Sanatana Dharma disebut juga Nutana Dharma. Nutana berarti selalu membaru. Teks suci tidak dipandang sebagai sesuatu yang baku dan kaku. Bahkan kesadaran, kebijaksanaan, pencerahan yang diperoleh para resi dulu masih bisa diakses oleh para suci, bijak, guru, begawan masa kini.
“Sumber utama ajaran Dharma adalah kitab-kitab śruti(Veda inti), kitab-kitab smṛti(turunan śruti yang terdiri dari berbagai śāstra, wiracarita Mahabharata dan Ramayana, pustaka-pustaka Puraṇa, dan seterusnya), serta śiṣṭācāra(ajaran dan contoh perilaku para suci/bijak yang senantiasa hidup dalam kebenaran dan kemuliaan). Ketiganya ini sanātana (sangat tua namun langgeng).” —Sara-samuccaya 46
Kitab-kitab suci (śruti dan smṛti) seperti telunjuk yang menunjuk kepada Dharma, Kebijaksanaan, Kesadaran itu sendiri. Sedangkan para suci, bijak, guru, begawan masa kini ini adalah “kitab yang hidup”. Mereka membabarkan ajaran Dharma (śiṣṭa) lewat teladan perilaku hidup yang berkesadaran (ācāra). Mereka hadir di tengah-tengah masyarakat dari zaman ke zaman. Tidak ada istilah resi atau guru terakhir, atau mesiah tunggal. Inilah kunci kelanggengan Dharma. Jika bersandar pada teks saja kita akan mudah terjebak dalam fundamentalisme dan melanggengkan sesuatu yang boleh jadi sudah tidak lagi cocok diterapkan pada deśa, kāla, pātra saat ini.
Hinduisme mengenal tradisi pencarian ke dalam diri untuk menemukan Kedewataan. Mereka yang telah berhasil menyaksikan-Nya dan menaklukkan hawa nafsunya kemudian berbagi di tengah masyarakat. (Gambar: blavatskytheosophy.com).
Bahkan dikatakan dalam Mahabharata 13.162.60 bahwa Dharma ada di dalam diri, ‘being’ setiap makhluk sehingga menjalankan Dharma sesungguhnya baik untuk makhluk itu sendiri. Dharma adalah sesuatu yang natural, muncul ketika manusia tidak lagi terperangkap dalam preya (kejar mengejar kesenangan sementara) dan telah memahami śreya(segala apa yang baik dan memuliakan, bukan hanya menyenangkan). Pemahaman dasar inilah yang perlu dipahami sebelum kita masuk ke dalam pokok pembahasan kita.
Kasta vs Varṇa
Banyak mengira bahwa kasta adalah istilah Sanskerta dari dalam Hindu sendiri. Istilah ini sebenarnya adalah “pemberian” bangsa Portugis. Kasta berasal dari bahasa Portugis ‘casta’ yang berarti: keturunan, ras, kasta. Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin ‘castus’ = memotong, memutus. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah pembagian kelompok-kelompok dalam masyarakat berdasarkan keturunan/ras yang dikenal sebagai kasta ini dikenal dalam teks-teks suci Hindu?
Kasta sering dipadankan dengan varṇa yang memang menggolongkan manusia ke dalam empat kelompok: Brāhmaṇa, Kṣatriya, Vaiśya, dan Śūdra. Kata varṇa sendiri berarti warna (seperti dalam bahasa Indonesia), berbagai suara/aksara dalam susunan alfabet, atau penggolongan/pengelompokan. Akar katanya adalah vṛ yang bermakna: menutupi/melapisi (seperti cat), memilih, membagi. Lantas, keempat varṇa tadi dibagi beradasarkan apa? Ras, kelahiran, keahlian, bakat, atau keinginan si individu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama kita perlu memahami asal konsep varṇa di dalam teks-teks inti Hindu. Pembagian varṇa pertama kali muncul di dalam Rig Veda sebagai berikut:
Purusha Sukta adalah salah satu bagian dari Rig Veda yang cukup populer. Di dalam sukta ini digambarkan secara puitis dan filosofis bagaimana segala sesuatu di alam raya, termasuk masyarakat manusia, tercipta. Sukta ini menggambarkan bahwa segala sesuatu ini lahir/tercipta karena pengorbanan Purusha, atau sang manusia kosmis. Sang Purusha mempersembahkan dirinya ke dalam api yajña, dan kemudian dari tubuhnya muncul segala sesuatu dari benda-benda langit, matahari, bulan, keempat Veda, para dewa, begitu pula makhaluk-makhluk hidup di muka bumi, dan seterusnya.
Mantra kedua belas di atas kemudian menggambarkan bahwa mulut Sang Purusha menjadi para brāhmaṇa, lengan-Nya para kṣatriya atau rājanya,lalu paha-Nya para vaiśya, dan kaki-Nya śūdra—demikian, tatanan sosial juga lahir dari Sang Purusha. Karena pernyataan bahwa śūdra berasal dari kaki Purusha inilah kebanyakan orang yang tidak memahami Hindu secara utuh menganggap kelompok ini paling rendah dan bisa diperlakukan seenaknya.
Ini tidak benar. Apakah kita membeda-bedakan anggota tubuh kita, yang di bawah lebih nista dari yang di atas? Mantra ini mengajarkan bahwa setiap anggota masyarakat haruslah berfungsi seperti setiap bagian anggota tubuh melayani keseluruhan sesuai peran masing-masing. Harmoni ini bukan hanya antara manusia yang memainkan berbagai peran di dalam masyarakat, namun juga antara manusia dengan alam raya, para dewa (yang juga lahir dari Purusha yang sama), serta manusia dengan makhluk-makhluk lainnya.
yad grāme yad araṇye yat sabhāyāṃ yad indriye, yac-chūdre yad arye yad enaś cakṛmā vayaṃ yad ekasyādhi dharmaṇi tasyāvayajanam asi. — Yajur Veda 20.17.
Maafkanlah kesalahan-kesalahanku (enas), Oh Tuhan, baik yang kulalukan di desa (terlihat jelas, terang-terangan) maupun di hutan (sembunyi-sembunyi), dalam majelis (kepada masyarakat) maupun kepada indraku (diri sendiri). Kesalahan-kesalahan yang kuperbuat kepada śūdra (mereka yang membantuku), dan kepada arya (mereka yang kucintai, kulayani, kuhormati), bahkan kesalahan/dosa yang kuperbuat ketika menghalang-halangi seseorang menjalankan dharma-nya, aku memohon ampunanMu.
Agar berjalan dengan baik, setiap masyarakat memerlukan orang-orang yang bekerja di beragam sektor.
Seperti organ-organ tubuh, setiap manusia memiliki sifat dan peran yang berbeda-beda. Tubuh kita tidak bisa diisi semua oleh otak, tanpa jantung, usus, kaki, dan sebagainya. Inilah yang disampaikan oleh Shri Krishna di dalam Bhagavad Gita 18.41, bahwa keempat varṇa ditentukan oleh dua hal: guṇa(sifat, karakter, kualitas) dan karma(tindakan, peran, perbuatan) seseorang. Setiap varṇa kemudian memiliki kode etik tersendiri: varṇa-dharma, demi menjalankan keseluruhan fungsi dalam masyarakat.
Ada yang berpendapat bahwa seorang brāhmaṇa harus memiliki guṇa sattva—dilambangkan dengan warna putih—yang dominan. Para kṣatriya bisa memiliki rajas—dilambangkan dengan warna merah—yang cukup kuat, namun harus disertai oleh sattva. Sedangkan seorang vaiśya dominan rajas dan tamas. Sedangkan śūdra dominan tamas—dilambangkan dengan warna hitam. Ada juga pendapat-pendapat lainnya. Setiap varṇa punya peran dan sesuatu yang disumbangkan bagi masyarakat.
“Atas kehendak-Ku lahirlah keempat varṇa berdasarkan sifat dan peran masing-masing. Walaupun demikian, Aku (yang ada di dalam diri setiap individu) tidak berubah, tidak terbagi, dan tidak terpengaruh.” —Bhagavad Gita 4.13.
Seorang brāhmaṇa mengurusi hal-hal yang terkait dengan ritual keagamaan, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Mereka adalah para pendeta, pendidik, ahli hukum, filsuf, dan ilmuwan. Dalam menjalankan perannya, mulut menjadi orang yang penting bagi mereka. Kṣatriya memiliki peran untuk pertahanan, bekerja dalam pemerintahan, dan tata kelola masyarakat—ini dekat dengan fungsi tangan dan lengan. Mereka adalah para tentara, polisi, pegawai pemerintahan, anggota dewan, dan seterusnya.
Ada hal yang menarik dengan kelompok vaiśya dan śūdra. Pada mulanya, vaiśya adalah semua yang lain (viśva = semua) di luar dua kelompok yang disebutkan sebelumnya. Pada beberapa teks lain dan yang lebih tua, sering disebut tiga varṇa saja. Mereka ini adalah para penggerak utama perekonomian, mereka adalah pencipta kekayaan atau wealth. Di kemudian hari peran ini menjadi lebih spesifik: para pebisnis, petani, nelayan, pedagang, seniman dimasukkan sebagai vaiśya. Sedangkan śūdra adalah mereka yang memberikan tenaga dan keahliannya membantu peran yang lain.
Pembagian tugas seperti dalam sistem varṇa ini sebenarnya bisa dijumpai di semua masyarakat, bahkan di luar masyarakat Hindu, dan terjadi secara alami. Jika setiap orang memahami karakter dan sifat dasarnya, kemudian bekerja di bidang yang sesuai tentu saja akan membuatnya bahagia dan ia akan berkontribusi secara optimal. Veda tidak menyebutkan secara spesifik bahwa varṇa seseorang harus sama dengan kedua orang tuanya. Bahkan kita bisa berpindah dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Banyak contohnya di dalam pustaka suci Veda. Dalam praktiknya, seiring waktu, terjadi pergeseran.
Sistem varṇa memiliki landasan yang mungkin asing di zaman modern yang individualistis, yang kerap hanya menekankan pada satu sisi saja: kepuasan diri sendiri, passion masing-masing.Sering kali kita menginginkan sesuatu yang menyenangkan, preya, namun lupa menanyakan apakah ini sesuai, baik, mulia, dan memuliakan, śreya. Menurut saya, ini adalah inti dari kebijaksanaan sistem varṇa: kenali dirimu, bakat dan karaktermu (guṇa), serta temukan pekerjaan (karma) yang tidak hanya baik untuk dirimu, tapi juga untuk masyarakat luas. Namun di atas itu semua, potensi utama kita adalah sama dan satu: menjadi manusia, kemanusiaan itu sendiri.
***
Berikut ini adalah mantra-mantra Veda yang juga terkait dengan varṇa, profesi, peran seseorang di dalam masyarakat sebagai pengaya:
Rig Veda, Mandala 9, Sukta 112:
nānānaṁ vā u no dhiyo vi vratāni janānām | takṣā riṣṭaṁ rutam bhiṣag brahmā sunvantam icchatīndrāyendo pari srava || 1 || Artinya: Manusia memiliki berbagai pemahaman/inteligensia (dhī) dan pekerjaan/peran (vrata). Tukang kayu memperbaiki (perabot) yang rusak, dokter menyembuhkan si sakit, para bijak mencari sari kebijaksanaan. Oh Soma, mengalirlah dari segala penjuru untuk Indra (Jiwa).
jaratībhir oṣadhībhiḥ parṇebhiḥ śakunānām | kārmāro aśmabhir dyubhir hiraṇyavantam icchatīndrāyendo pari srava || 2 || Artinya: Ada yang bekerja dengan kayu-kayu tua, ada yang bekerja dengan tumbuhan obat, ada yang bekerja dengan bulu-bulu burung. Pencari emas mencoba menemukan emas di dalam bebatuan sepanjang hari. Oh Soma, mengalirlah dari segala penjuru untuk Indra (Jiwa).
kārur ahaṁ tato bhiṣag upalaprakṣiṇī nanā | nānādhiyo vasūyavo ‘nu gā iva tasthimendrāyendo pari srava || 3 || Artinya: Aku seorang penyair. Ayahku seorang penyembuh, dan ibuku bekerja sebagai penggiling (biji-bijian). Dengan berbagai tujuan, pemahaman, semua orang mencari kebaikan/kekayaan (vasu) dan kami mengikutinya (vasu) seperti sapi-sapi. Oh Soma, mengalirlah dari segala penjuru untuk Indra (Jiwa).
Yajur Veda 18.48:
rucaṃ no dhehi brāhmaṇeṣu rucaṃ rajasu naskṛdhi, rucaṃ viśyeṣu śūdreṣu mayi dhehi rucā rucam. Artinya: Berikanlah pencerahan (ruca = cahaya, pencerahan) kepada para brahmana, kepada para ksatriya, waisya, dan shudra. Berikanlah juga kepadaku pencerahan melalui cahayaMu.
Yajur Veda 26.2.a–b:
yathemāṃ vācaṃ kalyāṇīmāvadāni janebhyaḥ, brahmarājanyābhyāṃ śūdrāya cāryāya ca svāya cāraṇāya ca. Artinya: Kusampaikan kata-kata/ajaran yang mulia & memuliakan ini kepada semua manusia, kepada para brahmana, ksatriya, kepada para shudra dan kepada waisya, kepada sanak-kerabat, juga kepada orang-orang asing.
Mantra Tryambaka (dimulai dengan kata ‘tryambakam’)—disebut juga sebagai Mahā-Mṛtyuñjaya Mantram—merupakan salah satu mantra Veda yang dikenal luas. Mantra ini diucapkan untuk menaklukkan mṛtyu yaitu kematian atau kesadaran rendah, dan mengantar kepada keabadian atau kesadaran Jiwa. Mantra ini bisa dijumpai di dalam Rig Veda 7.59.12, Yajur Veda 3.60, dan Atharva Veda 14.1.17 dan ditujukan kepada Sang Hyang Tryambaka yang memiliki tiga (tri) mata (ambaka), yaitu nama lain Sang Hyang Rudra. Di kemudian hari, pada masa Puraṇa, Sang Hyang Rudra lebih dikenal sebagai Sang Hyang Shiwa.
Aitareya Brāhmaṇa mengisahkan Sang Hyang Rudra muncul dari gabungan amarah para dewa ketika mereka berusaha menghentikan upaya Prajāpati mengawini putrinya (baca: ciptaannya) sendiri, Ushā. Singkat cerita, Hyang Rudra berhasil menusuk dan melukai Prajāpati. Namun, hal ini malah membuat para dewa tersadar bahwa apa yang mereka anggap sebagai perbuatan amoral tersebut sesungguhnya adalah bagian dari proses penciptaan. Penciptaan terjadi melalui serangkaian proses berantai, elemen-elemen dasar “bersenggama” membentuk elemen baru, dan begitu seterusnya alam semesta berubah dari sederhana menjadi semakin kompleks.
Legenda ini mungkin ingin menjelaskan fenomena alam yang berkebalikan dari gerak penciptaan, yaitu peleburan/pemusnahan. Penciptaan tidak takterbatas. Ada kekuatan alam yang berkebalikan: chaos, ketidak-teraturan. Kekuatan inilah yang menurut saya digambarkan sebagai Sang Hyang Rudra. Ia digambarkan mengerikan—sebagaimana kebanyakan orang memandang kematian, bencana, perpisahan, dan sebagainya—dan sangat perkasa. Ia digambarkan sebagai sosok yang gelap—kita tidak pernah tahu pasti kapan hal-hal di atas datang menghampiri (di dalam Veda, Hyang Rudra bersenjatakan panah yang bisa mengenai kita tanpa tahu siapa/kapan dilepaskan). Manusia, dengan segenap daya, mencoba menghindarinya. Hal ini digambarkan dengan Hyang Rudra yang kerap tidak ikut diundang dalam ritual-keagamaan kebanyakan orang. Mereka lebih memilih mengundang hal-hal yang menyenangkan: kesejahteraan, kehidupan, ilmu pengetahuan, dan seterusnya.
Hyang Rudra juga sering dikaitkan dengan angin topan-badai. Veda menyebut ada 11 Rudra di antarikṣa. Elemen angin terkait dengan prāṇa atau aliran kehidupan, napas yang menghidupkan dan menghubungkan lapisan fisik (tubuh) dan lapisan mental-emosional (manas). Ia juga vāta yang membuat kita bisa bergerak sekaligus juga membuat kita menua. Ialah yang menghidupkan dan mematikan. Keduanya ini takterpisahkan. Oleh karena itu Sang Hyang Rudra kemudian diasosiasikan dengan proses transformasi (kematian yang lama dan kelahiran yang baru). Seperti emas yang perlu melalui proses pemurnian—proses yang tidak menyenangkan, tetapi dibutuhkan.
Sang Hyang Rudra juga digambarkan selalu membawa kantung berisi obat-obatan yang diperolehnya di pegunungan dan hutan-hutan. Bahkan Rig Veda 2.33.2, 4 menyebutnya sebagai vaidyanātha yaitu penguasa para penyembuh, dokter sekaligus dukun dan praktisi ilmu hitam. Oleh karena itulah, Sang Hyang Rudra juga dipuja untuk memperoleh perlindungan dari mereka. Para dewa juga membutuhkan Hyang Rudra untuk mengalahkan Vṛtra. Hal ini mengingatkan kita bahwa tidak jarang kekerasan, pembedahan, perang, bencana, kematian dibutuhkan untuk menjamin berlangsungnya kehidupan. Saat para dewa tidak berdaya mengalahkan Vṛtra dan terluka oleh panah-panahnya, mereka melantunkan mantra Tryambaka kepada Hyang Rudra (Rig Veda 7.59.12):
tryambakam yajāmahe = kami memuja Tryambaka (Ia yang memiliki tiga mata, tri-ambaka); su-gandhim = (Ia yang) harum, wangi; puṣṭi-vardhanam = (Ia yang) memberikan kesejahteraan atau kebahagiaan (puṣṭi) yang melimpah dan terus berkembang (vardhana);
urvārukam iva = seperti mentimun (urvāruka adalah sejenis mentimun yang ketika buahnya matang terlepas sendiri dari tangkainya); bandhanāt = terlepas dari tangkainya; mukṣīya = bebaskanlah aku; mṛtyoḥ = dari kematian/kesadaran badan yang lebih rendah; mā amṛtāt = bukan (mā) dari keabadian/kesadaran Jiwa yang lebih tinggi.
Kami memuja Engkau,
Sang Hyang Rudra, Shiwa,
yang memiliki tiga mata
—yang bisa melihat masa lalu, kini, dan nanti,
serta ketiga alam…
Engkau penuh dengan
wewangian yang menarik hati,
Engkaulah pemberi kesejahteraan, kebahagiaan
yang tiada habisnya dan selalu bertambah…
Bebaskanlah aku dari kefanaan, sebagaimana mentimun masak terlepas sendiri dari tangkainya, lepaskanlah aku dari kefanaan bukan dari keabadian.
[36]
ŪRUDVAYĀBHĀVARŪPAYUKTASĀRATHĪ — Oṁ Ūrudvayā-bhāvarūpayukta-sārathaye Namaḥ || Ūrudvayā-bhāvarūpayukta-sārathī = ia keretanya dikendalikan oleh kusir (bernama Aruṇa) yang tidak memiliki paha (kaki).
[37]
ṚṢIVANDYA — Oṁ Ṛṣivandyāya Namaḥ || Ṛṣivandya = ia yang diagung-agungkan oleh para resi.
[38]
RUGGHANTṚ — Oṁ Rugghantre Namaḥ || Ruggh-hantṛ = ia yang mengenyahkan, memusnahkan penyakit/penderitaan (ruj).
[39]
ṚKṢACAKRACARA — Oṁ Ṛkṣacakracarāya Namaḥ || Ṛkṣa-cakra-cara = ia yang bergerak melintasi sabuk langit (bintang-bintang, zodiak).
[40]
ṚJUSVABHĀVACITTA — Oṁ Ṛjusvabhāvacittāya Namaḥ || Ṛju-svabhāva-citta = ia yang memiliki pembawaan citta yang lurus, jujur, tulus.
[41]
NITYASTUTYA — Oṁ Nityastutyāya Namaḥ || Nitya-stutya = ia yang patut dipuja selalu.
[42]
ṚKĀRAMĀTṚKĀVARṆARŪPA — Oṁ Ṛkāramātṛkāvarṇarūpāya Namaḥ || Ṛkāra-mātṛkāvarṇa-rūpa = ia yang berwujud sebagai aksara ‘ṛ’.
[43]
UJJVALATEJAS — Oṁ Ujjvalatejase Namaḥ || Ujjvala-tejas = ia yang berkobar-kobar dengan kuat.
[71]
JAGADĀNANDAHETU — Oṁ Jagadānandahetave Namaḥ || Jagad-ānanda-hetu = penyebab kebahagiaan di dunia/semesta raya.
[72]
JANMA-MṚTYU-JARĀVYĀDHI-VARJITA — Oṁ Janma-mṛtyu-jarā-vyādhi-varjitāya Namaḥ || Janma-mṛtyu-jarā-vyādhi-varjita = ia yang melampaui kelahiran, kematian, usia tua, dan penyakit.
[73]
UCCHASTHĀNA-SAMĀRŪḌHA-RATHASTHA — Oṁ Ucchasthāna-samārūḍha-rathasthāya Namaḥ || Ucchasthāna-samārūḍha-rathastha = ia yang naik di atas kereta yang melaju dengan teratur, mulus.
Ketiga mantra ini adalah bagian dari Rig-veda 1.164 yang berisi perumpamaan dari Resi Auchatya Dirghatamas. Kita bisa melihat bahwa Sang Resi adalah seorang Yogi yang menyadari bahwa manusia bisa memiliki berbagai tingkat kesadaran yang digambarkan dengan dua burung di satu pohon yang subur.
Burung pertama, yang sibuk menikmati buah-buahan, adalah manusia yang berada dalam kesadaran rendah (aku adalah tubuh/pikiran). Ia terjerat di dalam pohon dunia. Sedangkan burung kedua adalah para bijak yang menyadari bahwa ia adalah Sang Jiwa yang tiada terpisah dari Paramatman sehingga, walaupun ia berada di pohon dunia yang sama, ia tetap tenang, sadar, dan tak terpengaruh.
Pada bagian akhir mantra 22, Sang Resi mengingatkan bahwa ada yang lebih manis, lebih membahagiakan daripada manis-asam-pahit buah-buahan di pohon dunia, yaitu berada pada kesadaran tertinggi yang dikaitkan dengan Bapa yaitu Sang Paramatman.
Nasadiya Sukta merupakan salah satu sukta yang misterius di dalam Rig Veda—teks tertua umat manusia yang masih dilantunkan hingga sekarang. Nama ‘nasadiya’ diambil dari kata pertama-nya: na-asat atau nāsat. Sukta ini merupakan sukta ke-129 di dalam mandala ke-10 Rig Veda, berisi tujuh mantra, semuanya dalam jenis tembang triṣṭubh, di-“terima” oleh Resi Parameṣṭhī Prajāpati. Yang menarik, Dewata sukta ini adalah Bhāvavṛtta, yang secara harfiah berarti: terkait dengan penciptaan atau kosmologi. Nama ini juga merupakan sebutan bagi Brahman.
Rig Veda mandala ke-10 merupakan mandala yang relatif muda dibandingkan dengan mandala-mandala lainnya—meskipun umurnya sudah lebih dari 3.500 tahun. Kandungan di dalam sukta ini sangat menarik sehingga Carl Sagan (1934–1996), seorang astronom Amerika Serikat dan tokoh yang mempopulerkan sains, mengutip sukta ini di dalam salah satu videonya—silakan klik gambar (durasi video 15 menit):
Sejak lama manusia bertanya-tanya: Bagaimana proses penciptaan terjadi? Siapa atau apa yang pada awalnya memicu penciptaan? Adakah yang mencipta? Jika ya, lalu siapa yang menciptakan sang pencipta? Saya menyukai sukta ini karena pertama, ia tidak menyuguhkan “titik”, tapi “tanda tanya”—ia tidak menuntut kita mengimani suatu dogma. Sukta ini open-ended, ia memberi ruang bagi pemahaman baru bahkan lewat sains. Sang resi tidak merasa perlu menutupi bahwa ada hal-hal yang tidak bisa atau sulit diungkapkan. Kedua, makna sukta ini bukan hanya bentuk pencarian ke luar, namun juga sekaligus ke dalam. Kedua proses itu tidak eksklusif satu sama lain, bahkan saling melengkapi. Dewata yang ada di luar sana, ternyata ada di dalam diri juga.
Oke, sekarang kita akan bahas isinya, bait demi bait. Saran saya, jangan membaca dengan tergesa-gesa. Nikmati setiap baitnya. Dan, bacalah beberapa kali, lalu renungkan maknanya untuk Anda. Tulisan ini saya buat terbuka—maksudnya saya akan terus memperbarui isinya jika saya rasa perlu tambahan atau perbaikan, atau jika saya menemukan pemahaman baru.
Apakah isi Nasadiya Sukta sejalan dengan pemahaman kosmologi modern? Silakan nilai sendiri. Namun saya pribadi lebih memilih memandangnya dari sisi spiritual—yang merupakan tema sentral Veda. Mungkin benar yang dikatakan Veda bahwa apa yang terjadi di luar (makrokosmos), adalah cerminan yang terjadi di di dalam diri (mikrokosmos): yat piṇḍe tad brahmāṇḍe. Semoga bermanfaat!
Diagram proses penciptaan alam semesta sebagaimana yang dipahami ilmuwan saat ini. (Klik gambar untuk melihat lebih jelas.) Sumber: National Geographic, 2014.
Hariḥ Oṁ
nāsad āsīn no sad āsīt tadānīṁ nāsīd rajo no vyomā paro yat | kim āvarīvaḥ kuha kasya śarmann ambhaḥ kim āsīd gahanaṁ gabhīram || 10.129.01
tadānīm = ketika itu;
Kata ini sering diartikan sebagai momen sebelum vi-sṛṣṭi yang disebutkan pada mantra terakhir (6 dan 7), yaitu momen sebelum penciptaan. Namun mantra ini bisa juga dilihat dari sudut pandang spiritual, yaitu pengalaman sang resi dalam memahami Jiwa atau Sang Diri Sejati. Ini adalah inti diri yang …
asat na-āsīt = tidak ada ketidak-sat-an, keti-ada-an;
Sat bisa diterjemahkan sebagai: keadaan, keberadaan, kejadian, realitas, makhluk (hidup dan tidak hidup), ciptaan, hingga kebaikan yang sejalan dengan kebenaran.
sat no-āsīt = tidak ada pula ke-sat-an, keber-ada-an;
Kata no berarti ‘tidak pula’, yang berasal dari na (tidak, bukan) + u (atau, pula).
rajaḥ na-āsīt = tidak ada rajas;
Kata rajas di sini terkait dengan langit. Kata ini awalnya berarti partikel-partikel kecil di udara yang membiaskan warna-warni sehingga kita bisa “melihat” langit. Akar kata rajas, yaitu rañj, memiliki makna mewarnai, memberi rupa.
yat no vyomā paraḥ = tidak ada vyoman yang melampaui atau lebih tinggi lagi;
Kata vyoman merujuk pada ruang, angkasa, antariksa yang ada “di atas”, melampaui langit. Kata ini bisa digunakan untuk menggambarkan keseluruhan semesta raya.
kim āvarīvaḥ = apa yang meliputi, membungkus, mengandung?;
Kata āvarīvas berasal dari akar kata vṛ (kelas 10) yang berarti meliputi, membungkus (āvaraṇa), di samping makna-makna lainnya.
kuha = di mana?; kasya śarman = dalam perlindungan (si-)apa?; kim ambhaḥ gahanam gabhīram āsīt = apakah ada ambhas yang dalam dan misterius?
Kata ambhas sering diartikan sebagai air atau suara (kosmis), yang pasti bukan air atau suara yang kita kenal secara umum karena sebagaimana dijelaskan di awal, ketika itu tidak ada keberadaan, benda, dan seterusnya. Akar katanya, ambh, berarti bergetar, bersuara, bergerak.
na mṛtyur āsīd amṛtaṁ na tarhi na rātryā ahna āsīt praketaḥ | ānīd avātaṁ svadhayā tad ekaṁ tasmād dhānyan na paraḥ kiṁ canāsa || 10.129.02
tarhi, mṛtyuḥ na-āsīt = saat itu tidak ada kematian; amṛtam na(-āsīt) = tidak (ada pula) keabadian;
Bait ini bisa dimaknai begitu saja seperti di atas, namun setelah saya renungkan mṛtyu dan amṛta, ‘kematian/ketidakabadian’ dan ‘keabadian/kelanggengan’ ada karena konsep waktu. Jika mantra pertama di atas menyinggung tentang konsep ruang, maka di dalam mantra ini terkait dengan konsep waktu.
praketaḥ rātryāḥ ahnaḥ na-āsīt = tiada perwujudan/penampakan/pemahaman yang berasal dari malam-siang atau gelap-terang;
Berada di kedalaman jiwa (atau awal mula penciptaan, sebagaimana pada tafsir yang lain), di sana, saat itu, tidak ada dualitas yang menjadi akar dari cit, yaitu benih pikiran—kata pra-keta berakar dari cit ini. Pikiran berdiri di atas dualitas yang digambarkan berasal dari rātri (malam) dan ahna/ahan (siang)—kedua kata ini jika dikupas lebih lanjut memiliki makna-makna lain yang lebih dalam lagi.
tat ekam = yang tunggal itu; ānīt svadhayā = ia “hidup” dengan kekuatannya sendiri; avātam = tanpa napas;
Sang resi menyebut entitas tunggal sebelum penciptaan terjadi dengan kata tat, itu (‘that’ dalam bahasa Inggris). Perhatikan bahwa sang resi tidak menyebutnya Tuhan atau yang semacam itu, tapi cukup tat. Selain itu, tat, tiada yang kedua, ketiga, dann seterusnya; ia ada dengan sendirinya, yang tidak perlu napas untuk “hidup”, seperti kita.
tasmāt ha anyat paraḥ kim cana na-āsa= sungguh-sungguh, tiada sesuatu pun yang lain, yang lebih (tinggi) lagi darinya atau yang melampauinya.
tama āsīt tamasā gūḻham agre ‘praketaṁ salilaṁ sarvam ā idam | tucchyenābhv apihitaṁ yad āsīt tapasas tan mahinājāyataikam || 10.129.03
tamaḥ tamasā gūḷham agre āsīt = mula-mula yang ada adalah kegelapan yang terselubungi oleh kegelapan;
apraketam salilam sarvam āḥ idam = semua ini adalah salila yang tiada berwujud;
Kata salila berarti sesuatu yang mengalir, bergejolak, berfluktuasi. (Lagi-lagi) air bisa disebut salila, tapi dalam konteks ini tidak bisa diterjemahkan demikian karena alasan yang sudah dibahas sebelumnya.
yat tuchyena ābhu apihitam āsīt = yaitu kehampaan yang diselubungi kekosongan;
Kata tuchya di sini menarik. Asalnya, tucha, berarti sangat kecil sekali. Ada tapi tiada. Seperti nol.
tat ekam mahinā tapasaḥ ajāyata = (kemudian) yang tunggal itu bermanifestasi melalui energi yang sangat dahsyat.
Kata tapas biasa diartikan sebagai panas, kehangatan. Di sini saya menggunakan kata energi karena lebih tepat.
kāmas tad agre sam avartatādhi manaso retaḥ prathamaṁ yad āsīt | sato bandhum asati nir avindan hṛdi pratīṣyā kavayo manīṣā || 10.129.04
kāmaḥ tat agre sam-avartata = pada permulaannya, kehendak (kāma) serta-merta menjadi mungkin;
Mantra ini sangat menarik. Walau, jujur saja, saya belum sepenuhnya memahami apa yang ingin disampaikan di sini. Berdasarkan pemahaman saya yang terbatas ini, saya memaknai bahwa proses penciptaan dimulai dari sesuatu yang halus yaitu pikiran (disebutkan pada bait selanjutnya) yang memungkinkan kāma, yaitu kehendak atau keinginan (yang mungkin tidak 100% sama dengan yang kita, manusia, pahami). Dari sinilah kemudian, retas atau benih-aktif mulai menyebar dan berproses.
yat retaḥ prathamam manasaḥ adhi-āsīt = yang merupakan retas pertama yang muncul-keluar dari pikiran;
Kata retas bisa bermakna sebagai hasil ciptaan sekaligus benih yang kemudian menghasilkan hal-hal yang lain. Di dalam filosofi Sankhya yang berkembang kemudian, proses penciptaan digambarkan dengan munculnya puruṣa (materi non-benda) dan prakṛti (materi kebendaan) dari yang tunggal. Semesta dengan segala keberagaman isinya adalah perpaduan, “pembuahan” keduanya.
bandhum sataḥ asati niḥ-avindan = hubungan antara keberadaan (sat) dengan ketiadaan (asat) ini dipahami;
hṛdi prati-īṣyā kavayaḥ manīṣā = (pemahaman ini) dinanti-nantikan muncul di dalam inti batin para bijak.
tiraścīnaḥ vi-tataḥ raśmiḥ eṣām = raśmi muncul melintas (horizontal), dan meluas;
Kata raśmi memiliki beberapa makna di dalam kamus, yaitu ‘utas, tali, cambuk atau sinar’. Jika dikaitkan dengan mantra sebelumnya kata ini saya artikan sebagai rantai rangkaian proses yang terjadi ketika benih (retas) pikiran berkembang menjadi berbagai hal—dari yang abstrak hingga ke yang berwujud.
adhaḥ svit āsīt upari svit āsīt = demikian pula ke atas maupun ke bawah;
retaḥ-dhāḥ āsan= (yang dihasilkan dari) sumber-sumber penghasil retas; mahimānaḥ āsan = (yang) sangat perkasa, kuat;
svadhā avastāt pra-yatiḥ parastāt = dengan kekuatannya sendiri (ia) berkeinginan (menyebar) ke dalam/bawah dan ke luar lebih jauh lagi.
ko addhā veda ka iha pra vocat kuta ājātā kuta iyaṁ visṛṣṭiḥ | arvāg devā asya visarjanenāthā ko veda yata ābabhūva || 10.129.06
kaḥ addhā veda = siapa yang tahu dengan pasti?
kaḥ iha pra-vocat = siapa di sini yang bisa menjelaskan?
arvāk devāḥ asya vi-sarjanena = para Dewa ada belakangan, lahir melalui proses penciptaan ini;
Para Dewa di sini bisa bermakna kekuatan-kekuatan alam, atau bahkan manusia yang memiliki kecerdasan dan pengetahuan luas. Berbeda dengan pemahaman awam di Indonesia, istilah deva memiliki makna yang luas—tidak hanya berarti sesembahan tertentu.
atha kaḥ veda yataḥ ā-babhūva = lalu, siapa yang tahu dari mana asal/muncul-nya?
iyaṁ visṛṣṭir yata ābabhūva yadi vā dadhe yadi vā na | yo asyādhyakṣaḥ parame vyoman so aṅga veda yadi vā na veda || 10.129.07
iyam vi-sṛṣṭiḥ yataḥ ā-babhūva = penciptaan ini, dari mana munculnya;
yadi vā dadhe yadi vā na = apakah ia yang menciptakannya atau tidak;
yaḥ asya adhyakṣaḥ parame vyoman = (ia) yang menyaksikannya pada vyoman tertinggi;
saḥ aṅga veda yadi vā na veda = ia, sungguh-sugguh tahu, atau mugkin juga (ia) tidak tahu.